Siaran Pers Hari Anak Nasional 2020
Selamat Hari Anak Nasional Indonesia. Setiap tanggal 23 Juli kita memperingati hari anak nasional, bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 41 tahun sejak disahkannya undang-undang yang berusaha memberikan jaminan perlindungan khusus bagi hak-hak anak sebagai kelompok rentan, bagaimana pemenuhan hak anak saat ini, khususnya anak yang terpaksa harus berhadapan dengan hukum? LBH Jakarta sebagai organisasi bantuan hukum yang berfokus mendorong penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia termasuk hak-hak anak dalam proses hukum, mencatat masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) khususnya anak yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana / anak yang berkonflik dengan hukum.
Pada tahun 2019, LBH Jakarta menerima 16 pengaduan terkait pelanggaran hak anak. Jumlah ini meningkat pada tahun 2020, hingga bulan Juli ini sudah terdapat 15 pengaduan. Pelanggaran hak anak untuk diproses hukum secara adil terjadi dalam berbagai bentuk dan pola. Mulai dari pelanggaran hak atas bantuan hukum, pemeriksaan tanpa pendampingan orang tua maupun pekerja sosial, penahanan lewat waktu dan digabung bersama tahanan dewasa, penyiksaan terhadap anak, kekerasan seksual, diskriminasi, hingga pelanggaran hak untuk diproses melalui suatu peradilan khusus sesuai kepentingan terbaik anak yang telah dijamin dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Potret ini tercermin jelas dari salah satu kasus anak berhadapan dengan hukum dari Papua yang ditangani LBH Jakarta. Pada Januari 2020 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyidang kasus anak dari Papua asal Kabupaten Nduga, berinisial MG. Kejaksaan Negeri Wamena mendakwa MG atas dugaan pembunuhan berencana terhadap 17 orang pekerja PT. Istaka Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang tejadi pada tahun 2018.
Dalam prosesnya, MG yang masih berusia 16 tahun mengalami serangkaian pelanggaran hak-haknya sebagai anak yang berhadapan dengan hukum. MG diproses tidak melalui sistem peradilan pidana anak, ia diproses seperti proses hukum bagi tersangka, maupun terdakwa dewasa. Ditahan sejak bulan Mei 2019 hingga perkaranya diputus pada bulan April 2019. Terhitung ia sudah ditahan selama hampir 1 tahun. Lebih-lebih mengingat MG dan saksi-saksi yang dimilikinya meyakini ia tidak melakukan pembunuhan tersebut.
Saat penyidikan awal mulai dari penangkapan, MG dilanggar hak-haknya berkali-kali. Saat ditangkap ia dipukul oleh anggota kepolisian Polres Wamena dengan senjata laras panjang. Saat diperiksa ia tidak diberikan penasihat hukum dan penerjemah. Usianya dipalsukan pihak kepolisian menjadi usia dewasa (21 tahun), sehingga hak dia sebagai anak yang diproses hukum untuk dipisahkan penahanannya dari orang dewasa tidak diberikan. Begitu juga hak untuk didampingi orang tua dan pendamping sosial anak serta pendamping dari balai kemasyarakatan yang dijamin UU SPPA.
LBH Jakarta dan jaringan advokasi Papua yang mendampingi MG tidak terima dengan perlakuan illegal ini, dan berupaya membuktikan melalui metode foreksik odontologi (forensik gigi) bahwa usia MG masih anak. Terbukti, tim dokter dari Universitas Negeri Padjajaran Bandung dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto menyimpulkan usia MG masih 16 tahun. Sehingga, pada April 2019 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menganggap terdapat kekeliruan dalam proses hukum MG dan membebaskan MG dari tahanan. Pengadilan juga mengakui bahwa terdapat pelanggaran hak MG saat penyidikan karena tidak diberikan penerjemah, mengigat MG tidak fasih berbahasa Indonesia.
LBH Jakarta menilai telah terjadi kriminalisasi dan pelanggaran hak anak yang serius terhadap MG. Sebaliknya, atas peristiwa pembunuhan tersebut, Tim Kemanusian Kabupaten Nduga menyebutkan telah terdapat 41 korban anak meninggal akibat operasi militer di Nduga 2019 dan belum ada satupun aparat yang diproses[1]. Begitu juga, aparat yang melakukan kriminalisasi dan pelanggaran hak MG sama sekali tidak diproses. Selain kasus MG, di Papua juga terdapat 3 anak Papua yang diproses hukum tidak sesuai SPPA pada 2019 setelah peristiwa demo anti rasisme 2019[2].
Berkaca dari penjelasan di atas, kita melihat masih terdapat banyak pelanggaran hak-hak anak dalam proses hukum. Hak anak untuk tidak disiksa, diproses hukum sesuai kepentingan terbaiknya, mendapatkan pengacara, tidak ditahan atau sekalipun ditahan harus dalam waktu yang paling singkat, yang telah dijamin dalam UU SPPA dan Konvensi Hak Anak (UN Convention on Rights Of Child).
Oleh karena itu, LBH Jakarta pada Hari Anak Nasional 2020 ini menuntut:
- Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan Institusi Penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementrian Hukum dan HAM cq. Dirjen Pemasyarakatan serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengevaluasi pelaksanaan UU Sistem Peradilan Pidana Anak dan memastikan pemenuhan hak anak dalam proses hukum untuk menghentikan diskriminasi dan unfair trial (pelanggaran hak atas peradilan yang adil) bagi anak yang berhadapan dengan hukum;
- Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung serta Menteri Hukum dan HAM memastikan jajarannya di masing-masing instansi penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga lembaga pemasyarakatan untuk menjalankan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan sepenuhnya;
- Kapolri, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM mengusut tuntas pelaku pelanggaran hak anak yang berhadapan dengan hukum di institusinya dan memberikan sanksi pidana maupun sanksi disiplin bagi para pelanggar;
- Lembaga negara terkait, Komnas Perlindungan Anak (KPAI), Komnas HAM dan Ombudsman melakukan pemantauan dan pendampingan serius terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang dilanggar hak-haknya dalam proses hukum.
Jakarta, 23 Juli 2020
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190814152018-20-421279/tim-kemanusiaan-konflik-nduga-renggut-182-korban-jiwa
[2] https://www.voaindonesia.com/a/pendekatan-kemanusiaan-kasus-anak-papua-berhadapan-dengan-hukum/5201504.html