Kuasa Hukum Ravio Patra yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK) berpendapat bahwa ada kejanggalan dalam putusan yang disampaikan oleh Hakim Nazar Effriadi, S.H. dalam persidangan pada Selasa, 14 Juli 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusannya, Hakim menolak seluruh dalil permohonan praperadilan yang diajukan oleh Kuasa Hukum Ravio Patra karena sependapat dengan jawaban dari pihak Termohon, yaitu Kuasa Hukum Kapolda Metro Jaya. Kejanggalan-kejanggalan tersebut antara lain:
- Hakim selalu mendorong para pihak untuk melakukan perdamaian di setiap sidang berlangsung
KATROK mencatat Hakim selalu mendorong agar pihak Pemohon dan Termohon praperadilan melakukan perdamaian sehingga persidangan praperadilan tidak perlu dilanjutkan. Hal tersebut dilakukan dalam setiap proses persidangan praperadilan yang digelar sejak 22 Juni 2020 dan ditunda ke tanggal 6 Juli 2020 hingga putusan dibacakan tanggal 14 Juli 2020. Setidaknya, 28 kali Hakim mendorong para pihak untuk berdamai. Hukum acara praperadilan tidak mengenal istilah perdamaian, sehingga Hakim Nazar Effriadi, S.H. tidak memiliki kewenangan untuk mendorong para pihak melakukan perdamaian dalam tugasnya sebagai Hakim di sidang praperadilan.
- Hakim tidak mempertimbangkan alat bukti dari Pemohon (saksi, ahli, dan surat), namun hanya mempertimbangkan alat bukti surat dari Termohon yang memiliki banyak kejanggalan dalam informasi administrasinya
Dalam proses pembuktian, KATROK mengajukan beberapa alat bukti seperti 3 orang saksi, 1 ahli, dan 13 bukti lainnya seperti surat dan video. KATROK ingin membuktikan bagaimana proses penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan yang terjadi ternyata tidak dilengkapi dengan syarat formil yang seharusnya dipenuhi oleh Kepolisian Polda Metro Jaya.Namun, hal ini tidak menjadi pertimbangan Hakim.
Sementara, Hakim hanya mempertimbangkan alat bukti surat dari Termohon dimana banyak kejanggalan dalam informasi administrasi yang ada dalam surat-surat tersebut. Hakim tidak membandingkan alat bukti Termohon dengan keterangan saksi, ahli, dan bukti lain yang diajukan KATROK. Padahal jika dibandingkan, maka Hakim dapat menemukan kejanggalan tersebut. Contohnya adalah perbedaan nama-nama polisi yang ditugaskan dalam Surat Perintah Tugas dalam rangka penyelidikan(T-4) dan Surat Perintah Penyelidikan (T-5). Atau keterangan polisi dalam Laporan Pelaksanaan Tugas Penggeledahan (T-8) yang menyatakan bahwa hasil dari penggeledahan tidak ditemukan barang bukti yang berkaitan dengan perkara dan selanjutnya dibuatkan hasil pelaksanaan tugas penggeledahannya. Padahal menurut keterangan saksi Ketua RW 06 Menteng, polisi mengeluarkan 1 tas koper dari kamar Ravio dan menaikkannya ke dalam mobil polisi.
Hakim berpendapat bahwa praperadilan hanya memeriksa aspek formil terhadap penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan yang dilakukan oleh pihak Polda Metro Jaya. Namun, Hakim tidak memeriksa informasi administrasi dari alat bukti surat yang diajukan. Hal ini terasa janggal karena ketidakkonsistenan tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa alat-alat bukti surat yang diajukan oleh Kuasa Hukum Kapolda Metro Jaya tidak berkualitas.
- Hakim tidak mempertimbangkan tidak adanya surat persetujuan penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam penyitaan barang-barang milik Ravio Patra sebagai bukti formil penyitaan
Dalam jawaban yang diajukan oleh Kuasa Hukum Kapolda Metro Jaya, penyitaan barang-barang milik Ravio dilakukan sesuai Pasal 38 ayat (2) yang berbunyi “Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.” Dengan alasan seperti itu, maka Kuasa Hukum Kapolda Metro Jaya seharusnya mengajukan surat pelaporan penyitaan barang-barang milik Ravio kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyetujui penyitaan tersebut sebagai pemenuhan syarat formil penyitaan. Namun, surat tersebut tidak ada dalam daftar alat bukti dari pihak Kuasa Hukum Kapolda Metro Jaya. Dengan tidak adanya alat bukti formil dari penyitaan yang berdasarkan pasal 38 (2) KUHAP, seharusnya penyitaan yang dilakukan oleh Kepolisian Polda Metro Jaya dapat dinyatakan tidak sah. Namun anehnya, Hakim tetap mengatakan penyitaan dilakukan secara sah tanpa menjelaskan dasar dari pertimbangan tersebut.
Dari beberapa kejanggalan tersebut, Katro berpendapat bahwa Hakim Nazar Effriadi, S.H. tidak memberikan pertimbangan hukum yang jelas dan cermat untuk memutus perkara praperadilan ini. Putusan yang dihasilkan sangat mencederai rasa keadilan untuk Ravio sebagai saksi sekaligus korban peretasan dalam kasus ini.
Setelah putusan praperadilan ini, KATRO akan fokus kembali mengawal laporan Ravio Patra terkait peretasan yang dia alami. Hingga saat ini, laporan tersebut tidak mengalami perkembangan yang berarti di Kepolisian. Padahal sebagai korban, kepolisian seharusnya memberikan jaminan pelayanan yang cepat demi kepastian hukum untuk Ravio. Hal ini dirasa sangat berbeda dengan perlakuan kepolisian atas laporan yang diterima oleh Kepolisian hingga sidang praperadilan ini berlangsung.
Jakarta, 15 Juli 2020
Hormat kami,
Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (KATROK)