KERANGKA KONSEPTUAL
Persoalan utama dalam eksaminasi publik putusan ini pada pokoknya adalah pemenuhan hak atas air. Persoalan ini harus dilihat dari dua perspektif secara bersama-sama, yaitu dari perspektif konstitusi (hukum tata negara) dan dari perspektif hukum internasional, secara lebih spesifik hukum hak asasi manusia internasional. Dari perspektif konstitusi (hukum tata negara), air tunduk pada penguasaan negara, baik dalam “kualifikasinya” semata-mata sebagai “benda natural” maupun sebagai bagian dari “cabang produksi.” Dalam konteks air sebagai “benda natural,” Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dalam konteks air sebagai “cabang produksi,” Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Dengan penegasan Konstitusi (UUD 1945) ini, air tidak boleh dipandang dan diperlakukan semata-mata sebagai benda ekonomi yang pemanfaatannya begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar yang orientasinya hanya mencari untung. Pemanfaatan air tunduk pada prinsip penguasaan oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, keuntungan bukanlah hal pertama yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan air melainkan pemenuhan kebutuhan rakyat.
Pengertian “dikuasi oleh negara” telah diberikan interpretasi konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi sejak awal keberadaan lembaga negara ini, yaitu melalui Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Hingga saat ini MK belum pernah mengubah pendiriannya. Melalui putusan tersebut, MK pada intinya menegaskan:
…. “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,” termasuk di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (behersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Fungsi pengurusan (bertuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (shareholding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara, c.q. pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara, c.q. pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.”
Hal yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah dengan demikian berarti UUD 1945, khususnya Pasal 33, menolak privatisasi? MK mengatakan “Tidak.” Namun, dalam hal ini, MK menegaskan, Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak privatisasi sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak.
Perkara a quo tidak boleh dilihat dan diperlakukan sebagai gugatan biasa karena beberapa alasan. Pertama, substansi perkara a quo bersangkut-paut dengan hak atas air (right to water) yang merupakan bagian dari hak asasi manusia generasi kedua, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, budaya (economic, social, and cultural rights, kerap disingkat ESC rights). Benar bahwa, khususnya sebelum 2002, hak atas air tidak secara eksplisit disebut sebagai hak asasi manusia yang berdiri sendiri (self-standing human rights). Namun, hukum hak asasi manusia internasional (international human rights law) secara tegas memasukkan kewajiban-kebajiban khusus yang berkait dengan akses kepada air minum yang aman (safe drinking water). Kewajiban-kewajiban tersebut juga mempersyaratkan negara untuk menjamin akses setiap orang kepada air minum yang aman dalam jumlah yang memadai untuk pemanfaatan pribadi dan rumah tangga (untuk kebutuhan minum, sanitasi pribadi, mencuci pakaian, masak-memasak, serta kesehatan pribadi dan rumah tangga). Kewajiban-kewajiban tadi juga mempersyaratkan negara untuk secara progresif menjamin akses kepada sanitasi yang layak, sebagai unsur mendasar martabat dan pribadi manusia, serta melindungi kualitas pasokan dan sumber air minum. Beberapa contoh ketentuan dalam perjanjian-perjanjian internasional yang secara spesifik mempertautkan kewajiban-kewajiban yang berkait dengan akses kepada air minum dan sanitasi yang aman, antara lain, Pasal 14 ayat (2) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979; Pasal 5 International Labor Organization Convention No. 161 concerning Occupational Health Service 1985; Pasal 24 dan Pasal 27 ayat (3) Convention on the Rights of the Child 1989; Pasal 28 Covention on the Rights of Persons with Disabilities 2006.
Sejak 2002, PBB telah mengadopsi hak atas air sebagai hak asasi manusia. Dengan diterimanya secara tegas hak atas air sebagai hak asasi manusia maka negara pun terikat untuk menjamin rakyatnya akan penikmatan hak asasinya itu, sebagaimana berlaku terhadap hak-hak asasi yang lain. Dalam konteks itu, ada tiga dimensi kewajiban negara terkait dengan penikmatan hak asasi tersebut. Pertama, kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) hak ini. Artinya, negara tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan terhalangnya hak setiap warganya atas air, apalagi mengingkarinya. Kedua, kewajiban untuk melindungi (obligation to protect) hak atas air. Negara harus mencegah intervensi pihak ketiga terhadap penikmatan hak setiap orang atas air ini. Ketiga, kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill) hak atas air ini. Dalam hal ini negara harus mengupayakan sekuat tenaga terpenuhinya hak atas air ini, setidaknya air untuk kebutuhan minum dan sanitasi.
Lebih jauh dalam kaitan ini, General Comment 15 dari International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) mengatakan, “The human right to water entitles everyone to sufficient, safe, acceptable, physically accessible and affordable water for personal and domestic uses.” Dengan kata lain, sebagai hak asasi, menurut ICESCR, setiap orang berhak atas air memadai, aman, dapat diterima, secara fisik dapat diakses dan terjangkau untuk pemanfaatan atau penggunaan pribadi dan rumah tangganya. Sebagai state party terhadap ICESCR, Indonesia terikat oleh kewajiban hukum internasional (international legal obligation) yang tertuang dalam ICESCR, termasuk kewajiban yang secara eksplisit ditegaskan dalam General Comment 15 tersebut. Keterikatan untuk melaksanakan kewajiban hukum internasional itu mencakup seluruh cabang kekuasaan negara, termasuk kekuasaan peradilan – hal itu terlepas dari belum selesainya perdebatan akademik perihal apakah Indonesia menganut doktrin monisme atau dualisme dalam isu hubungan hukum internasional dengan hukum nasional sebab prinsip hukum pacta sunt servanda menuntut setiap pihak dalam suatu perjanjian untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik; prinsip yang telah hidup berabad-abad dan dipraktikkan sebagai hukum kebiasaan sebelum dipositifkan dalam kaidah hukum internasional tertulis yaitu Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
Kedua, dari sudut pandang Konstitusi (c.q. UUD 1945). Hak atas air, kendatipun tidak dinyatakan secara eksplisit, adalah bagian dari hak konstitusional warga negara. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state). Syarat pertama dari negara demokrasi yang berdasar atas hukum adalah Constitutionalism yang di dalamnya, antara lain, terkandung pengertian bahwa konstitusi harus diperlakukan dan diberlakukan sebagai hukum tertinggi (supreme law) yang mengikat seluruh cabang kekuasaan negara. Ketika suatu hak diadopsi atau dimasukkan sebagai hak konstitusional maka hak tersebut menjadi bagian dari konstitusi dan karenanya berarti menjadi bagian dari hukum tertinggi. Oleh karena itu, seluruh cabang kekuasaan negara harus tunduk dan terikat kepadanya. Artinya, ketika suatu hak diakui sebagai bagian dari hak konstitusional maka dalan praktik status sebagai hak konstitusional itu harus benar-benar terjelma dan ditaati. Sebab, penerimaan konstitusi sebagai supreme law hanya akan bermakna jika pada saat yang sama juga diterima konstruksi pemikiran bahwa konstitusi adalah enforceable law.
Harusnya hakim menjadi 2 hal ini sebagai dasar pertimbangan hukum hakim dalam mengambil Putusan terkait perkara ini. Hakim harus melihat Air sebagai hak asasi manusia yang pemenuhan, perlindungan dan penghormatannya wajib dipenuhi oleh negara, namun juga harus dilihat dari sudut pandang hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dan wajib dipenuhi oleh negara.
Putusan eksaminasi publik disusun dengan sistematika sebagai berikut:
-
- Kerangka Konseptual
- Posisi Kasus
- Isu Hukum
- Penulusuran Bahan Hukum dan Analisis
- Kesimpulan
- Penutup
Download untuk mengetahui lebih lengkap Putusan Eksaminasi Publik atas Putusan Privatisasi Air Jakarta pada tautan di bawah ini.
[Putusan Eksaminasi Publik atas Putusan Privatisasi Air Jakarta]