Selasa (16/03) LBH Jakarta bersama Ombudsman RI melaksanakan audiensi daring pada pukul 14.00 hingga 16.00 WIB. Pertemuan ini dihadiri sebanyak 33 orang, yang terdiri dari perwakilan Ombudsman RI, buruh dari berbagai federasi dan konfederasi, serta LBH Kantor. Audiensi ini dilakukan guna membahas temuan dan rekomendasi dalam Kertas Kebijakan berjudul: “Urgensi Pembentukan Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan di Kepolisian RI”. Kertas kebijakan tersebut adalah hasil kajian LBH Jakarta bersama serikat buruh, dengan menghimpun pula data dari 8 LBH Kantor dan 7 Serikat Buruh.
Citra Referandum, S.H., M.H. selaku Pengacara Publik LBH Jakarta mengungkapkan beberapa temuan dalam penanganan perkara pidana perburuhan di Kepolisian, antara lain: Pertama, tidak ada Subdit khusus ketenagakerjaan di Kepolisian. Sehingga perkara pidana perburuhan masih ditangani oleh subdit yang bersifat campuran yakni Subdit Sumdaling atau Tipidter; Kedua, Desk Tenaga Kerja hanya menjadi ruang konseling/konsultasi hukum. Seringkali laporan buruh ditolak saat konsultasi berdasar alasan subyektif aparat. Kemudian, desk ini juga membebankan pencarian alat bukti kepada pelapor. Ini jelas menyalahi KUHAP; Ketiga, Desk Tenaga Kerja lahir tanpa dasar hukum. Sementara desk ini mengubah proses pelaporan dengan mewajibkan buruh melewati proses konsultasi terlebih dahulu di Desk Tenaga Kerja sebelum laporan diterima; Keempat, jumlah penyidik di kepolisian tidak sebanding dengan jumlah perkara yang ditangani; Kelima, minimnya pengawasan Kepolisian untuk memastikan kerja profesional dengan menjunjung hukum dan HAM. Terlebih, kewenangan lembaga pengawas kepolisian seperti Kompolnas masih terbatas dan tidak memiliki kewenangan penindakan yang tegas; Keenam, sifat melawan hukum dalam pidana ketenagakerjaan masih gamang. Praktiknya menimbulkan tafsir yang beragam; Ketujuh, tidak ada hukum formil khusus pidana perburuhan. Masalahnya, tidak ada jangka waktu yang jelas dalam proses pemeriksaan perkaranya dan tidak ada juga ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme pembuktian; Kedelapan, kapasitas dan kompetensi aparat dalam menangani perkara pidana perburuhan masih rendah. Misal, tindakan aparat yang menjadikan Desk Tenaga Kerja sebagai mediator dalam penyelesaian kasus pidana perburuhan; Kesembilan, pelanggaran disiplin dan etik aparat penegak hukum masih menjadi hambatan. Misal, lambannya penanganan perkara; Kesepuluh, adanya ancaman serangan balik dari pengusaha kepada buruh yang melapor. Yang terjadi, buruh di-PHK dan di-blacklist oleh asosiasi pengusaha setempat sehingga sulit mencari kerja lagi. Lalu adanya lapor balik oleh pengusaha untuk mengkriminalisasi buruh; Kesebelas, kajian akademis dan ahli pidana perburuhan sangat sedikit oleh karena rendahnya jumlah perkara pidana yang berhasil diperiksa hingga putusan.
Selanjutnya, Dian Septi Trisnanti, Ketua Umum FSBPI (Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia) menyampaikan 6 butir rekomendasi:
- Membentuk peraturan turunan di internal Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung sebagai pelengkap ketentuan hukum pidana materiil ketenagakerjaan. Hal ini untuk mengantisipasi kekosongan maupun celah multitafsir norma pidana perburuhan;
- Kepolisian agar membentuk peraturan pelaksana mengenai tata cara penyidikan khusus perkara pidana ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan KUHAP;
- Pemerintah dan Kepolisian segera menerbitkan dasar hukum pembentukan Sub Direktorat Khusus Pidana Ketenagakerjaan di bawah fungsi reserse kriminal khusus dengan mengatur susunan, nomenklatur dan organisasi tata kerjanya. Sehingga Subdit tersebut dapat dibentuk mulai tingkat Mabes Polri hingga unit khusus di tingkat Polres;
- Memperbanyak jumlah personil penyelidik dan penyidik yang memiliki spesialisasi menangani perkara pidana ketenagakerjaan di Subdit Khusus;
- Pemerintah dan DPR agar memperbaiki dan memperkuat kewenangan lembaga pengawas kepolisian baik internal maupun eksternal; dan
- Pemerintah dan universitas agar menerbitkan kebijakan dan mengalokasikan anggaran untuk riset hukum pidana perburuhan.
Audiensi ini didasari harapan agar Ombudsman RI dapat membangun koordinasi dengan Presiden RI, DPR RI, dan Kepolisian RI sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 huruf e UU No. 37 Tahun 2008, bahwa tugas Ombudsman RI adalah “melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan” serta huruf g “melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik”. Hal ini tentu sepadan dengan rekomendasi-rekomendasi yang telah dipaparkan sebelumnya, guna mencegah masifnya tindakan maladministrasi aparat penegak hukum dalam menangani perkara pidana ketenagakerjaan.
Dalam diskusinya, Ombudsman RI memberikan tanggapan, “Ada empat rekomendasi yang berkaitan erat dengan Ombudsman RI, kami akan sampaikan kepada pimpinan (dalam pleno pimpinan) agar kemudian dibangun komunikasi dengan stakeholder terkait.” terang Siti Uswatun Hasanah (Kepala Keasistenan Utama II). Terakhir, Siti Uswatun menambahkan, “Selaku instansi pengawas pelayanan publik, kami bisa berperan dalam rangka perbaikan pelayanan”.