Virus Covid-19 di Indonesia telah mewabah sejak Maret 2020 dan memaksa hampir seluruh elemen masyarakat untuk melakukan aktivitas di dalam rumah, tak terkecuali kegiatan belajar mengajar. Seperti yang dilansir dari pemberitaan sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia – Nadiem Makarim menjelaskan bahwa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah metode yang harus dipilih agar kegiatan pendidikan tetap terlaksana. Kini metode PJJ sudah terlaksana hampir 1 tahun, namun masih menyisakan berbagai macam persoalan yang belum juga terselesaikan.
Berkaca dari adanya kerentanan pelanggaran hak atas pendidikan di masa Covid-19, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang merupakan organisasi masyarakat sipil yang salah satu fokus kerjanya melakukan advokasi dan pemantauan kebijakan melalui kegiatan penelitian, hendak memaparkan catatan kritis terhadap potret pemenuhan hak atas pendidikan di masa Pandemi Covid-19. Adapun data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data yang didapatkan secara langsung dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di wilayah Jabodetabek dan Kemenristek[1] serta penyebaran kuesioner terhadap 249 peserta didik dari berbagai tingkat pendidikan dan terbatas pada wilayah Jabodetabek.
- Peserta Didik Merasa Kesulitan Melakukan Kegiatan PJJ
Dari data kuesioner sementara yang ada, dapat diketahui sebanyak 46,8% responden (121 orang) mengakui bahwa interaksi antara pendidik dengan peserta didik pada pembelajaran di masa Pandemi Covid-19 ini kurang baik, bersinambung dengan mendominasinya jawaban responden yang mengaku tidak tertarik untuk melakukan PJJ. Sampai dengan 77,1% responden (192 orang), mengakui kesulitan memahami materi pembelajaran dengan metode PJJ.
- Kendala Sarana dan Prasarana
Selain itu persoalan sarana prasarana yang menjadi kendala yang paling banyak terjadi baik pada peserta didik adalah minimnya ketersediaan gawai dan keterbatasan kuota internet. Sebagaimana kita ketahui bersama di berbagai pemberitaan media massa diketahui bahwa Kemendikbud telah membagikan kuota internet gratis yang dapat digunakan untuk mengakses berbagai aplikasi belajar. Namun nyatanya sebanyak 47,8% responden (119 orang) mengungkapkan bahwa mereka tidak mendapatkan bantuan kuota internet dan 49,8% responden (130 orang) yang mendapatkan bantuan kuota internet sampai dengan 50 GB mengaku bahwa kuota internet yang mereka terima masih tidak cukup untuk mengikuti seluruh kegiatan PJJ yang ada.
- Peserta Didik Masih Dibebankan Biaya Pendidikan
Selanjutnya salah satu sektor yang paling terdampak atas mewabahnya Pandemi Covid-19 adalah sektor ekonomi yang secara tidak langsung berpengaruh pula pada kondisi pemenuhan hak atas pendidikan. Dari hasil survey yang ada, diketahui sebanyak 68,3% responden (170 orang)[2] mengaku masih dibebankan biaya pendidikan di masa Pandemi Covid-19 dan sebanyak 59,4% responden (148 orang) mengaku kesulitan membayar biaya pendidikan.[3] Hal tersebut tentunya memberatkan orang tua peserta didik yang perekonomiannya terdampak Pandemi Covid-19.
Kebenaran atas isi kuesioner didukung dengan keterangan yang berbanding lurus dengan data yang diberikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota terkait kendala-kendala pemenuhan hak atas pendidikan di masa Covid-19. Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi mendapatkan aduan yang serupa perihal kendala minimnya ketersediaan gawai dan terbatasnya kuota internet. “Dari Dinas Pendidikan sendiri memang tidak memberikan bantuan kuota internet, bantuan tersebut hanya dari Kementerian, kita hanya melakukan pendataan.” Ungkap pihak Dinas Pendidikan Kota Bekasi pada saat sesi wawancara bersama LBH Jakarta. Keterbatasan bantuan sarana prasarana oleh Dinas Pendidikan ini juga diungkapkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yang menyatakan bahwa “Dari kami memang belum ada bantuan ponsel pintar”. Lain halnya dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan Kota Tangerang yang menyediakan akses internet (WiFi) gratis di beberapa titik di daerahnya. Akses internet tersebut telah disediakan sejak sebelum adanya bantuan kuota internet dari Kemendikbud. Mengenai ketersediaan gawai, di daerah DKI Jakarta mengadakan program yang bernama Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) Pendidikan, yang pada intinya program tersebut merupakan program pengadaan gawai untuk peserta didik. Gawai dihimpun dari masyarakat mampu yang bersedia menyumbangkan gawainya. Tak jauh berbeda dengan DKI Jakarta, Dinas Pendidikan Kota Tangerang mengungkapkan bahwa untuk mengatasi minimnya ketersediaan gawai, mereka bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk melakukan pengadaan gawai bagi yang membutuhkan, meski begitu, kebutuhan gawai masih belum ter-cover semuanya.
Bentuk lainnya yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Tangerang dalam memenuhi hak atas pendidikan yaitu juga dengan memberlakukan program visitasi guru atau guru datang ke rumah peserta didiknya guna memberikan pembelajaran langsung. Serupa dengan keterangan dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor yang memaparkan bahwa di daerahnya diterapkan pembelajaran langsung/pembelajaran tatap muka di sekolah namun terbatas untuk peserta didik yang tidak memiliki gawai saja. Sedangkan upaya pemenuhan hak atas pendidikan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Bekasi ialah memberlakukan pembelajaran dengan menghadirkan guru di ruang kelas sekolah dan memberikan pembelajaran dari sana, sedangkan peserta didik tetap dari rumahnya masing-masing. Mengingat masih banyak guru-guru yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam memberikan materi sepenuhnya secara daring maka diterapkanlah metode seperti ini. Terhadap guru-guru yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam memberikan materi melalui metode PJJ, beberapa daerah mengantisipasinya dengan memberlakukan pelatihan kepada guru-guru tersebut, hal ini telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Dinas Pendidikan Kota Tangerang. Inilah upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan untuk meminimalisasi penurunan kualitas pendidikan di masa Covid-19.
Dari semua Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang LBH Jakarta wawancarai dapat diketahui bahwa semua Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Negeri di daerahnya masing-masing sudah dibebaskan dari beban biaya pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah swasta masih membebankan biaya pendidikan kepada peserta didiknya. Hal ini membuktikan kesahihan data yang LBH Jakarta himpun dari kuesioner, yang menunjukan bahwa memang benar para peserta didik masih ada yang dibebankan biaya pendidikan. Data ini semakin valid dengan adanya faka bahwa aduan mengenai beban biaya pendidikan merupakan aduan yang paling banyak masuk di Kemendikbud.[4] Atas permasalahan ini, langkah-langkah yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan tak lain adalah memberi surat edaran yang isinya mengusulkan sekolah-sekolah swasta agar menerapkan biaya pendidikan yang tidak memberatkan para peserta didik. Dapat diketahui pula bahwasanya tidak ada kebijakan konkrit dari pemerintah untuk mengatasi kendala biaya pendidikan ini.
Berdasarkan pemaparan diatas LBH Jakarta mendesak pemerintah untuk:
- Menjamin pemenuhan hak atas pendidikan kepada seluruh Peserta Didik baik di tingkat Sekolah Dasar hingga Mahasiswa;
- Membuat kebijakan yang konkrit untuk menunjang pemenuhan hak atas pendidikan di masa Pandemi Covid-19;
- Melakukan pemerataan bantuan sarana prasarana kepada seluruh elemen peserta didik dan pendidik;
- Berhenti melakukan pembiaran terhadap Instansi Pendidikan yang melakukan sanksi drop out khususnya Mahasiswa yang mengalami kendala dalam melakukan kegiatan PJJ
Jakarta, 3 Mei 2021
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
[1] Sampai dengan rilis ini dibuat, LBH Jakarta belum berhasil melakukan wawancara dengan Dinas Pendidikan Kota Depok dan Kemendikbud meski telah mengajukan permohonan keterbukaan data dan wawancara secara resmi.
[2] Terdiri dari 101 Mahasiswa, 40 Peserta Didik SMA, 25 Peserta didik SMP, 4 Peserta Didik SD, 79 dari Instansi Negeri, 91 dari Instansi Swasta
[3] Terdiri dari 81 Instansi Swasta, 67 Instansi Negeri
[4] 48 dari 172 aduan (terdapat 9 jenis aduan)