Masih Maraknya Penanganan Kasus yang Berlarut-larut (Undue Delay) dan Diskriminatif dalam Penegakan Hukum di Institusi Polri
Memperingati HUT Bhayangkara yang ke-75, LBH Jakarta menilai Reformasi di tubuh Kepolisian mengalami kegagalan, melalui catatan ini LBH Jakarta menyoroti maraknya penanganan kasus yang berlarut-larut (undue delay) di Kepolisian atas laporan dugaan tindak pidana yang disampaikan oleh masyarakat.
Penanganan Kasus yang berlarut (undue delay) umumnya terjadi pada kasus-kasus masyarakat kecil, miskin dan buta hukum, kasus-kasus kelompok minoritas agama, minoritas orientasi seksual, perempuan, anak, dan buruh. Hal ini terlihat berdasarkan data pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta:
Kasus Undue Delay yang ditangani LBH Jakarta sejak tahun 2018-2021
Tahun 2018:
- LBH Jakarta menerima Pengaduan dari korban pinjaman online (pinjol) sebanyak 3.000 (tiga ribu) orang, semua korban Pinjol tersebut mengalami tindakan Pengancaman, Penyebaran Data Pribadi, bahkan Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO) dari debt collector yang menagih pembayaran pinjaman, berdasarkan keterangan dan informasi yang disampaikan oleh Para korban Pinjol ke LBH Jakarta umumnya mereka melaporkan tindakan debt collector tersebut ke Kepolisian, namun laporan para korban ke Kepolisian mengalami Penundaan Berlarut, tidak pernah ditindaklanjuti bahkan ada yang mengalami Penolakan.
Tahun 2019:
2. TY adalah perempuan korban KDRT yang dilakukan oleh suaminya. Suami atau pelaku berkali-kali memaksa korban untuk berhubungan seksual hingga melakukan pemukulan. Pelaku juga melakukan kekerasan psikis kepada korban. Merendahkan, mengancam, dan menghina korban di hadapan teman-temannya dengan menyebarluaskan informasi bahwa korban memiliki gangguan mental. Bahkan pelaku juga berkali-kali kedapatan selingkuh. Hal ini mengakibatkan korban mengalami depresi hingga mencoba bunuh diri, dalam kasus ini Polisi mempersalahkan dan melecehkan korban, serta menunda penanganan kasus hingga berlarut-larut (undue delay);
Tahun 2020:
3. Berdasarkan data kasus LBH Jakarta terdapat 14 (empat belas) kasus dengan 15 Korban yang mengalami Kekerasan Seksual, dengan klasifikasi korban Perempuan Anak berjumlah 2 orang, Perempuan Dewasa berjumlah 12 orang, dan anak laki-laki berjumlah 1 orang, dengan jenis kekerasan yang dialami korban: Eksploitasi Seksual 1 kasus, Janji Kawin 3 kasus, Pemerkosaan 3 kasus, Pelecehan Seksual 9 Kasus, Pemaksaan aborsi 1 kasus, Intimidasi Seksual 7 Kasus, Kekerasan dalam Pacaran 4 kasus, kekerasan berbasis gender online 4 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 2 kasus, kekerasan fisik 5 kasus, kekerasan psikis 10 kasus. Dari kasus tersebut di atas rata-ra mengalami undue delay, hanya terdapat 5 kasus yang sampai tahap penyidikan, 1 kasus yang dilimpahkan untuk penuntutan dan 1 kasus yang berlanjut di Pengadilan;
