Siaran Pers Bersama Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos
Pemulihan korban korupsi bansos kembali menemui jalan terjal. Betapa tidak, pada Senin lalu majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyidangkan Juliari P Batubara justru menolak permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian. Alasannya sangat janggal, yakni terkait isu kompetensi relatif dan absolut pengadilan. Ini sekaligus menunjukkan ketidakberpihakan pengadilan terhadap isu pemberantasan korupsi.
Menurut pertimbangan Hakim (yang sekaligus merupakan Ketua PN Jakarta Pusat) dalam penetapan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini telah memenuhi syarat karena mengajukan permohonan sebelum penuntutan, namun alasan penolakan mengacu pada Hukum Acara Perdata, karena tidak sesuai dengan alamat tempat tinggal Juliari Batubara di Jakarta Selatan. Penting untuk diketahui sebelumnya, konsep penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini menyatu dengan perkara yang sedang berjalan. Jadi, pertanyaan sederhananya: bagaimana mungkin menggabungkan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedangkan tergugat sedang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta?
Secara normatif, independensi hakim dibatasi oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, namun independensi Hakim harus dipertahankan bagi setiap Hakim agar tidak mudah terpengaruh iming-iming dengan mengusung kepentingan pihak tertentu maupun pihak lainnya, pun pelaksanaan tugas peradilan harus berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan kejadian ini, bukan tidak mungkin ada intervensi yang mengakibatkan penetapan ganjil seperti itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 98 KUHAP, dan Pasal 35 UNCAC, perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atas permintaan orang itu, Hakim ketua sidang dapat menetapkan untuk penggabungan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana tersebut. Kemudian Negara wajib menjamin agar orang yang mendapat kerugian akibat perbuatan korupsi mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan hukum untuk memperoleh kompensasi. Dengan demikian sudah sangat jelas siapa yg berhak mengadili penggabungan perkara gugatan ganti kerugian, yaitu majelis hakim yang mengadili perkara pidananya.
Sehingga, tindakan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu telah melanggar banyak ketentuan. Maka dari itu, demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial harus memeriksa Majelis Hakim tersebut terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, pelanggaran hukum acara, baik yang dilakukan dengan sengaja maupun karena ketidakpahaman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Sejak ditetapkannya mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara sebagai tersangka, tim advokasi korban korupsi bansos sudah berupaya meminta penuntasan kasus korupsi bansos sampai ke akar-akarnya melalui petisi www.change.org/bongkarkorupsibansos yang sudah didukung lebih dari 32 ribu tanda tangan. Salah satunya dengan penggabungan gugatan ganti rugi.
Keputusan Majelis Hakim menolak gugatan ganti rugi sangat mengecewakan bagi tim advokasi dan korban dan menjadi gambaran betapa hukum belum berpihak pada korban.
Jakarta, 13 Juli 2021
Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos
ICW, LBH Jakarta, YLBHI, KontraS, dan Visi Integritas Law Office
Narahubung: