(Jakarta, 1 Desember 2020) Tim Advokasi Untuk Demokrasi (Taud) kecewa dengan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang mengabaikan hak tiga orang anak yang berhadapan dengan hukum (abh) untuk mendapatkan diversi dalam proses hukum pra penuntutan. Diversi merupakan bentuk pengalihan proses pidana kepada anak yang bertujuan agar tidak terjadi penghukuman yang mengabaikan kepentingan terbaik anak. Ketiga anak tersebut terpaksa harus berhadapan dengan hukum karena terlibat dalam protes penolakan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.
Afif Abdul Qoyim, Pengacara Publik LBH Masyarakat. LBH Jakarta dan Paralegal Jalanan Jakarta yang mendampingi ketiga anak tersebut, saat proses pelimpahan dilakukan oleh kepolisian ke kejaksaan, menjelaskan bahwa saat mendampingi anak berhadapan dengan hukum (abh) pihak kejaksaan membatasi tim yang akan masuk dengan alasan agar tidak terlalu ramai di dalam ruangan. Taud yang kemudian menunggu diluar, dijanjikan akan dipanggil ketika proses terhadap ketiga anak tersebut akan dilakukan. Namun hingga proses pelimpahan selesai, tim pendamping tak kunjung dipanggil.
“Sampai proses selesai, Taud yang menunggu di luar ruangan tak kunjung dipanggil untuk mendampingi proses pendampingan, hanya keluarga anak, jaksa, dan kepolisian saja yang berada di dalam ruangan,” ungkap Afif.
Lebih lanjut, mewakili Taud, Afif mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Menurutnya praktik penghalangan pendampingan hukum dalam proses pelimpahan tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan penegak hukum (dalam hal ini Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan).
“Hal tersebut merupakan bentuk perampasan hak seseorang yang sedang berhadapan dengan hukum dan bertentangan dengan peraturan yang ada,” tegas Afif.
Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwasannya setiap tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih selama waktu dan pada setiap pemeriksaan. Menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Jika merujuk pada undang-undang yang ada maka mendapatkan bantuan hukum merupakan hak dari orang yang sedang berhadapan dengan hukum. Dalam UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam Pasal 5 ayat (2) menjamin setiap orang mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak.
Taud juga diberitahukan bahwa tidak ada diversi di tingkat kejaksaan dalam pendampingan 1 Desember 2020. Tindakan ini bertentangan dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU tersebut, Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa diversi harus dilakukan dalam setiap proses ketika anak berhadapan dengan hukum. Selanjutnya ayat (2) dalam pasal tersebut juga menyatakan bahwa diversi wajib dilaksanakan untuk anak yang diancam pidana di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2014 Pasal 3 juga menjelaskan, meskipun didakwa dengan ancaman di atas 7 tahun tetapi diancam juga dengan pasal yang ancamannya dibawah 7 tahun maka perlu dilakukan diversi.
Peristiwa yang menyebabkan anak-anak tersebut harus berhadapan dengan hukum bermula dari gencarnya penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja. Gelombang penolakan tersebut kemudian direspon oleh kepolisian dengan represif, seperti melakukan penangkapan-penangkapan secara sewenang-wenang. Penangkapan terjadi bukan hanya kepada massa yang turun ke jalan saja, namun juga menyasar akun-akun sosial media yang gencar menyuarakan penolakan. Kepolisian juga melakukan penangkapan terhadap beberapa orang anak yang bertindak sebagai admin salah satu grup anak STM se-Jabodetabek. Dalam penangkapan tersebut ditangkap 5 orang anak yang berada dalam satu grup di sosial media facebook. Secara keseluruhan, sejak Agustus lalu Kepolisian telah menangkap 5.298 orang yang terdiri dari pelajar, buruh, mahasiswa, wartawan dan kelompok masyarakat lainnya. (Dzuhrian)