Warga Pekayon-Jakasetia yang sejak Februari mengajukan gugatan terhadap beberapa badan pemerintahan atas penggusuran paksa yang dilakukan pada 2016 silam, gagal memasuki pokok perkara. Majelis Hakim menerima Eksepsi para Tergugat terkait Kompetensi Absolut dan menyatakan Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang untuk mengadili perkara. Warga Pekayon-Jakasetia bersama LBH Jakarta sebagai Kuasa Hukumnya mengajukan upaya hukum banding atas putusan tersebut. Hakim menyampaikan penolakan untuk mengadili perkara ini pada agenda pembacaan putusan sela 16 Juni 2021 silam. LBH Jakarta selaku kuasa hukum warga Pekayon-Jakasetia telah menyerahkan memori banding pada Jumat, 30 Juli 2021 melalui Panitera Pengadilan Negeri Bekasi.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyebutkan bahwa oleh karena Para Tergugat merupakan badan/ pejabat pemerintahan, maka gugatan perbuatan melawan hukum hanya dapat diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Negeri Bekasi harus menyatakan tidak berwenang mengadili. Pertimbangan Hakim merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) (“Perma 2/2019”) yang juga dijadikan dasar eksepsi Para Tergugat.
LBH Jakarta berpandangan bahwa Hakim telah menafsirkan ketentuan tersebut secara serampangan dan tidak cermat. Pasalnya, tidak seluruh gugatan yang menjadikan Pemerintah/ Badan Pemerintahan sebagai Tergugat lantas menjadi kewenangan PTUN. Hakim tidak melihat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (SEMA 2/2019) telah mengatur bahwa gugatan terhadap penguasa yang sifatnya keperdataan dan/atau ingkar janji (wanprestasi) tetap menjadi kewenangan peradilan umum (Pengadilan Negeri). Sedangkan obyek gugatan yang diajukan warga terkait dengan pengakuan sebagai pihak yang berhak atas tanah dan juga ganti rugi jelas bersifat keperdataan.
Di samping itu, Hakim juga melakukan kesalahan yang fundamental karena menyatakan seluruh Tergugat adalah Badan/ Pejabat Pemerintahan. Padahal, Tergugat I merupakan direktur Perum Jasa Tirta II (PJT 2) yang dalam perkara merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak menjalankan urusan pemerintahan, melainkan sebagai penyewa tidak beritikad baik. Selain itu, warga juga menggugat kekerasan yang dilakukan oleh Satpol PP serta Kepolisian yang menyebabkan kerugian materiil dan immateriil kepada warga. Jika Hakim lebih cermat dalam membaca sifat-sifat gugatan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka sudah seharusnya Hakim mempertimbangkan bahwa objek gugatan yang diajukan warga tidak dapat diadili di PTUN.
Dr. W. Riawan Tjandra S.H., M.Hum yang menjadi ahli administrasi negara dalam perkara ini telah menyatakan dalam keterangan tertulisnya bahwa kesalahan penerapan hukum oleh hakim pasca Perma 2/2019 yang mengakibatkan ditolaknya seluruh perkara dengan Tergugat pemerintah tanpa melihat sifat-sifat gugatannya harus segera dihentikan atau diperbaiki. Pasalnya, apabila konflik atau sengketa tersebut tidak mendapatkan saluran penyelesaian melalui lembaga peradilan, ada bahaya konflik akan tetap menjadi konflik di luar hukum dan akan mengarah pada tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting yang mana hal tersebut tentu saja akan bertentangan dengan tujuan dari keberadaan negara memberikan keadilan sosial bagi masyarakat melalui peran dari lembaga peradilan.
LBH Jakarta melihat penafsiran dan penerapan Perma 2/2019 serta SEMA 2/2019 masih belum konsisten diterapkan di berbagai pengadilan, khususnya dalam melihat sifat gugatan. Selain itu, penerapannya menimbulkan polemik baru dengan ketentuan formil batas waktu 90 hari pengajuan gugatan di PTUN yang berpotensi membatasi hak warga dalam melayangkan gugatan kepada penguasa, dimana sebelumnya peradilan umum tidak mengatur batas waktu tersebut.
LBH Jakarta berharap Pengadilan Tinggi Bandung dapat mengoreksi putusan tersebut untuk mencegah adanya preseden yang buruk bagi penegakan hukum di kemudian hari. Selain itu, LBH Jakarta juga menuntut Mahkamah Agung untuk segera membuat pengaturan pemisahan kewenangan yang jelas antara peradilan umum dan peradilan tata usaha negara pasca diberlakukannya UU Administrasi Pemerintahan dan Perma 2/2019 untuk mencegah banyak sengketa tidak dapat terselesaikan di pengadilan.
Jakarta, 31 Juli 2021
Hormat Kami
LBH Jakarta