Siaran Pers: Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II
Masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana ungkapan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, pada 16 Januari 2020 yang menyatakan bahwa, “Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM…” (KontraS, 2020).
Berangkat dari pernyataan tersebut, keluarga korban Semanggi I dan II, Maria Katarina Sumarsih (Ibu alm. Bernardinus Realino Norma Irmawan) dan Ho Kim Ngo (Ibu alm. Yap Yun Hap), diwakili oleh Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II sebagai kuasa hukum melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Mei 2020. Gugatan ini dilayangkan ke PTUN Jakarta dengan tuntutan bahwa pada saat itu Jaksa Agung bertindak sebagai pejabat publik yang menghalangi kepentingan keluarga korban yang telah berusaha untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya korban Peristiwa Semanggi I dan II.
Pada 4 November 2020, PTUN Jakarta resmi memutuskan bahwa Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, terbukti bersalah, melawan hukum, serta apa yang disampaikannya pada saat sidang DPR RI 16 Januari 2020 silam mengandung kebohongan (DetikNews, 2020). Putusan tersebut dapat dijadikan sebagai dokumen negara yang berpotensi menjadi dasar atau pedoman bagi Jaksa Agung dalam menyikapi kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Pernyataan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga melanggar asas kecermatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam Putusan MK No.18/PUU-V/2008 tanggal 21 Februari 2008 (DetikNews, 2020). Selain itu, pernyataan Jaksa Agung yang termuat dalam risalah sidang DPR tersebut adalah preseden buruk bagi keberlangsungan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM berat ke depan karena berpotensi dijadikan dasar atau pedoman bagi Jaksa Agung untuk menyikapi permasalahan TSS kedepan.
Setelah terbukti melakukan serangkaian kebohongan, Jaksa Agung mengajukan banding. Sayangnya, upaya banding tersebut diterima oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta pada 10 Maret 2021. Dalam putusan banding tersebut, dinyatakan bahwa gugatan yang dilayangkan oleh keluarga korban tidak dapat diterima karena tidak melalui banding administratif terlebih dahulu. Lebih lanjut, PTTUN menyatakan bahwa keluarga korban tidak melakukan Banding Administratif karena surat yang dikirimkan tidak bersifat khusus sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai banding, melebihi jangka waktu 10 hari, dan menyatakan bahwa Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) tidak diberi kuasa untuk mengajukan banding.
Padahal kenyataannya, banding administratif telah diajukan melalui surat-surat kamisan yang dilakukan sejak 5 Maret 2020, 12 Maret 2020, 26 Maret 2020 dan 16 April 2020 sehingga tidak melebihi tenggang waktu 10 hari sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (KontraS, 2021). Selain itu, surat-surat tersebut dikirimkan langsung oleh Ibu Sumarsih sebagai salah satu presidium JSKK sehingga tidak memerlukan surat kuasa untuk mengajukan keberatannya atas tindakan dan jawaban Jaksa Agung terkait penanganan kasus Semanggi I.
Pada Senin, 5 April 2021, Ibu Sumarsih kembali mendatangi PTUN Jakarta untuk menyerahkan berkas memori kasasi atas Putusan PTTUN Jakarta yang telah mengabulkan memori banding Kejaksaan Agung. Pengajuan kasasi ini dilandaskan atas dua alasan utama, yaitu PTTUN telah salah dalam menerapkan hukum karena menyebutkan Penggugat tidak mengajukan banding administratif serta PTTUN dinilai terlalu fokus pada syarat-syarat formil. Kasasi diajukan dengan permohonan agar Mahkamah Agung membatalkan Putusan PTTUN dan mengabulkan gugatan korban agar perbuatan Jaksa Agung dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum dan dalam rapat kerja berikutnya Jaksa Agung harus menyatakan di depan DPR bahwa kasus TSS merupakan pelanggaran HAM berat sebagaimana hasil penyelidikan Komnas HAM (Pretty dan Sumarsih, Wawancara, April 6, 2021). Keluarga korban berharap agar Majelis Hakim di Mahkamah Agung sebagai lembaga penegak hukum mengabulkan gugatan korban sebagaimana komitmen Presiden Joko Widodo yang mau menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, serta menghapus praktek impunitas melalui program Nawacita. Keluarga korban juga berharap agar Jaksa agung dapat menjalankan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk membentuk tim penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM dengan penyidikan.
Terhitung sudah 23 tahun sejak tragedi Semanggi I dan II, Ibu Sumarsih sebagai keluarga korban masih gigih berjuang untuk mendapatkan keadilan atas peristiwa yang merenggut korban jiwa tersebut. Oleh karena itu, Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II mendesak agar:
- Mahkamah Agung dapat mengabulkan gugatan korban agar perbuatan Jaksa Agung dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga dalam rapat kerja berikutnya, Jaksa Agung harus menyatakan di depan DPR bahwa kasus TSS merupakan pelanggaran HAM berat;
- Jaksa Agung untuk mengaktifkan Satgas Penuntasan Pelanggaran HAM berat dan meneruskan berkas perkara Peristiwa Semanggi I dan II ke tahap penyidikan; dan
- Presiden untuk menepati janji agar menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu dan memastikan keadilan bagi para korban.
Jakarta, 6 April 2021.
Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II
Narahubung: Pretty (081382544121)
SUMBER-SUMBER
Foto dari Lexi Lambradeta, 5 April 2021.
DetikNews. (2020). PTUN Jakarta: Pernyataan Jaksa Agung soal Kasus Semanggi Mengandung Kebohongan. https://news.detik.com/berita/d-5243156/ptun-jakarta-pernyataan-jaksa-agung-soal-kasus-semanggi-mengandung-kebohongan.
KontraS. (2020). Menggugat Jaksa Agung RI Kasus Semanggi I dan Semanggi II adalah Pelanggaran HAM berat. https://kontras.org/2020/05/12/menguggat-jaksa-agung-ri-kasus-semanggi-i-dan-semanggi-ii-adalah-pelanggaran-ham-berat/.
KontraS. (2021). Pengadilan Tinggi TUN Gagal Memberi Keadilan Substantif bagi Kasus Semanggi I-II. https://kontras.org/2021/03/10/pengadilan-tinggi-tun-gagal-memberi-keadilan-substantif-bagi-kasus-semanggi-i-ii/
Media Indonesia. (2021). Keluarga Korban Semanggi I dan II Tempuh Jalur Kasasi. https://m.mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/390188/keluarga-korban-semanggi-i-dan-ii-tempuh-jalur-kasasi.