LBH Jakarta mengecam Universitas Nasional (UNAS) yang kembali bertindak represif pada mahasiswanya yang menuntut keringanan biaya kuliah dalam Aliansi UNAS Gawat Darurat (UGD). Setelah sebelumnya pihak UNAS menjatuhkan sanksi drop out dan skorsing terhadap aliansi serta berupaya mempidanakan mahasiswa, kali ini mahasiswa dalam Aliansi UGD mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan personil keamanan kampus secara beramai-ramai.
Tindakan kekerasan tersebut terjadi pada saat Aliansi UGD kembali melakukan aksi di depan kampus UNAS pada 14 Juli 2020. Aksi yang dimulai pada pukul 15.30 WIB tersebut dihadiri 13 mahasiswa yang menuntut pencabutan sanksi pemberhentian (drop out) dan skorsing yang diberikan kampus kepada rekan-rekannya. Mereka juga kembali menyampaikan tuntutan transparansi keuangan kampus dan pemotongan biaya kuliah yang menjadi tuntutan awal mereka.
Aksi tersebut hanya berlangsung selama 30 menit karena secara tiba-tiba pihak keamanan kampus melakukan kekerasan terhadap massa aksi mahasiswa. Dari dokumentasi video mahasiswa, terlihat pihak keamanan kampus yang berjumlah cukup besar melakukan pengeroyokan terhadap peserta aksi. Atas tindakan tersebut, LBH Jakarta mendampingi mahasiswa melakukan pelaporan kepada Polda Metro Jaya pada 15 Juli 2020 dini hari atas dugaan tindak pidana pengeroyokan dalam Pasal 170 KUHP.
Menurut kesaksian mahasiswa, tindakan kekerasan tersebut dipicu provokasi oleh salah satu pihak keamanan yang merasa tersinggung pada saat mahasiswa meminta kejelasan mengenai surat tuntutan mereka. Satu orang perwakilan Aliansi saat itu bernegosiasi dengan pihak keamanan untuk meminta bukti bahwa surat tuntutan yang mereka berikan kepada keamanan memang benar diterima oleh pihak Rektorat sebab Aliansi tidak dapat memberikan surat langsung kepada rektorat.
LBH Jakarta beranggapan bahwa tindakan kekerasan tersebut menambah panjang catatan buruk UNAS dalam mengelola kehidupan kampus yang demokratis dan menjunjung nilai HAM sebagaimana dimandatkan Pasal 4 ayat 1 UU Sistem Pendidikan Nasional. Tuntutan mahasiswa untuk meminta transparansi keuangan kampus dan pemotongan biaya kuliah sebagai dampak Covid-19 sesungguhnya memiliki dasar konstitusional yang kuat. Pasal 28 C dan E UUD 1945 dan Pasal 13 UU No. 11 Tahun 2005 sesungguhnya telah menjamin bahwa pendidikan tinggi secara progresif harus dapat semakin terjangkau. Transparansi pengelolaan dana pendidikan sebagaimana tuntutan mahasiswa juga sudah selayaknya dilakukan UNAS jika merujuk pada Pasal 48 UU Sistem Pendidikan Nasional.
UNAS seharusnya wajib menjunjung tinggi prinsip transparansi dan dialogis ketimbang cara-cara represif, apalagi aksi mahasiswa UGD hingga saat ini dilakukan tanpa kekerasan. Sikapnya selama ini justru menunjukan bahwa UNAS melanggar prinsip kebebasan berpendapat, menciderai nilai kebebasan akademik, dan melanggar hak atas pendidikan mahasiswa dengan melakukan pemecatan pada mahasiswa secara inkonstitusional.
LBH Jakarta menuntut Rektor UNAS mencabut sanksi drop out dan skorsing terhadap mahasiswanya, menghentikan cara-cara kekerasan dan segera membuka ruang dialog dengan mahasiswa yang menuntut haknya atas transparansi dan akuntabilitas kampus. LBH Jakarta juga menuntut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memeriksa Rektor UNAS atas pelanggaran prinsip-prinsip dasar pendidikan yang demokratis dan tanpa kekerasan. Rektor UNAS adalah perpanjangan tangan Menteri dalam pelaksanaan tugas pendidikan tinggi di universitas swasta. Dengan diam saja artinya Menteri setuju dengan tindakan-tindakan anti demokrasi ini.
15 Juli 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA