Siaran Pers
Sempat tertunda karena pandemi Covid-19, Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) 41 resmi dibuka pada 18 September 2020 secara daring dan disiarkan langsung melalui kanal youtube LBH Jakarta. Kalabahu 41 dibuka dengan diskusi publik yang berjudul “Lantangkan Suara”, dengan pembicara M. Busyro Muqoddas, Asfinawati, Cholil Mahmud, dan Dhyta Caturani.
Setiap tahunnya, Kalabahu selalu mengambil topik hasil refleksi situasi yang terjadi, termasuk dengan tema Kalabahu yang diekstraksikan dari pengalaman-pengaaman yang LBH Jakarta rasakan. “Kami merasa ada kemunduruan dari kebebasan sipil selama masa Joko Widodo. Banyak kriminalisasi, ancaman pada aktivis, pelarangan aksi, dan kampus yang menjadi tempat kebebasan justru dibungkam. Ini yang membuat kami mengambil tema Lantangkan Suara,” ujar Charlie Meidino Albajili selaku ketua Kalabahu 41.
Melalui Studium Generale, M. Busyro Muqoddas selaku ketua PP Muhammadiyah sekaligus mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa rezim saat ini merupakan New Orba. Dilihat dari data Global Corruption Barometer 2017, lembaga paling korup salah satunya adalah pengadilan yang nantinya akan berhubungan dengan modus operandi mafia peradilan di Indonesia. Salah satu yang disinggung adalah serbuan buzzer-buzzer politik dan bisnis yang semakin giat. Sehingga, salah satu tantangan yang akan dihadapi adalah kultur, sistem, dan karakter politik patrimonial yang ditandai dengan munculnya neo-feodalisme, patronialisme, dinasti keluarga dan elit parpol. Hal tersebut dapat dilihat dari kontestasi Pilkada yang akan dilakukan tahun ini.
Selain itu, unsur yang masih lekat adalah dominasi oligarki bisnis dan oligarki politik yang tampak dari semangat pembentukan perundang-undangan, contohnya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, termasuk mutilasi KPK melalui Revisi UU KPK pada 2019. Sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia saat ini memiliki kecenderungan machtsstaat (negara kekeuasaan), bukan lagi negara hukum.
Merespon hal tersebut, kemunculan bantuan hukum sruktural menjadi dasar dari gerakan bantuan hukum struktural (GBHS). Bukan hanya megubah kebijakan dan mengubah struktur hukum dan sosial, GBHS bertujuan melampaui penyelesaian kasus. Asfinawati selaku Ketua YLBHI menyampaikan, “Sejak awal LBH mengenalkan konsep hubungan kekuasaan dengan kedaulatan rakyat, jadi ketika ada perampasan lahan, perampasan rumah kita tidak mengatakan ini bentuk ketidaksengajaan, tapi justru menunjukan posisi diametral yang dipilih oleh negara berhadap-hadapan dengan rakyat dengan merampas hak rakyat. Tentu saja maksudnya bukan memprovokasi, tapi untuk membangun kesadaran rakyat untuk mampu berdaya dan mempertahankan hak, serta menunju demokrasi yang lebih esensial.”
Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Jakarta 2019 dengan judul ‘Reformasi Dikorupsi, Demokrasi Direpresi’ disebutkan bahwa peran aktif masyarakat sipil untuk memfasilitasi gerakan bersama dengan berbagai elemen sangat diperlukan untuk melawan oligarki dan ancaman kembalinya rezim otoritarian. Semagat tersebut dapat dilihat dalam aksi Reformasi Dikorupsi pada 24 September 2019 sebagai akumulasi kemarahan-kemarahan kecil sebagai respon terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang sangat mengintervensi kehidupan masyarakat. Contohnya melalui RKUHP, Revisi UU KPK, dan beberapa peraturan lainnya. Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca menyebutkan, “demokrasi sejatinya membutuhkan partisipasi publik aktif. Bukan hanya sekadar ikut pemilu atau membayar pajak. Tapi, terlibat melakukan pemantauan kinerja lembaga pemerintah, dari lingkup terkecil sampai pemerintah pusat, setiap hari.”
Tidak hanya dalam bidang hukum, tetapi partisipasi juga diperlukan dalam bidang-bidang lain, sebagaimana terangkum dalam GBHS. Dhyta Caturani dari Purple Code Collective menekankan bahwa, “Melantangkan suara itu penting, tetapi bagaimana kita mewujudkan kelantangan suara kita dalam gerakan yang lebih nyata dengan cara yang berbeda-beda itu menjadi lebih penting. Ambil peran masing-masing.” Ia juga menambahkan bahwa konsisten dalam perjuangan itu semudah menjadikan kemanusiaan sebagai kompas juang.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, setelah melalui diskusi dan kesepakatan bersama perserta, pelaksanaan Kalabahu 41 untuk pertama kalinya dilakukan secara daring dikarenakan adanya pandemi Covid-19, terhitung dari 18 September 2020 hingga 13 November 2020. Metodenya pun baru dan dibuat secara menarik dan interaktif. Selama proses Kalabahu, peserta akan berdiskusi dengan berbagai pematari yang akan membahas Pemikiran Dasar, Bantuan Hukum Struktural (BHS) dan HAM, Hak Sipol dan Ekosob, Advokasi, dan Kampanye Strategis.
Ada 42 peserta yang terdiri dari berbagai macam latar pendidikan dan daerah. Seperti tahun sebelumnya, Kalabahu 41 terbuka untuk mahasiswa ataupun sarjana dari segala jurusan. “Kalabahu menerima peserta dari berbagai latar belakang ilmu pengetahuan, daerah dan gender yang diharapkan menjadi simpul kelompok kritis untuk menghadirkan pembaruan. Kalabahu tidak hanya menjadi sebuah agenda pelatihan rutin saja. Ia adalah modalitas dalam sebuah gerakan sosial,” tutur Charlie.
Jakarta, 18 September 2020.
LBH Jakarta.