Sejak banjir besar pada awal tahun 2020, LBH Jakarta aktif mendorong pemerintah untuk berupaya menentukan kebijakan yang mampu mencegah dan menanggulangi bencana banjir. Salah satunya, melalui sengketa informasi publik terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Banten, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Sengketa informasi publik tersebut dilayangkan untuk menggali permasalahan inti dari bencana banjir yang menjadi penyakit menahun bagi Wilayah Jabodetabek.
Seperti halnya yang terjadi beberapa hari ini. Banjir kembali melanda DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya. Sejak Jumat (19/02/2021) dini hari, sejumlah daerah telah di rendam banjir dengan ketinggian 31 cm sampai dengan 70 cm. Musim penghujan yang kian panjang dan penanggulangan banjir yang tidak pernah mendapatkan capaiannya, melahirkan permasalahan usang banjir yang tak ada habisnya di kota yang menjadi jantung Indonesia ini.
Saat ini proses sengketa informasi publik tersebut adalah sidang ajudikasi sengketa terhadap PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta. Sidang ajudikasi menjadi pilihan yang dipilih oleh LBH Jakarta sebagai Pemohon dan disepakati oleh PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Termohon, karena dari 20 informasi publik yang diajukan oleh LBH Jakarta, terdapat 3 informasi publik yang tidak diberikan secara tertulis oleh PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Adapun 3 informasi publik yang tidak diberikan oleh PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dokumen yang menjelaskan; pertama, dokumen yang menjelaskan hasil evaluasi pemenuhan standar pelayanan minimum penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena dampak bencana banjir; kedua, dokumen yang menjelaskan dampak sosial dan ekonomi bagi korban banjir; dan ketiga, dokumen yang menjelaskan ganti kerugian yang diberikan bagi masyarakat yang mengalami kerugian pasca banjir.
Selama proses sidang ajudikasi informasi publik, PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersikeras telah memberikan seluruh informasi publik yang dimohonkan oleh LBH Jakarta, padahal apa yang diberikan oleh PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta “tidak nyambung” dengan informasi publik yang dimintakan oleh LBH Jakarta. Pemberian informasi publik yang tepat akan sangat berkaitan dengan pengembangan upaya penanggulangan bencana banjir di Jakarta.
Salah satunya, LBH Jakarta meminta informasi publik terkait ganti kerugian yang diberikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap masyarakat terdampak banjir, namun PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjawab dengan data bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, hanya dengan membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara daring atau membuka beberapa aturan terkait bantuan sosial saja, kita dapat memahami perbedaan makna dan penerapan yang signifikan dari “ganti kerugian” dan “bantuan sosial”. Sehingga menjawab informasi publik terkait “ganti kerugian” dengan jawaban “bantuan sosial” merupakan hal yang tidak tepat sasaran.
Selain itu, LBH Jakarta juga menilai, bahwa PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mempersiapkan proses sengketa informasi publik dengan sungguh-sungguh. Hal ini dibuktikan dengan pembuatan daftar alat bukti yang tidak bersesuaian dan sulit untuk dipahami, sehingga majelis komisioner harus meminta daftar alat bukti di revisi 2 kali bahkan PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mendapatkan asistensi khusus dari majelis komisioner, hanya untuk membuat daftar alat bukti.
Dalam keterangannya, Jeanny Silvia Sari Sirait, pengacara publik yang mewakili LBH Jakarta pada sengketa ini menyatakan bahwa ia menilai PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menganggap sengketa informasi publik ini sebagai bagian dari pemenuhan tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap upaya penanggulangan banjir di DKI Jakarta. “Kalau dalam hal pemenuhan informasi publik saja sudah tidak sungguh-sungguh, ditanya apa dijawab apa, membuat daftar alat bukti sudah tidak seperti membuat dokumen hukum, bagaimana mau dinilai melayani masyarakat dengan proper. Didepan persidangan saja pertanggungjawabannya seperti ini, apalagi terhadap publik” Tegas Jeanny.
Lebih lanjut, pada kesimpulannya, PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menyatakan bahwa LBH Jakarta seharusnya meminta informasi publik dengan mekanisme riset. Padahal, tidak ada dasar hukum apapun yang menentukan, bilamana informasi harus dimintakan dengan mekanisme riset atau mekanisme permohonan informasi publik. Bahkan, dalam respon PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap permohonan informasi publik, tidak pernah sama sekali menyinggung mekanisme riset dalam proses permohonan informasi publik.
Informasi Publik merupakan “pintu masuk” pencegahan dan penanggulangan banjir Jakarta dapat dilakukan lebih baik lagi, sehingga masyarakat DKI Jakarta tak perlu lagi mempertaruhkan harta benda, sanak saudara bahkan nyawanya karena permasalahan banjir. Oleh karenanya, LBH Jakarta mendesak Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta untuk:
- Memeriksa dan mengadili sengketa informasi publik banjir DKI Jakarta dengan netralitas yang dijunjung setinggi-tingginya dan setia mengarahkan diri pada kepentingan masyarakat;
- Memerintahkan PPID Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera memberikan informasi publik tertulis sebagai berikut :
- Dokumen yang menjelaskan hasil evaluasi pemenuhan standar pelayanan minimum penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena dampak bencana banjir;
- Dokumen yang menjelaskan dampak sosial dan ekonomi bagi korban banjir;
- Dokumen yang menjelaskan ganti kerugian yang diberikan bagi masyarakat yang mengalami kerugian pasca banjir.