Kamis (10/06) LBH Jakarta bersama Staf Perencanaan Umum dan Anggaran (Srena) Polri melaksanakan audiensi daring pada pukul 14.00 s/d 15.30 WIB. Audiensi disambut langsung oleh Brigjen Pol Drs. Budi Yuwono, M.H. selaku Kepala Biro Lembaga dan Tata Laksana (Karolemtala) Srena Polri. Audiensi juga dihadiri oleh perwakilan beberapa LBH Kantor dan Serikat Pekerja/Buruh. Audiensi ini ditujukan kepada Asrena Polri sejalan dengan tugasnya dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa: “Asrena Kapolri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertugas membantu Kapolri dalam penyelenggaraan fungsi perencanaan umum dan anggaran, penyiapan perencanaan kebijakan teknis dan strategi Polri, pembinaan sistem organisasi dan manajemen, serta tata laksana di lingkungan Polri, serta menyelenggarakan program reformasi birokrasi Polri.”
Citra Referandum selaku Pengacara Publik LBH Jakarta menyampaikan beberapa temuan dalam penanganan perkara pidana perburuhan di Kepolisian, antara lain:
- Tidak ada Subdit Khusus Ketenagakerjaan di Kepolisian. Sehingga perkara pidana perburuhan masih ditangani oleh Subdit yang bersifat campuran yakni Subdit Sumdaling atau Tipidter;
- Desk Tenaga Kerja hanya menjadi ruang konseling/konsultasi hukum. Seringkali laporan buruh ditolak saat konsultasi berdasar alasan subyektif aparat, dan desk ini juga membebankan pencarian alat bukti kepada pelapor yang jelas menyalahi KUHAP;
- Desk Tenaga Kerja lahir tanpa dasar hukum. Sementara desk ini mengubah proses pelaporan dengan mewajibkan buruh melewati proses konsultasi terlebih dahulu di Desk Tenaga Kerja sebelum laporan diterima;
- Jumlah penyidik di kepolisian tidak sebanding dengan jumlah perkara yang ditangani;
- Minimnya pengawasan Kepolisian untuk memastikan kerja professional dengan menjunjung hukum dan HAM. Terlebih, kewenangan lembaga pengawas kepolisian seperti Kompolnas masih terbatas dan tidak memiliki kewenangan penindakan yang tegas;
- Sifat melawan hukum dalam pidana ketenagakerjaan masih gamang. Praktiknya menimbulkan tafsir yang beragam;
- Tidak ada hukum formil khusus pidana perburuhan. Masalahnya, tidak ada jangka waktu yang jelas dalam proses pemeriksaan perkaranya dan tidak ada juga ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pembuktian;
- Kapasitas dan kompetensi aparat dalam menangani perkara pidana perburuhan masih rendah. Misal, tindakan aparat yang menjadikan Desk Tenaga Kerja sebagai mediator dalam penyelesaian kasus pidana perburuhan;
- Pelanggaran disiplin dan etik aparat penegak hukum masih menjadi hambatan. Misal, lambannya penanganan perkara;
- Adanya ancaman serangan balik dari pengusaha kepada buruh yang melapor. Yang terjadi, buruh di-PHK dan di-blacklist oleh asosiasi pengusaha setempat sehingga sulit mencari kerja lagi. Lalu adanya lapor balik oleh pengusaha untuk mengkriminalisasi buruh;
- Kajian akademis dan ahli pidana perburuhan sangat sedikit oleh karena rendahnya jumlah perkara pidana yang berhasil diperiksa hingga putusan.
Selanjutnya, Citra juga menyampaikan 8 butir rekomendasi:
- Pemerintah dan Kepolisian segera menerbitkan dasar hukum pembentukan Sub Direktorat khusus Pidana Ketenagakerjaan dibawah fungsi reserse kriminal khusus dengan mengatur susunan, nomenklatur dan organisasi tata kerjanya. Sehingga Subdit tersebut dapat dibentuk mulai tingkat Mabes Polri hingga unit khusus di tingkat Polres.
- Kepolisian RI membentuk Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan di bawah fungsi reserse kriminal khusus.
- Memperbanyak jumlah personil penyelidik dan penyidik yang memiliki spesialisasi menangani perkara pidana ketenagakerjaan di Subdit Khusus.
- Kepolisian agar membentuk peraturan pelaksana mengenai tata cara penyidikan khusus perkara pidana ketenagakerjaan. Tentunya tidak bertentangan dengan KUHAP.
- Membentuk peraturan turunan di internal Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung sebagai pelengkap ketentuan hukum pidana materiil ketenagakerjaan. Hal itu untuk mengantisipasi kekosongan maupun celah multitafsir norma pidana perburuhan.
- Pemerintah dan DPR agar memperbaiki dan memperkuat kewenangan lembaga pengawas kepolisian baik internal maupun eksternal.
- Pemerintah dan universitas agar menerbitkan kebijakan dan mengalokasikan anggaran untuk riset hukum pidana perburuhan.
- Kepolisian RI memperbaiki kinerja dengan menjunjung tinggi disiplin dan kode etik serta nilai-nilai HAM.
Saat diskusi, perwakilan buruh dari berbagai serikat turut menyampaikan pendapatnya, salah satunya Dian Septi Trisnanti selaku Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) “Kami memilih fokus penegakan hukum pidana perburuhan melalui kepolisian karena Pengawas Ketenagakerjaan cenderung tidak bisa diharapkan, selama tiga dekade tidak ada perkembangan baik.”
Kemudian Brigjen Pol Drs. Budi Yuwono, M.H. menyampaikan “Kami mengapresiasi LBH Jakarta yang telah memfasilitasi acara. Ada 8 rekomendasi yang sangat baik untuk kemajuan kinerja POLRI ke depan. Baik temuan, rekomendasi dan pandangan seluruh rekan-rekan, akan kami rangkum dalam suatu laporan dan akan kami sajikan kepada KAPOLRI. Kami juga akan menyampaikan respon pimpinan kepada rekan-rekan masyarakat sipil.”
Jakarta, 11 Juni 2021
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta