Siaran Pers Bersama
LBH Jakarta dan LBH Masyarakat
Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bertanggung jawab untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, berdasarkan Pancasila juga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana amanat yang tercantum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Selain itu, sebagai pelaku cabang kekuasaan negara dalam bidang yudisial, hakim bertanggung jawab untuk memastikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
Guna menjaga marwah profesi hakim sebagai officium nobile, Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung (2003) mencantumkan prinsip independensi peradilan sebagai prinsip penting agar hakim dan lembaga peradilan terbebas dari campur tangan, tekanan, paksaan secara langsung atau tidak dari pihak manapun. Prinsip independensi peradilan ini sejalan dengan instrumen hukum internasional, di antaranya Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, Vienna Declaration and Programme for Action 1993, International Bar Association Code of Minimum Standard of Judicial Independence, New Delhi 1982, Universal Declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983.
Memperingati hari kehakiman yang jatuh pada 1 Maret, LBH Jakarta dan LBH Masyarakat memberikan beberapa catatan kepada hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Catatan ini merupakan hasil dari kajian kebijakan, pemantauan, serta pengalaman pendampingan terhadap masyarakat miskin, buta hukum, dan kaum marjinal di pengadilan.
- Hakim Terlibat Praktik Judicial Corruption
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 20 hakim yang tersangkut korupsi sejak 2012 hingga 2019. Mirisnya 20 hakim tersebut terlibat korupsi saat sedang menangani kasus korupsi. Kejadian ini membunuh harapan atas cita-cita terciptanya penegakan hukum yang jujur, adil, serta menjunjung tinggi HAM. Berikut dua contoh kasus yang membuka tabir kebobrokan integritas hakim:
- Kasus Advokat Arif Fitrawan yang menyuap Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan saat melakukan pendampingan kasus perdata. Motivasi penyuapan ini karena Arif Fitrawan curiga hakim tersebut sudah mendapat suap dari lawannya (2018);
- Kasus Nurhadi (mantan Sekretaris Mahkamah Agung) adalah potret yang menjelaskan sistem pemeriksaan peradilan yang korup telah terjadi sejak pemeriksaan tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.
- Hakim Kerap Mengabaikan Fakta Persidangan
Hakim gagal menciptakan putusan yang berkeadilan karena kerap mengabaikan fakta persidangan dalam pertimbangannya. Berikut beberapa fakta kasus:
- Kasus ES (orang dengan disabilitas intelektual). Hakim pemeriksa perkara (279/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabaikan kondisi retardasi mental terdakwa, terkonfirmasi oleh ahli psikologi forensik yang dihadirkan di persidangan. Bahkan terdakwa tidak memahami kondisinya yang sedang diperiksa (persidangan melalui daring) oleh majelis hakim;
- Kasus Jumhur Hidayat (Aktivis KAMI). Hakim pemeriksa (2/Pid.Sus/2021/PN JKT.SEL) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabaikan hak terdakwa atas akses untuk bertemu dengan kuasa hukumnya. Meski hakim mengetahui fakta ini, tidak ada tindakan atau perintah yang dikeluarkan untuk melakukan intervensi, padahal status terdakwa sudah beralih menjadi tahanan pengadilan;
- Kasus penyiraman air keras terhadap Penyidik Komisi Pemberantas Korupsi, Novel Baswedan dengan terdakwa dua anggota aktif kepolisian. Hakim mengabaikan fakta hukum berkas keterangan saksi fakta yang diduga dihilangkan oleh penyidik sebelum berkas tersebut dilimpahkan ke pengadilan;
- Kasus Baiq Nuril. Hakim tidak memperdulikan fakta terdakwa adalah korban yang mendapat pelecehan seksual dari atasannya. Pengabaian ini berakibat terdakwa dijatuhi hukuman pidana yang mencederai nilai keadilan.
- Gugatan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang. Hakim menolak gugatan lingkungan yang diajukan oleh Greenpeace bersama warga. Hakim dalam putusannya mengabaikan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan kerugian potensial (potential damage) dalam penerbitan izin lingkungan PLTU Celukan Bawang. Hakim tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan adalah kerusakan yang tidak dapat dipulihkan.
- Kasus gugatan banjir Jakarta. Hakim menolak class action yang diajukan oleh warga dengan alasan gugatan seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan dalih Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad). Padahal Mahkamah Agung tidak pernah mencabut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang artinya gugatan tersebut tetap harus diadili oleh Pengadilan Negeri sebagaimana gugatan class action pada umumnya. Selain itu PTUN juga tidak dapat memberikan hukuman ganti kerugian.
- Kasus Brigadir Tri Teguh Pujianto (Brigadir TT). Hakim PTUN Semarang melalui putusannya enggan memeriksa keabsahan pemecatan Brigadir TT dari institusi kepolisian karena orientasi seksualnya. Putusan tersebut telah melukai rasa keadilan karena pemecatan Brigadir TT menurut laporan resmi Komnas HAM merupakan pelanggaran HAM, sehingga Brigadir TT sepatutnya diberikan perlindungan oleh hakim dengan membatalkan pemecatannya. Bukan malah “di-status quo-kan” dengan alasan yang kemudian jelas terbukti keliru berdasarkan SEMA Nomor 10 Tahun 2020;
- Inkonsistensi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi dalam kasus narkotika. Berdasarkan penelitian LBH Masyarakat terhadap vonis rehabilitasi di Jabodetabek sepanjang tahun 2014, terdapat temuan 522 kasus, di tingkat pengadilan negeri, dengan gramatur barang bukti narkotika di bawah ketentuan maksimal untuk mendapatkan vonis rehabilitasi sebagaimana ditentukan dalam Sema No. 4 Tahun 2010. Dari 522 kasus tersebut, hanya 28 putusan yang memenuhi semua kriteria SEMA No. 4 Tahun 2010 atau sebesar 5,36%. Dua puluh dari 28 putusan kasus narkotika mendapatkan putusan rehabilitasi atau sebesar 71,43%, sedangkan 8 putusan lainnya mendapatkan pidana penjara. Selain itu, diperoleh data bahwa terdapat 23 putusan mendapatkan vonis rehabilitasi walaupun tidak memenuhi semua kriteria SEMA No. 4 Tahun 2010. Sedangkan sisanya sebanyak 479 kasus berujung ke penjara. Potret ini masih relevan hingga sekarang.
- Hakim Masih Sering Menjatuhkan Pidana Mati;
Laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam kurun waktu Oktober 2018-Oktober 2019, ada 80 orang dituntut pidana mati dan 65 di antaranya diputus pidana mati di pengadilan tingkat pertama. Jaksa Agung Pidana Umum, Ali Mukartono dalam laporan pencapaian kinerja Kejaksaan Agung 2019, menyebut ada lebih 200 terpidana mati yang belum dieksekusi.
Secara spesifik penjatuhan hukuman mati di tengah pandemi Covid-19, Laporan Reprieve April-Desember 2020 menyebut 55 terpidana dengan tuntutan mati dijatuhi pidana mati dan empat terpidana dengan tuntutan seumur hidup dijatuhi pidana mati. Kasus dengan penjatuhan pidana mati ini didominasi oleh tindak pidana narkotika.
Tren penjatuhan pidana mati ini tidak sejalan dengan penurunan tindak pidana. Artinya hukuman mati tidak menimbulkan efek jera, selain melanggengkan pelanggaran HAM dan membiarkan negara melakukan penyiksaan yang kejam, serta tidak bermartabat. Tingginya penjatuhan pidana mati dalam kondisi pandemi sekalipun dan persidangan yang digelar secara online yang rentan kendala teknis dan tidak maksimalnya pembuktian dalam persidangan, semakin memperlihatkan kualitas hakim dalam menerapkan prinsip kehati-hatian.
Ketiadaan sensitivitas gender yang dimiliki oleh hakim dalam menangani kasus perempuan, terutama yang terlibat tindak pidana dengan ancaman hukuman mati, membuat hakim tidak mempertimbangkan relasi kuasa dan kerentanan perempuan yang menjadi poin penting keterlibatan perempuan dalam tindak pidana. Kami mendesak dalam menangani kasus yang melibatkan perempuan ini, hakim melaksanakan rekomendasi Komisaris Tinggi PBB dalam acara 75th session of the UN General Assembly Virtual High Level Side Event “Death penalty and gender dimension-Exploring disadvantage and systemic barriers affecting death sentences (September 2020). Sekaligus melakukan penghapusan pidana mati dalam semua kondisi.
