Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), LBH Jakarta, Forum Buruh DKI Jakarta, OPSI, SPIN, FSBI, TSK, Fron Buruh Kawasan, GSBI, FBLP, BJB, TURC, Sekber Buruh, menolak diterbitkannya Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengupahan buruh untuk stimulisasi ekonomi dalam mengatasi turunnya nilai rupiah. Inpres ini berpotensi mengembalikan negara pada rezim upah murah.
Berbagai elemen buruh tersebut menolak tegas Inpres tersebut, Inpres tersebut merupakan kompromi politis antara “Pengusaha Hitam” dan pemerintah untuk kembali pada rezim upah murah. Presiden SBY seharusnya tidak terjebak dalam kebijakan upah murah yang dapat menurunkan daya beli masyarakat, dimana hal ini bertentangan dengan pidato kenegaraan presiden pada 16 Agustus lalu yang menyatakan, daya beli masyarakat harus dijaga dan Indonesia sebagai negara “Middle Income” tidak lagi berorientasi pada kebijakan upah murah. Inpres ini dapat mengakibatkan konsumsi domestik menjadi menurun sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Penerbitan Inpres mengenai penetapan UMP bertentangan dengan konstitusi, yang mana pengaturan mengenai penetapan UMP itu dilakukan oleh gubernur bukan dilakukan oleh menteri susuai (UU no 13 tahun 2013). Menteri, Apindo, dan “Pengusaha Hitam” jangan coba-coba mengakali kenaikan upah minimum pekerja dengan menerbitkan Inpres tersebut. Terkait Pernyataan Menteri Kordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang menyatakan penetapan UMP/K buruh ditetapkan berdasarkan hasil survey BPS, dan kenaikan upah dibatasi 10% untuk indusrti secara umum dan 5 % untuk UKM dan industri padat karya, buruh Indonesia menolak tegas penetapan UMP/K 2014 ini didasarkan pada hasil survei BPS. Seharusnya survei KHL itu dilakukan oleh dewan pengupahan daerah baru kemudian dilanjutkan pada penetapan UMP/K berapa persen dari item KHL. Jadi, bila pemerintah memasukan survey BPS kedalam penetapan UMP adalah ngawur dan menyalahi UU.
Berdasarkan Uraian di atas Maka, buruh Indonesia menyatakan sikap;
- Menolak diterbitkannya Inpres sebagai standarisasi untuk melakukan penetapan kenaikanupah minimum 2014. Karena, inpres tersebut bagian dari akal-akalan pemerintah, Apindo, dan “Pengusaha Hitam” untuk kembali pada rezim upah murah.
- Penetapan kenaikan Upah minimum 2014 kewenangannya ada pada gubernur berdasarkan UU no 13 tahun 2013 bukan wewenang Menteri terlebih Pengusaha dan Apindo
- Menolak kenaikan upah minimum 2014 hanya didasarkan pada inflasi plus X% ( maximum 10 %), karena seharusnya juga mempertimbangkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi sesuai ketentuan
- Tetap Memperjuangkan Kenaikan Upah minimum sebesar rata-rata nasional 50% (khusus DKI Rp.3,7 juta)
- Menuntut ditetapkannya 84 item KHL bukan 60 item KHL
- Mengajak seluruh kepala daerah untuk bersikap realistis dan memperhatikan rekomendasi Depeka, Depeprov sebagai insitusi yang diberi kewenangan oleh UU dalam menetapkan Upah Minimum dan Upah Sektoral.
Apabila, Pemerintah tetap menerbitkan Inpres dan menetapkan kenaikan upah minimum hanya berdasarkan inflasi plus dan survey KHL dilakukan oleh BPS, Maka buruh Indonesia benar-benar akan bergerak melakukan aksi besar-besaran secara bergelombang dimulai dengan 31 Agustus di Bekasi 20 ribu orang, 3 September oleh di Dki Jakarta oleh Forum Buruh DKI sebanyak 5 ribu orang, pada 5 September sebanyak 30 ribu orang se Jabodetabek di Istana Negara , 10 September se Jawa Timur sebanyak 10 ribu orang, Medan 11 September sebanyak 5 ribu orang, 12 September di Batam sebanyak 5 ribu orang, 13 September sebanyak 5 ribu orang di Bandung, dan diikuti daerah lainnya di Lampung, Manado, Makasar, Gorontalo, Aceh di hari-hari berikutnya dan akan dilanjutkan dengan Mogok Nasional pada Oktober/November melibatkan 4 juta buruh yang tergabung dalam berbagai elemen buruh.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), FSPMI, ASPEK Indonesia, FSP KEP, SP PPMI, FSP Farkes, FSP ISI, FSP Par Ref, PGRI, LBH Jakarta, Forum Buruh Jakarta, OPSI, SPIN, FSBI, TSK, Front Buruh Kawasan, GSBI, FBLP, BJB, TURC, Sekber Buruh
Contact Person :
Sekjend KSPI : Muhamad Rusdi : 0816 1717 8821, LBH Jakarta : Marulitua : 0813 6935 0396