Press Release
Tim Advokasi untuk Demokrasi
Sidang Gugatan Pembatalan Surat Presiden (Surpres) Omnibus Law berlangsung kembali pada Selasa, 4 Agustus 2020 di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dengan agenda pembuktian. Dalam sidang yang dipimpin oleh Sutiyono (Ketua), Nelvy Christin dan Enrico Simanjutak (hakim anggota) selaku majelis hakim, para penggugat menghadirkan 90 (Sembilan puluh) alat bukti surat untuk menguatkan dalil dalam gugatannya sekaligus membantah jawaban dan duplik dari Presiden RI selaku tergugat.
Ilhamsyah, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), selaku salah satu pengugat menuturkan, “Kami berkeyakinan, puluhan alat bukti yang kami hadirkan akan meneguhkan majelis hakim untuk mengabulkan tuntutan kami”.
Adapun pengelompokan alat bukti tersebut sebagai berikut: Pertama, bukti terkait untuk memperkuat dalil bahwa Surat Presiden adalah Keputusan Tata Usaha Negara. Kedua, bukti-bukti terkait gugatan telah memenuhi syarat formil dan tenggat waktu. Ketiga, bukti-bukti terkait kepentingan hukum para penggugat terhadap penerbitan surat presiden. Keempat, bukti-bukti mengenai cacat formil surat presiden karena tahapan proses penyusunan RUU yang tidak transparan. Kelima, bukti-bukti soal cacat formil Surat Presiden karena proses penyusunan yang tidak partisipatif. Keenam, bukti-bukti mengenai cacat formil Surat Presiden karena tahapan penyusunan RUU dilakukan secara diskriminatif, hanya melibatkan organisasi pengusaha. Terakhir, ketujuh, bukti-bukti terkait kerugian yang dialami oleh para penggugat. Selain 90 alat bukti surat di atas, para pengugat juga akan menyusulkan alat-alat bukti tambahan dan menghadirkan saksi fakta dan ahli pada persidangan pembuktian selanjutnya.
Pretty, selaku perwakilan kuasa hukum menyatakan, “Banyak pihak yang ingin kami hadirkan sebagai saksi fakta ataupun ahli, semoga majelis dapat memaksimalkan proses persidangan untuk mendengarkan kesaksian mereka”.
Usai persidangan pembuktian berlangsung, para penggugat meluncurkan kartu pos dukungan pembatalan Supres Omnibus Law. Asfinawati, selaku salah satu penggugat menerangkan, “Kartu pos ini merupakan aspirasi dari para pihak yang sebenarnya ingin turut menggugat tapi terhalang oleh persyaratan teknis”.
Selain permasalahan yang disampaikan Asfin, pembatasan yang berlangsung akibat Covid-19, juga telah menyulitkan masyarakat yang ingin menghadiri dan mendukung gugatan untuk datang ke menghadiri persidangan. Lebih lanjut, Dewi Kartika, Sekjen KPA, menambahkan, “Banyak dari anggota kami, petani, nelayan dan masyarakat adat di berbagai provinsi ingin hadir, namun pandemi membatasi ruang gerak, semoga kartu pos ini bisa mewakili wajah dan doa mereka buat majelis hakim”.
Merah Johansyah, selaku penggugat individu, mengingatkan betapa berbahayanya proses penyusunan aturan hukum yang melanggar prinsip keterbukaan, partisipasi dan non-diskirminasi. “Proses penyusunan yang penuh pelanggaran, hanya akan menghasilkan aturan yang melegalkan pelanggaran-pelanggaran lainya,” tutur Merah. Dirinya mengajak semua pihak yang telah dan akan dirugikan untuk mengirimkan kartu pos ke majelis hakim.
Jakarta, 4 Agustus 2020
Hormat Kami,
Para Pengugat Surat Presiden
(KPBI, KPA, Merah Johansyah Ismail, YLBHI)