- Hakim Memakai Alat Bukti yang Didapat dengan Tidak Sah (Penyiksaan) dan permasalahan Praperadilan (upaya paksa dan ganti kerugian);
Pada kasus vandalisme di Tangerang 2020, dua terdakwa anak mengaku mendapatkan penyiksaan saat proses penyidikan di Kepolisian Resor Tangerang, dengan cara dipukul, ditendang, diborgol pakai kabel tie hingga darah membeku dan tangan membengkak. Juga dipukul dengan besi di beberapa bagian tubuh dan kepala, lalu dibungkus dengan plastik hingga tidak sadarkan diri, dalam perkara tersebut hakim mengabaikan fakta penyiksaan yang terjadi. Dalam perkara seperti itu sering kali hakim sangat pasif dengan menghadirkan saksi verbalisant, sebagaimana kita ketahui bahwa saksi verbalisant tersebut adalah penyidik yang menangani perkara dan hasilnya sudah bisa diketahui bahwa penyidik tersebut tidak akan mengakui tindakan penyiksaan yang dilakukan.
Indonesia memang belum menganut prinsip exclusionary rules, namun Pasal 52 KUHAP menyebut, “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”. Namun pada praktiknya hakim cenderung mengesampingkan pengakuan terdakwa di persidangan atas penyiksaan dan perbuatan larangan lain, yang dialami terdakwa selama menjalani proses hukum sejak di tingkat penyidikan.
Selain itu, dalam kasus praperadilan atas upaya paksa polisi terhadap Ravio Patra. Hakim menutup fakta penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh polisi tidak dalam konteks penyidikan. Alat bukti yang diajukan oleh kuasa hukum sama sekali tidak dipertimbangkan hakim dalam penetapannya.
Ada juga upaya hukum atas peradilan sesat yang dialami pengamen Cipulir sebagai korban salah tangkap. Upaya praperadilan untuk mendapatkan pemulihan hak restitusi dan ganti kerugian ini digugurkan oleh hakim dengan alasan kedaluwarsa yang tidak tepat. Hakim mengabaikan hukum bahwa batas waktu pengajuan dapat dilakukan paling lama tiga bulan sejak pemohon mendapat petikan putusan atau salinan putusan. Namun hakim mengabaikan ketentuan alternatif yang tercantum dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
- Persidangan Virtual (Online) Banyak Melanggar Hak Terdakwa
Pengalaman LBH Jakarta dan LBH Masyarakat mendampingi terdakwa di persidangan dalam kondisi COVID-19, hakim cenderung memaksakan sidang dilakukan secara online tanpa mempertimbangan hak terdakwa di persidangan. Khususnya pada agenda pembuktian atau pemeriksaan pokok perkara.
Sementara dalam konsideran menimbang huruf c Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik (Perma 4/2020), “bahwa dengan adanya perkara yang terkendala keadaan tertentu membutuhkan penyelesaian secara cepat dengan tetap menghormati hak asasi manusia”. Penyelesaian secara cepat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia merupakan hal yang tidak bisa diabaikan.
Pasal 2 ayat (1) Perma 4/2020 juga mengatur bahwa “persidangan dilaksanakan di ruang sidang Pengadilan dengan dihadiri Penuntut dan Terdakwa dengan didampingi/tidak didampingi oleh Penasihat Hukum, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Kemudian Pasal 2 ayat (2) Perma 4/2020 “dalam keadaan tertentu baik sejak awal persidangan perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau karena atas permintaan dari Penuntut dan/atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun secara elektronik….” Membaca ketentuan ini semestinya persidangan diutamakan secara langsung. Pada kondisi tertentu yang mengharuskan persidangan secara elektronik harus melalui prosedur penetapan hakim/majelis hakim.
Pengabaian hak-hak terdakwa dalam sidang secara online dapat dilihat dari kasus yang sudah disebut sebelumnya, yakni terdakwa dengan retardasi mental di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Serta kasus Aktivis KAMI, Jumhur Hidayat, yang diperiksa melalui persidangan online tanpa didahului oleh penetapan, prosedur hukum sebagaimana yang diatur dalam Perma 4/2020.
