Sidang lanjutan Gugatan Surat Presiden Omnibus Law yang sedianya dilakukan Selasa, 14 Juli 2020, kembali mengalami hambatan. Setelah sebelumnya, jadwal persidangan pembacaan jawaban diundur 2 minggu karena permasalahan lambatnya Presiden selaku tergugat menyediakan surat kuasa kepada kuasa hukumnya, kali ini sidang mengalami penundaan karena permasalahan kegagalan sistem administrasi perkara di pengadilan secara elektronik (disingkat e-court) dan persidangan elektronik (e-litigation).
Selasa pagi, sebelum jadwal persidangan dimulai jam 10.00 wib, kuasa hukum penggugat hendak mengunggah dokumen replik ke sistem e-court, namun tidak seperti biasanya, kolom untuk mengunggah dokumen tidak tersedia pada laman web e-court. Tim kuasa hukum penggugat menelepon PTUN untuk menanyakan permasalahan ini, namun tidak ada yang menjawab. Tim kuasa hukum kemudian menghubungi Panitera dan mendapat jawaban majelis hakim telah memutuskan untuk menunda persidangan hingga 21 Juli 2020 karena tidak menemukan dokumen replik penggugat pada sistem e-court. Sekalipun mendapat keterangan sidang ditunda, tim kuasa hukum kembali membuka laman web ecourt untuk mencoba lagi mengunggah dokumen replik, kolom unggah yang sebelumnya hilang telah tersedia. Meskipun tersedia, tim kuasa hukum terus mengalami gagal unggah. Setelah 3 jam berlalu dan tidak juga berhasil, perwakilan kuasa hukum akhirnya terpaksa mendatangi kantor PTUN dan meminta agar pihak PTUN yang mengunggahnya langsung, namun mereka pun mengalami kegagalan berulang kali, membutuhkan waktu hampir 2 jam untuk pegawai PTUN bisa mengunggahnya.
Tim kuasa hukum memprotes pengunduran jadwal sidang dan meminta agar majelis hakim mengubah keputusannya menunda persidangan. Tidak ditemukannya dokumen replik oleh hakim pada sistem e-court bukanlah akibat kesalahan yang disengaja ataupun kelalaian penggugat dan kuasa hukumnya, melainkan karena permasalahan pada sistem e-court. Sejak awal Penggugat tidak menginginkan persidangan dilakukan menggunakan sistem e-court dan e-litigation karena membuat masyarakat tidak dapat mengikuti persidangan dan bertentangan dengan “Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum”. Penggugat telah mengirimkan surat kepada majelis hakim agar persidangan dilakukan secara langsung dan terbuka, namun Majelis Hakim tidak mengabulkan dengan alasan berada di luar kekuasaannya karena hal itu kewenangan Mahkamah Agung. E-court dan e-litigation yang digadang-gadang oleh Mahkamah Agung untuk mempercepat proses persidangan di pengadilan justru terbukti membuat persidangan semakin lamban.
Salah satu tuntutan dalam gugatan adalah majelis hakim membatalkan Surat Presiden Omnibus Law karena proses penyusunan RUU-nya tertutup, tidak partisipatif dan diskriminatif. Jika gugatan ini dikabulkan maka proses pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR, demi hukum wajib dihentikan. Dalam situasi saat ini, dimana DPR melakukan pembahasan RUU dengan kecepatan tinggi, persidangan gugatan Surpres yang terus menerus diundur, baik karena ketidaksiapan Presiden menyediakan surat kuasa secara cepat dan kegagalan sistem e-court tentunya sangatlah merugikan kepentingan hukum para penggugat dan masyarakat lain yang menginginkan pembahasan omnibus law dihentikan.
Mengingat Omnibus Law RUU Cipta Kerja jika disahkan akan berdampak buruk pada kehidupan banyak lapisan anggota masyarakat, maka sudah sepatutnya persidangan gugatan Supres tidak mengalami penundaan. Di sisi lain, sudah sepatutnya, pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja di DPR dihentikan hingga terdapatnya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat atau setidaknya hingga pandemi berakhir dan warga dapat kembali aktif terlibat dalam proses pembentukan ruu.
Jakarta, 15 Juli 2020
Hormat Kami,
Para Penggugat Surpres Omnibus Law
(Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria, Merah Johansyah, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
#AtasiVirusCabutOmnibus