Pada tahun 2017, ketiganya dikriminalisasi atas tuduhan pemerasan dengan kekerasan hanya karena mengelola Pantai Pasir Perawan dengan donasi sebesar Rp 5.000 kepada setiap wisatawan. Donasi itu digunakan untuk biaya perawatan dan pembangunan pantai. Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus tiga orang warga Pulau Pari tersebut bersalah karena melakukan pemerasan dengan kekerasan.
Ketiganya kemudian divonis bebas di tingkat banding pada tanggal 5 September 2018 melalui Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 242/PID.B/2018/PT. DKI dan Putusan Nomor 243/PID.B/2018/PT.DKI. Dalam putusan banding, hakim menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan warga bukan tindak pidana dan dan justru dilindungi oleh Pasal 33 UUD 1945.
Kejanggalan tersebut bermula ketika pada 19 Maret 2021 lalu, warga Pulau Pari menerima surat tembusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang ditujukan kepada Kepaniteraan Mahkamah Agung mengenai pengiriman Berkas Perkara Kasasi atas kedua putusan tersebut. Melalui surat tersebutlah, warga baru mengetahui bahwa Jaksa Penuntut Umum melakukan kasasi.
Ada beberapa kejanggalan dalam proses Kasasi Jaksa ini, antara lain:
Pertama, rentang waktu yang sangat lama antara putusan Banding (5 Oktober 2018) dan pengiriman berkas kasasi (16 Februari 2021) mencapai 2 tahun 6 bulan. Padahal, ketentuan Pasal 245 ayat (1) KUHAP telah mengatur batas waktu 14 hari pasca putusan sebagai tenggat waktu pengajuan kasasi. Jika tenggat waktu itu lewat, maka para pihak dianggap menerima dan putusan berkekuatan hukum tetap. Lamanya waktu di atas sejatinya tidak mungkin terjadi sebab Pasal 248-250 KUHAP telah mengatur waktu pengajuan kasasi hingga pengiriman berkas ke Mahkamah Agung;
Kedua, hingga kini, ketiga warga yang didakwa dan juga kuasa hukum tidak pernah menerima pemberitahuan bahwa Jaksa telah mengajukan kasasi. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 245 ayat (3) KUHAP yang mewajibkan panitera memberitahukan para pihak atas upaya hukum yang diajukan; Ketiga, hingga kini ketiga warga dan kuasa hukumnya tidak pernah diberitahukan secara resmi mengenai memori kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 248 KUHAP dan sangat merugikan warga Pulau Pari karena hilangnya kesempatan melakukan pembelaan dalam proses kasasi melalui kontra memori kasasi.
Atas kejanggalan ini warga kemudian melakukan aksi demonstrasi di Pengadilan Jakarta Utara yang diikuti sekitar 25 orang perwakilan warga. Aksi berlangsung selama sekitar 2 (dua) jam dengan protokol kesehatan yang ketat. Pada pukul 14.00 WIB, 5 (lima) orang perwakilan warga ditemui oleh Humas PN Jakarta Utara beserta Kepaniteraan Kasasi. Pertemuan tersebut justru mengonfirmasi bahwa segala pemberitahuan kasasi yang dilampirkan dalam berkas perkara ke MA tidak diberikan langsung kepada warga dan kuasa hukumnya karena tidak adanya tanda tangan penerima. Pertemuan tersebut juga tidak dapat memberikan kepastian hukum mengenai prosedur hukum apa yang sedang dijalankan oleh kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Koalisi Selamatkan Pulau Pari dan Forum Peduli Pulau Pari menyatakan secara tegas bahwa praktik cacat prosedur kasasi tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak warga memperoleh peradilan yang adil dan jujur yang dijamin konstitusi. Kejanggalan ini tidak dapat dilepaskan dari serangkaian upaya kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga Pulau Pari yang saat ini tengah terancam terampas ruang hidupnya atas upaya privatisasi pulau dan perairannya oleh korporasi.
Untuk itu, bersama ini kami menuntut:
“Kami memang nelayan kecil, masyarakat yang tinggal di pulo, tapi kami juga mengetahui ada kejanggalan dalam proses kasasi teman-teman kami jadi kami datang ke PN Jakarta Utara untuk meminta kejelasan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara atas kejanggalan-kejanggalan ini“, kata Edy Mulyono, Ketua RT 01 Pulau Pari.
Jakarta, 31 Maret 2021
FORUM PEDULI PULAU PARI
KOALISI SELAMATKAN PULAU PARI