Siaran Pers
Tim Advokasi untuk Demokrasi
Sidang perkara No: 97/G/2020/PTUN-JKT tentang gugatan pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law RUU Cipta Kerja kembali berlanjut pada Selasa, 25 Agustus 2020. Perkara telah memasuki tahap pemeriksaan saksi dimana Para Penggugat menghadirkan 3 (tiga) orang saksi fakta. Ketiga saksi fakta yang dihadirkan adalah Iswan selaku Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI); Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Dalam keterangannya, ketiga saksi yang dihadirkan memperkuat dalil Penggugat bahwa tahapan penyusunan RUU Cipta Kerja yang menjadi dasar terbitnya Surpres sangat tertutup, tidak partisipatif dan diskriminatif.
Iswan selaku Wakil Presiden KSPI menjadi saksi fakta pertama yang diperiksa dalam sidang yang berlangsung dari pukul 12.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB tersebut. Iswan menjelaskan bahwa KSPI selaku salah satu Konfederasi buruh terbesar di Indonesia dan merupakan anggota Tripartit Nasional tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan draf RUU Cipta Kerja dengan pemerintah. Beberapa undangan dari pemerintah yang dihadiri KSPI sebelum terbitnya surpres tidak pernah membahas detail pasal-pasal terkait ketenagakerjaan dalam RUU tersebut. Konfederasi yang hadir bahkan tidak pernah mendapatkan draf RUU dan Naskah Akademiknya serta tidak dapat memberikan masukan. Iswan beranggapan pertemuan tersebut hanya formalitas saja sedangkan perumusan draf yang sebenarnya dilakukan pemerintah hanya bersama pengusaha melalui Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dengan dibentuknya Satuan Tugas Omnibus Law oleh Menko Perekonomian (SK Menko Perekonomian No 378 Tahun 2019).
Adapun Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN) dan Nur Hidayati (Direktur Walhi Nasional) dalam pemeriksaannya masing-masing menjelaskan tertutupnya ruang bagi masyarakat adat dan pegiat lingkungan hidup dalam mengakses penyusunan RUU Cipta Kerja. Padahal substansi RUU Cipta Kerja yang disusun pemerintah akan menghapuskan serangkaian pasal dalam berbagai UU yang bertahun-tahun telah diperjuangkan AMAN dan Walhi dalam rangka perlindungan masyarakat adat dan lingkungan. Dihapuskannya ketentuan dalam UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan juga UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup misalnya akan sangat merugikan masyarakat adat dan lebih jauh berpotensi mengakibatkan bencana lingkungan oleh manusia.
Ketiga saksi fakta juga menjelaskan secara terpisah bahwa sangat tertutup dan cepatnya proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja sebagai sebuah anomali. Pasalnya selama bertahun-tahun melakukan advokasi kebijakan, organisasi terkait hampir selalu dilibatkan bahkan sejak penyusunan Naskah Akademik. Dalam bukti surat yang dikonfirmasi kepada Nur Hidayati, pemerintah bahkan secara terang-terangan menolak permohonan informasi publik yang dilayangkan masyarakat sipil dan menyatakan dokumen RUU Cipta Kerja bersifat rahasia.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi menilai fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut semakin menguatkan dalil penggugat bahwa Surpres RUU Cipta Kerja diterbitkan cacat prosedur dan melanggar hukum. Surpres sudah selayaknya dinyatakan melanggar hukum dan Presiden RI harus menarik kembali pembahasan RUU Cipta Kerja yang cacat prosedur tersebut.
Dalam persidangan, Jaksa Pengacara Negara selaku kuasa hukum Presiden sebagai Tergugat, tidak banyak mengajukan pertanyaan pada saksi fakta. Persidangan yang dilakukan dengan protokol covid-19 dihadiri oleh belasan buruh dan awak media di barisan pengunjung. Penggugat yaitu Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) juga turut hadir dalam persidangan.
Dalam persidangan sebelumnya, Para Penggugat telah mengajukan 90 alat bukti surat serta menghadirkan 1 (satu) saksi fakta yaitu Nining Elitos selaku Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Adapun persidangan selanjutnya akan dilakukan pada 1 September 2020 dengan agenda pemeriksaan saksi fakta dari Tergugat.
Jakarta, 25 Agustus 2020
Hormat Kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi Bersama Para Pengugat Surat Presiden (KPBI, KPA, Merah Johansyah Ismail, YLBHI)