Rilis Media 513/SK-RILIS/XI/2020
LBH Jakarta bersama korban pinjaman online mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik dalam proses perumusan Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi. Hal ini untuk mencegah terulangnya masalah yang sama berupa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap masyarakat yang menggunakan aplikasi pinjaman online. Berdasarkan data terakhir LBH Jakarta, sudah sekitar 5.000 (tiga ribu) orang, mayoritas perempuan, yang mengadukan permasalahan pinjaman online ke LBH Jakarta. Hal ini bukanlah jumlah yang sedikit dan terus bertambah setiap harinya.
Pada 21 November 2021, LBH Jakarta mendapatkan broadcast WhatsApp dari rekan peneliti pinjaman online lainnya bahwa OJK sedang menyusun aturan tentang pinjaman online dan meminta masukan masyarakat melalui e-mail hingga 27 November 2020.[1] Ketika dicek di halaman muka situs ojk.go.id, ternyata tidak nampak informasi tersebut. Dengan demikian penyusunan RPOJK tersebut tidak dapat dengan mudah dilihat dan diberikan masukan oleh masyarakat (tidak transparan) karena yang akan mendapat broadcast hanyalah orang-orang yang dikenal oleh OJK saja dan patut diduga merupakan tindakan formalitas semata agar dianggap telah berupaya menampung masukan masyarakat, khususnya pengguna aplikasi pinjaman online. Cara-cara pembentukan peraturan yang dilakukan oleh OJK ini sangatlah elitis dan tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 khususnya Pasal 5 huruf f tentang keterbukaan dan Pasal 6 ayat (1) huruf b yang mengatur tentang asas kemanusiaan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan haruslah mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Proses menampung aspirasi masyarakat sebetulnya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 misalnya dalam rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
Kembali ke RPOJK tersebut, hal ini sesungguhnya adalah pengulangan dari peraturan sebelumnya, yakni Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pada RPOJK berjumlah 155 halaman tersebut, masih banyak hal yang selama ini menjadi permasalahan ditengah masyarakat yang belum diatur, diantaranya permasalahan terkait batasan bunga yang tidak juga diatur dan dibatasi. Selain itu juga pada RPOJK ini mekanisme penagihan masih diserahkan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) dari masing-masing perusahaan penyelenggara pinjaman online, hal ini menunjukan bahwa OJK masih enggan mengatur batasan mekanisme penagihan dengan tegas. Padahal masalah penagihan yang dipenuhi dengan berbagai-bagai pelanggaran hukum dan HAM merupakan salah satu permasalahan terbesar dalam permasalahan pinjaman online. Lainnya, mekanisme pendaftaran yang masih terpisah dengan lembaga negara terkait lainnya juga belum diatur dengan jelas pada RPOJK ini, dampaknya permasalahan terkait beroperasinya pinjaman online yang tidak terdaftar atau tidak berizin akan kembali terulang jika RPOJK ini disahkan nantinya. Permasalahan yang juga tidak kalah penting adalah pembatasan pelibatan pihak ketiga dalam pemberian data pribadi pengguna yang juga belum diatur secara spesifik dalam RPOJK ini, hal ini berpotensi kuat melanggengkan penyebaran data pribadi pengguna kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Jauh sebelum RPOJK ini diumumkan, LBH Jakarta sebenarnya telah berusaha memberikan masukan kepada OJK melalui risalah kebijakan (policy brief) tentang pinjaman online.[2] Risalah kebijakan ini dibuat dengan mengkaji berbagai permasalahan yang muncul ditengah masyarakat, berbagai regulasi yang ada dan perbandingan kebijakan diantara berbagai negara. Risalah kebijakan tersebut pada awalnya hendak diberikan oleh LBH Jakarta melalui audiensi, namun setelah 2 kali mengirimkan permohonan audiensi, OJK tidak juga merespon permohonan tersebut. Kendati demikian, LBH Jakarta tetap memberikan risalah kebijakan tersebut melalui pos tercatat pada 8 Januari 2020. Anehnya, sekalipun telah dibantu dengan risalah kebijakan, hal-hal yang diatur dalam RPOJK Pinjaman Online tak juga menjawab permasalahan yang ada.
Berdasarkan pada hal tersebut, LBH Jakarta bersama para korban pinjaman online mendesak OJK untuk:
- Membuka seluas-luasnya ruang partisipasi publik dalam proses perumusan Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, terutama korban pinjaman online untuk mencegah terulangnya masalah yang sama berupa pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terhadap masyarakat yang menggunakan aplikasi pinjaman online;
- Membuat aturan pinjaman online yang sesuai dengan standar hak asasi manusia dan perlindungan hukum dan perlindungan perempuan bagi pengguna aplikasi pinjaman online.
Hormat kami,
Jakarta, 24 November 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
[1] <https://ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/rancangan-regulasi/Pages/Permintaan-Tanggapan-Atas-RPOJK-Layanan-Pendanaan-Bersama-Berbasis-Teknologi-Informasi.aspx>
[2] Pemerintah Harus Membuat Kebijakan yang Melindungi Pengguna Pinjaman Online <https://bantuanhukum.or.id/pemerintah-harus-membuat-kebijakan-yang-melindungi-pengguna-pinjaman-online/>