4. LBH Jakarta mendampingi Aktivis Ravio Patra yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh Polda Metro Jaya karena ada pesan berantai dari SIM card Ravio Patra berbentuk ajakan penjarahan karena keadaan sudah krisis, kemudian diperoleh fakta bahwa pada saat pesan tersebut disebarkan Ravio Patra tidak sedang mengendalikan handphonenya dan diketahui bahwa handphone Ravio Patra diretas oleh Pihak yang bertanggungjawan, terkait dengan peretasan itu Ravio Patra melaporkan dugaan tindak pidana tersebut ke Polda Metro Jaya, namun sampai dengan sekarang laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti;
5. LBH Jakarta juga mendampingi Kasus Pemberangusan Serikat Buruh (union busting) oleh Perusahaan, berdasarkan Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2020 terdapat 19 Kasus Pemberangusan Serikat yang dilaporkan ke Kepolisian, dari 19 Kasus yang dilaporkan ke Kepolisian, 5 kasus laporannya ditolak, 6 kasus mandek, 2 kasus dilakukan Penghentian Penyidikan (SP3) oleh pihak kepolisian, dan ada 3 kasus berujung damai. Sedangkan, 3 kasus lainnya dilaporkan tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut. Sebagai Catatan Laporan Kepolisian yang ditolak dikarenaan Kepolisian mengganggap tidak ada atau bukan kasus pidana,dan mengarahkan ke PHI. Demikian juga SP3 dilakukan dengan alasan yang sama, dan buruh sebagai pelapor diarahkan ke PHI. Mandeknya kasus di Kepolisian merupakan hambatan terbanyak yang disampaikan, hal ini karena kepolisian lambat merespon atau menangani laporan kasus Pidana Perburuhan.
6. Selanjutnya LBH Jakarta bersama Tim Advokasi untuk Demokrasi sejak Agustus – Oktober 2020 mendampingi 187 orang ditangkap pada aksi menolak Omnibus Law Agustus 2020 dan 1.377 orang ditangkap pada aksi menolak Omnibus Law Oktober 2020, dalam aksi Menolak Omnibus Law hampir semua korban penangkapan ditangkap sebelum mengikuti aksi, Polisi mengangkap secara sporadik terhadap orang yang dicurigai. Penangkapan tersebut diwarnai aksi kekerasan yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian yang bertugas di lapangan. Berdasarkan temuan LBH Jakarta yang mendampingi korban penangkapan pada saat demonstrasi, kesemuanya mengalami pelanggaran Hak Akses Bantuan Hukum dikarenakan penasehat hukum dihalang-halangi untuk melakukan pendampingan. Atas seluruh tindak kekerasan dan penghalangan akses bantuan hukum tersebut, LBH Jakarta bersama Tim Advokasi telah melaporkannya kepada Kapolri. Namun sayang, Kapolri tidak menganggap serius permasalahan ini dan hanya mengutus Divisi Humas Polri untuk menemui Tim Advokasi. Lagi-lagi, tanggapan yang diterima adalah menyarankan Tim Advokasi untuk melaporkan serangkaian tindakan brutal tersebut ke Propam. Padahal diketahui, upaya pelaporan tersebut akan sia-sia sebagaimana yang sering ditemui di kasus lainnya. Hal ini bentuk undue delay dan sikap pembiaran Kapolri;
Tahun 2021:
7. LBH Jakarta menangani kasus CS yang merupakan korban percobaan perkosaan yang dilakukan seorang Guru Spiritual Spesialis Penggandaan Uang, CS bersama suami lalu melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian Resor Metro Tangerang Kota, tanggal 8 Februari 2021, dengan dugaan tindak pidana perbuatan cabul sebagaimana dimaksud dalam pasal 289 KUHP, kemudian Polisi mengirimkan SP2HP, Surat tersebut menyebutkan bahwa kasus CS masih dalam proses Penyelidikan, namun sampai dengan sekarang tidak ada kejelasan dari Polres Metro Tanggerang mengenai kasus CS.
Permasalahan Kebijakan:
Pertama, LBH Jakarta menilai penegakan hukum yang dilakukan Polri masih banyak yang mengabaikan kepentingan Pelapor. Salah satu penyebab hal ini ialah kultur pengangkangan terhadap prinsip hukum yang menjamin kepastian hukum. Oleh karenanya, hal ini berdampak meningkatnya kasus undue delay dalam pemeriksaan laporan dugaan tindak pidana;
Kedua, LBH Jakarta menilai belum ada mekanisme atau upaya hukum yang dapat ditempuh untuk kasus undue delay di dalam KUHAP, upaya hukum yang dapat diajukan berdasarkan KUHAP hanya Praperadilan dan terbatas untuk menguji sah atau tidak penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta ganti rugi dan rehabilitasi. Tidak ada ketentuan yang memungkinkan pengujian terhadap pemeriksaan yang bernuansa undue delay;
Ketiga, LBH Jakarta menilai Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan di Kepolisian juga menjadi faktor penyebab meningkatnya kasus yang mengalami I sebagaimana dijabarkan dalam tabel dibawah ini:
NO | PERATURAN | PENGATURAN | KETERANGAN |
1 | Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia | Pasal 31:
(1) Batas waktu penyelesaian perkara ditentukan berdasarkan kriteria tingkat kesulitan atas penyidikan: a sangat sulit; b sulit; c sedang; atau d mudah. (2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a 120 (seratus dua puluh) hari untuk penyidikan perkara sangat sulit; b 90 (sembilan puluh) hari untuk penyidikan perkara sulit; c 60 (enam puluh) hari untuk penyidikan perkara sedang; atau d 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan perkara mudah; |
Kriteria dan batas waktu penyelesaian perkara diatur secara eksplisit dalam Perkap |
2 | Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana | Pasal 17 ayat (4):
Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria:
a. perkara mudah; b. perkara sedang; c. perkara sulit; dan d. perkara sangat sulit. |
Ketentuan mengenai batas waktu penyelesaian perkara tidak diatur secara eksplisit. |
3 | Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana | – | Kriteria dan batas waktu penyelesaian perkara tidak lagi diatur secara eksplisit. |
Keempat, LBH Jakarta menilai langgengnya undue delay karena tidak ada penindakan secara tegas yang dilakukan oleh Divisi Profesi dan pengamanan Kepolisian terhadapa Anggota Kepolisian yang melakukan undue delay terhadap suatu laporan dugaan tindak pidana baik secara etik maupun disiplin, padahal Pasal 15 huruf (a) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia:
“Setiap Anggota Polri dilarang: menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan, atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya”.
Kelima, Permasalahan di atas tidak hanya karena kebijakan namun juga karena Kepolisian sering tebang pilih atau tidak Profesional dan/atau diskriminatif dalam Proses Penegakan Hukum, sebagai contoh seperti yang tulisakan diatas ketika ada Laporan terhadap Ravio Patra Polisi langsung bergerak cepat dan sewenang-wenang, sementara ketika diketahui bahwa whatsapp Ravio Patra diretas Polisi tidak pernah menindaklanjuti laporan peretasan tersebut, kemudian dalam kasus M. Jumhur Hidayat, Mahasiswa dan Buruh yang berpendapat di Media Sosial atau di muka umum Polisi sangat cepat memproses laporan terhadap mereka bahkan melakukan tindakan yang diluar atau melanggar prosedur hukum acara. hal ini menunjukkan bahwa undue delay juga disebabkan oleh Kepolisian yang tidak idenpenden dalam melakukan Penegakan Hukum.
Tuntutan:
Berdasarkan uraian diatas LBH Jakarta untuk memberikan penjeraan (detterence) bagi Anggota Kepolisian sekaligus juga untuk melakukan perlindungan bagi masyarakat (social defence) serta menjamin ketidakberulangan pelanggaran, maka LBH Jakarta mendesak:
- Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mengatur regulasi khusus untuk mencegah undue delay dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur secara eksplisit mengenai jangka waktu penyelesaian tindak pidana sejak dari Penyidikan, Penuntutan hingga Pemeriksaan di Persidangan;
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia segera merevisi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap 6/2019) dan mengatur secara eksplisit kriteria dan batas waktu penyelesaian perkara pidana:
- Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia memproses secara etik dan disiplisnsemua anggota kepolisian yang melakukan praktik undue delay.
Jakarta, 1 Juli 2021
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta