Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), dan seluruh solidaritas gerakan rakyat mengecam penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, dan pembatasan aksi yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia terhadap ratusan peserta aksi damai dari berbagai elemen seperti buruh, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum pada hari buruh internasional (May Day) 1 Mei 2021. Penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, dan pembatasan aksi yang berlangsung secara damai (peaceful protest) membuktikan bahwa menyampaikan pendapat masih menjadi barang mahal di negeri ini. Setidaknya sejak 2016-2021 aksi May Day tidak diperbolehkan ke depan istana kecuali tahun 2018. Padahal tahun-tahun sebelumnya pada pemerintahan yang lain tidak pernah ada larangan demonstrasi di depan istana. Lengkap sudah, ekspresi di ruang digital direpresi melalui UU ITE dan aturan lainnya, menyampaikan pendapat secara langsung di muka umum pun turut dibatasi dengan berbagai alasan yang bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia.
Pembatasan aksi unjuk rasa atau demonstrasi pada May Day 2021 diawali dengan pernyataan Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 yang bernada “ancaman”, bahwa pelanggaran Pemberlakuan Pembatasan Kesehatan Masyarakat (PPKM) akan ditindak tegas oleh pihak Kepolisian. Aksi unjuk rasa yang sedianya diikuti oleh berbagai elemen juga mengalami hambatan dengan insiden penghentian bus yang berisi peserta unjuk rasa di berbagai tempat oleh kepolisian. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi massa menuju Istana Presiden juga dibatasi hanya sampai di Patung Kuda, jauh melampaui batasan yang diperbolehkan oleh UU 9/1998.
Penangkapan May Day 2021 di Jakarta diawali dengan ditangkapnya 16 orang mahasiswa Papua pada siang hari dengan alasan tidak ada pemberitahuan ke Kepolisian. Ada juga setidaknya 3 orang buruh dari Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) yang ikut ditangkap ketika mereka menolong pelajar yang ditangkap oleh polisi. Menjelang sore kemudian terjadi penangkapan terhadap mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum yang menyampaikan pendapat dengan cara damai dan sesuai dengan protokol kesehatan. Penangkapan dengan disertai kekerasan seperti pemukulan, penyeretan, dan bentuk kekerasan lainnya terhadap massa aksi. Padahal saat itu, aksi berjalan dengan damai. Tim Advokasi untuk Demokrasi juga mendapatkan informasi bahwa penangkapan dilakukan dengan berbagai alasan. Mulai dari melanggar protokol kesehatan, membawa cat spray, peserta unjuk rasa “harus buruh”, hingga dituduh sebagai “anarko”, bahkan ada yang diperiksa karena berorasi dan menjadi korlap aksi.
Pelaksanaan May Day tahun ini dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat seperti memakai masker, menjaga jarak, dan rutin menggunakan hand sanitizer. Namun, Polisi menuduh massa aksi tidak melakukan jaga jarak. Fakta di lapangan, kondisi jarak selalu diinstruksikan kepada massa aksi. Namun, massa aksi kesulitan untuk merenggangkan barisannya karena adanya penghalangan jalan dari polisi di bagian depan dan belakang barisan. Akibatnya, usaha untuk menjaga jarak dilakukan dengan tidak maksimal. Di sisi lain, kritik tidak menerapkan jaga jarak saat aksi berlangsung juga dapat diberikan ke Kepolisian RI. Tim Advokasi untuk Demokrasi mendapatkan berbagai foto dan video bahwa petugas Kepolisian tidak mematuhi protokol kesehatan, khususnya menjaga jarak. Bahkan, penangkapan pun dilakukan dengan tidak menerapkan protokol kesehatan. Mahasiswa dipukuli, ditangkap, dan dijejalkan ke truk Polisi dan mobil bak terbuka dengan berhimpitan, yang tentunya memposisikan mereka dalam kondisi bahaya dan melanggar protokol kesehatan. Hal ini menunjukan adanya standar ganda yang diterapkan oleh Polisi saat aksi berlangsung.
Setelah ditangkap, ratusan massa aksi dibawa secara paksa ke Polda Metro Jaya. Beberapa mahasiswa dibawa ke bagian kesehatan Polda Metro Jaya karena mengalami luka dan sakit karena berdesakan saat diangkut ke Polda. Di Polda, massa aksi diperiksa identitasnya, dipaksa melakukan tes swab antigen, serta memeriksa handphone milik massa aksi. Setelah itu, para peserta aksi dibebaskan sekitar pukul 18.00 WIB. Namun, ada delapan orang peserta aksi yang tidak diizinkan pulang. Ke delapan orang tersebut adalah mahasiswa yang menjadi orator dan korlap aksi, serta mereka yang dituduh polisi sebagai Anarko seperti yang muncul di media.
Sekitar Pukul 19.00 WIB Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang mendampingi ke 8 orang tersebut. Dalam proses pemeriksaannya, Tim Hukum mendapatkan intimidasi, kekerasan, perampasan handphone, diancam akan ditangkap dan sempat dihalangi untuk mendampingi para massa aksi yang masih ditahan Polda Metro Jaya. Pemeriksaan selesai sekitar pukul 21.00 WIB dan ke delapan orang terakhir akhirnya dibebaskan tanpa status apapun. Dengan dibebaskannya semua massa aksi, maka tuduhan polisi bahwa mereka adalah penyusup bukan buruh, Anarko, melanggar protokol kesehatan, dan membawa barang berbahaya tidaklah terbukti. Sayangnya hingga rilis ini diturunkan, tidak ada permintaan maaf dari Kepolisian RI karena telah menyebarkan berita bohong berupa tuduhan tidak berdasar kepada massa aksi.
Pembatasan peserta dalam aksi May Day 2021 bertentangan dengan Konstitusi dan melanggar Hak Asasi Manusia, khususnya hak menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat, juga berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada satupun undang-undang dan peraturan lainnya yang melarang yang membatasi kelompok tertentu untuk mengikuti suatu demonstrasi karena identitas peserta massa aksi. Apalagi di dalam surat pemberitahuan sejak awal sudah dijelaskan bahwa aksi Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) akan diikuti oleh organisasi yang beragam, bukan hanya dari serikat buruh. GEBRAK bukanlah aliansi eksklusif milik serikat buruh, namun aliansi yang dibangun sejak 2017 ini adalah milik seluruh kelompok masyarakat yang sama-sama prihatin dengan kondisi ketidakadilan di Indonesia.
Mahasiswa dan pelajar tentunya akan tergerak untuk mendukung buruh karena sebagian besar orang disekitarnya adalah buruh. Segala ketidakadilan yang terjadi kepada buruh juga akan dirasakan oleh kelompok masyarakat yang lain. Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia adalah buruh itu sendiri. Selain itu seluruh benda, jalan, dan barang yang kita pergunakan, adalah produk dari buruh. Artinya kita semua terkait dan berkepentingan terhadap nasib buruh dan memiliki tanggung jawab terhadap perbaikan kesejahteraan buruh.
Fakta-fakta di atas juga menunjukkan adanya diskriminasi dan penargetan Kepolisian kepada Gebrak, khususnya mahasiswa yang menjadi bagian masa aksi, karena peserta aksi dari rombongan lain tidak mengalami hal serupa. Bahkan ancaman dalam UU 9/1998 mengatur apabila ada pelanggaran, maka ia hanya dibubarkan. Namun, kejadian di lapangan justru menunjukkan massa aksi yang dipukuli dan tidak diperlakukan dengan manusiawi karena diseret-seret hingga almamater/pakaiannya sobek bahkan beberapa dari mereka diangkut dengan kondisi pelipis yang berdarah dan sobek. Selain itu, kekerasan terhadap massa aksi damai dan pembatasan aksi damai bukan baru kali ini saja terjadi pada masa Pemerintahan Jokowi. Dari situ timbul pertanyaan publik, dari siapakah sebenarnya perintah pembatasan aksi ini datang. Apakah dari Kapolri atau Kapolri diperintah oleh Presiden. Siapapun yang mengeluarkan perintah demikian, tindakan seperti penangkapan sewenang-wenang, kekerasan, dan pembatasan aksi aksi damai dari berbagai elemen seperti buruh, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum di peringatan hari buruh internasional tidak bisa dibenarkan!
Oleh karena itu kami menuntut:
- Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk represi terhadap hak berekspresi dan berpendapat di muka umum baik secara langsung maupun di ruang digital;
- Presiden dan DPR-RI mengevaluasi Kepolisian RI yang telah secara berulang melakukan pelanggaran yang berujung pada tidak terlindunginya hak asasi manusia untuk berekspresi dan berpendapat di muka umum baik secara langsung maupun di ruang digital serta untuk mendapatkan bantuan hukum dalam rangka menjalankan kontrol dan partisipasi publik yang sah terhadap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power);
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Div. Propam) untuk segera memeriksa seluruh personel kepolisian yang melakukan Intimidasi, kekerasan baik dan pengalangan akses bantuan hukum kepada massa aksi pada saat mengamankan Aksi May Day 2021. Dan menjalankan sanksi pidana kepada aparat yang melakukan kekerasan;
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan seluruh jajaran kepolisian yang bertugas mengamankan aksi demonstrasi untuk menghormati hak berekspresi dan berpendapat di muka umum baik secara langsung maupun di ruang digital;
- Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan seluruh jajaran dibawahnya untuk menghormati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait hak advokat dan pemberi bantuan hukum yang menjalankan kerja-kerja bantuan hukum yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Jo. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat;
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) RI, OMBUDSMAN RI, Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) RI, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) secara aktif melakukan Pengawasan, Evaluasi, maupun Penyelidikan terhadap Tindakan-Tindakan Penyalahgunaan wewenang Kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap massa aksi dengan cara kekerasan dan intimidasi yang teruss berulang, serta menghalangi Pendamping Hukum dalam menjalankan tugas dan kewajiban menyediakan acces to justice;
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta 2 Mei 2021
Hormat kami,
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD – Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) – Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI) – Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI)
Dan seluruh solidaritas gerakan rakyat yang selalu berjuang bersama demi terwujudnya keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan di Indonesia