Selanjutnya untuk pemeriksaan saksi berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Perma 4/2020 “pemeriksaan saksi dan/atau ahli dilakukan dalam ruang sidang pengadilan meskipun persidangan dilakukan secara elektronik”, maka penasihat hukum menilai tidak berlandasan dan menabrak peraturan jika saksi juga tidak dapat didengar keterangan di persidangan.
Namun dalam praktiknya hakim cenderung tidak mempertimbangkan hal di atas. Misalnya dalam kasus dugaan penyebaran berita bohong yang dilakukan oleh Jumhur Hidayat. Awalnya majelis hakim pemeriksa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memaksa saksi didengarkan keterangannya secara virtual. Hal ini menyulitkan kami, sebagai tim kuasa hukum untuk menguji ulang keterangan-keterangan saksi di persidangan.
- Mekanisme Pelaporan/Pengaduan Hakim Tidak Transparan, Imparsial, Efektif dan Akuntabel
Pada 2019 Komisi Yudisial (KY) mencatat telah menerima 1.544 laporan masyarakat dan 891 surat tembusan pada 2 Januari – 23 Desember 2019. Laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) tersebut paling banyak disampaikan melalui jasa pengiriman surat (pos), yaitu 893 laporan, Berdasarkan jenis perkara, masalah perdata mendominasi laporan yang masuk ke KY, yaitu 686 laporan. Untuk perkara pidana berada di bawahnya dengan jumlah laporan 464 laporan. Selain itu, ada juga pengaduan terkait perkara agama (90 laporan), Tata Usaha Negara (82 laporan), Tipikor (50 laporan), pemilu (36 laporan), perselisihan hubungan industrial (34 laporan), dan lingkungan (30 laporan) (Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Sukma Violetta)
Berdasarkan informasi pengaduan yang masuk ke Komisi Yudisial tersebut, selaras dengan pengalaman LBH Jakarta dan LBH Masyarakat dalam melakukan pendampingan di persidangan yang banyak menemukan pelanggaran hak terdakwa yang dilakukan dan dibiarkan oleh hakim pemeriksa perkara. Selain itu sebelas laporan atau aduan kami ajukan ke Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), namun Bawas MA cenderung defensif dan seolah-olah membela hakim. Selain itu, Bawas MA juga enggan mengumumkan putusan atas laporan tersebut kepada publik.
Lebih mendasar dari itu, pelapor/pengadu tidak pernah dilibatkan dalam proses penanganan perkara. Misalnya, tidak pernah dimintai keterangan dan/atau bukti. Bahkan tidak ada pemberitahuan atas perkembangan pengaduan/pelaporan, serta tidak mendapatkan penjelasan atas alasan putusan yang membebaskan hakim dari sanksi.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, LBH Jakarta dan LBH Masyarakat mendesak Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Pemerintah, dan DPR-RI untuk:
- Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan yang sistematis dan sinergis terhadap kinerja, integritas, dan perilaku hakim, terutama dalam hal akuntabilitas peradilan atau setidaknya menindaklanjuti semua laporan masyarakat yang masuk untuk meminimalisir terjadinya pengulangan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh hakim;
- Mahkamah Agung mengevaluasi pelaksanaan sidang secara virtual (online) karena banyak terjadi pelanggaran hak terdakwa di persidangan, kecuali untuk tindak pidana ringan (tipiring);
- Mahkamah Agung melakukan pembenahan dengan mempertimbangkan dimensi HAM dalam pertimbangan maupun administrasi peradilan agar lebih efektif, efisien, transparan, aksesibel serta bertanggung jawab dengan tujuan untuk memberikan pelayanan publik yang optimal serta upaya preventif terhadap praktik-praktik judicial corruption;
- Mahkamah Agung memerintahkan kepada hakim untuk menghentikan penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa yang bertentangan dengan prinsip HAM khususnya kelompok rentan;
- Pemerintah dan DPR RI mengevaluasi pelaksanaan hukuman mati dan mereformasi kebijakan hukuman mati di Indonesia berdasarkan mandat UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Sipil dan Politik dan Konvensi Anti Penyiksaan;
- Pemerintah dan DPR RI memasukkan Prinsip Exclusionary Rules dan Instrumen Hak Asasi Manusia lainnya dalam Rancangan dan Daftar Inventarisasi Masalah Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Jakarta, 1 Maret 2021
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat