Sidang Jumhur Hidayat kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (27/05). Pada persidangan tersebut, Tim Kuasa Hukum Jumhur hidayat menghadirkan ahli hukum pidana, Ahmad Sofian. Ahmad merupakan peneliti dan pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara. Selain mengajar di Universitas Bina Nusantara, Sofian menjabat sebagai Sekretaris Jendral Komunitas Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
Ahmad Sofian pada persidangan ini dihadirkan untuk dimintai pendapat tentang tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam Pasal 45A ayat (2) junto Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Tindak Pidana Penyiaran Berita Bohong yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) atau Pasal 14 ayat (2) atau Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dari Sudut Pandang Materil.
Menurut Sofian berdasarkan unsur-unsur dalam pasal tindak pidana ujaran kebencian dan tindak pidana berita bohong merupakan delik materil yang berarti sebuah perbuatan dapat dipidana apabila ada akibat yang ditumbulkan.
“Tindak pidana ujaran kebencian mensyaratkan akibat dari ujaran adalah rasa benci terhadap suatu kelompok suku, agama, ras atau antar golongan (SARA) dan tindak pidana menyiarkan berita bohong harus timbul keonaran secara fisik yang terjadi di masyarakat yang disebabkan sebuah berita bohong,” jelas Sofian Menjelaskan.
Ahli menambahkan bahwa untuk membuktikan suatu perbuatan pidana yang termasuk dalam delik materil harus melalui pendekatan ajaran kausalitas yaitu merumuskan disebabkan oleh apa sebuah perbuatan (akibat) yang terjadi. Ada 4 doktrin kausalitas yang berkembang di Indonesia antara lain sine qua non, relevansi, menggeneralisir dan individidualisir.
“Dalam ilmu hukum pidana untuk membuktikan sebuah tindak pidana materil harus diuji dengan ajaran kausalitas. Ada 4 doktrin yang terdapat di ilmu hukum Indonesia yaitu sine qua non, relevansi, menggeneralisir dan individualisir,” tambah Sofian.
Menanggapi hal tersebut tim kuasa hukum Jumhur Hidayat mempertanyakan contoh sebuah peristiwa yang diduga sebuah tindak pidana ujaran kebencian dirumuskan dengan ajaran kausalitas.
Salah satu kuasa hukum Jumhur Hidayat pada persidangan tersebut kepada ahli bertanya soal sebuah peristiwa yang berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
“Apabila ada contoh rangkaian peristiwa sebagai berikut, pemerintah membuat sebuah kebijakan lalu kebijakan tersebut ditolak masyarakt sipil baik di media sosial atau secara langsung. Salah satu bentuk penolakan adalah cuitan kritik dan demonstrasi, dan diketahui dalam demonstrasi ada keonaran yang terjadi. Bisa ahli jelaskan sebab apa saja yang menyebabkan keonaran dan pendekatan teori kausalitas mana yang tepat untuk diterapkan?” Tanya Muhammad Fikhri Syafarulloh salah satu kuasa hukum Jumhur Hidayat.
Menurut Sofian jika diuji dengan teori sine qua non maka keonaran yang terjadi disebabkan oleh kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah karena dalam teori tersebut semua sebab adalah syarat terjadinya akibat.
“Dari uraian peristiwa yang anda contohkan dapat dirumuskan bahwa peristiwa kebijakan pemerintah, pro kontra di media sosial, cuitan kritik dan demonstrasi merupakan sebuah sebab yang menyebabkan keonaran. Teori sine qua non mengatakan bahwa semua faktor yang terjadi adalah sebab sebuah peristiwa apabila ada faktor yang hilang maka tidak akan ada suatu persitiwa. Maka apabila tidak ada kebijakan pemerintah tersebut tidak akan ada keonaran,” jawab Sofian atas pertanyaan tim kuasa hukum.
Ahli menambahkan jika menggunakan teori menggeneralisir untuk merumuskan sebuah peristiwa maka harus ditentukan perbuatan mana dari rangkaian peristiwa tersebut yang melawan hukum.
“Jika menggunakan teori menggeralisir maka harus ditentukan perbuatan mana yang melawan hukum, dalam hal contoh peristiwa tersebut maka perbuatan cuitan atau demonstrasi bukan merupakan perbuatan melawan hukum,” tambah Sofian.
Sidang emudian ditunda kembali hingga tanggal 3 Juni 2021 dengan agenda pemeriksaan ahli yang kembali akan dihadirkan oleh tim kuasa hukum Jumhur Hidayat. (MFS).