Pada tanggal 16 Juli 2020 Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan membacakan putusan terkait penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan. Terkait hal tersebut, berikut tanggapan dari Tim Advokasi Novel Baswedan:
1. Kami mengecam keras proses persidangan yang ditengarai memiliki banyak kejanggalan. Bahkan proses persidangan ini dapat dikatakan sedang menuju ke arah peradilan sesat. Sejatinya proses peradilan pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil, namun hal yang terlihat justru sebaliknya. Persidangan kali ini hanya untuk membenarkan seluruh dalil dan dalih yang disampaikan oleh para terdakwa dengan skenario besar menyembunyikan pelaku sebenarnya atau setidaknya aktor intelektual. Adapun kejanggalan yang dimaksud sebagai berikut:
a. Saksi-saksi yang dianggap penting dalam upaya untuk mengungkap kejahatan terorganisir ini tidak dimintai keterangan di muka persidangan;
b. Barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara tidak ditunjukkan dalam proses persidangan;
c. Jaksa yang harusnya menjadi representasi kepentingan korban terlihat berpihak pada pelaku kejahatan. Kesimpulan ini dapat diambil pada saat proses pemeriksaan saksi korban, Novel Baswedan. Pertanyaan yang diutarakan oleh Jaksa terkesan menyudutkan Novel. Bahkan tuntutan Jaksa juga mengikis rasa keadilan korban itu sendiri;
d. Kejaksaan dalam mendakwa dan menuntut tidak bertindak atas nama individu melainkan kelembagaan. Pemilihan penuntut umum dan rencana penuntutan (rentut) jelas merupakan tindakan kelembagaan. Oleh karena itu segala tindakan penuntutan di persidangan termasuk menuntut rendah dan lebih bersikap sebagai pembela terdakwa adalah perintah kelembagaan.
e.Pendampingan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap dua terdakwa kental dengan nuansa konflik kepentingan. Sebab, Ketua Tim Pendampingan Hukum para terdakwa sebelumnya merupakan pihak yang juga menyelidiki kasus ini dan tidak berhasil mengungkap kasusnya. Sehingga, publik dapat dengan mudah menerka sikap Polri tidak mungkin akan objektif dalam menangani perkara ini;
f. Pendampingan hukum langsung dari Polri menurut peraturan perundang-undangan adalah apabila menjadi tersangka karena menjalankan tugas. Apakah terdakwa saat menyiram Novel menjalankan tugas Polri?
g. Dalam fakta persidangan terungkap kedua terdakwa berdasarkan duplik yang dibcacakan PH, tidak pernah ditangkap melainkan menyerahkan diri, hal ini berbeda dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Argo Yuwono yang menyatakan kedua terdakwa ditangkap;
h. Terdapat saksi yang meragukan bahwa kedua terdakwa merupakan kedua orang yang ia lihat sesaat sebelum melakukan penyirman air keras. Sebab saat diperhatikan ketika dikonfrontir di Mabes Polri dari gestur gerak tubuhnya tidak sama atau berbeda;
i.Indikasi keterlibatan pelaku lebih dari 2 orang tampak dari kesaksian para saksi di persidangan yang mengungkapkan bahwa 1 (satu) bulan hingga 1 (minggu) sebelum kejadian terdapat orang-orang yang melakukan pengintaian di sekitar lingkungan rumah Novel Baswedan;
j. Bahwa Setelah 2 tahun lebih, pada tahun 2020 terdapat saksi dari labfor yang memeriksa Kembali cairan kimia yang terkandung di beberapa barang bukti dan hasilnya memiliki kadar yang sama pada pemeriksaan cairan kimia tahun 2017. Namun, terdapat saksi ahli yang berpendapat adanya kejanggalan sebab sangat mungkin terjadi ada penurunan besaran konsentrasi kimia yang menempel pada barang bukti dalam jangka waktu sekitar 2 tahun lebih dan kemudian ahli juga berpendapat ada keanehan mengenai berbedanya variasi tingkat konsetrat asam sulfat di barang bukti;
k. Leluasanya terdakwa keluar masuk dari asrama, padahal seharusnya terdakwa mendapatkan izin terlebih dahulu dari atasan hukum terdakwa, terlebih lagi hanya ada satu pintu akses di asrama brimob kelapa dua;
2. Majelis Hakim harus benar-benar memahami bahwa Indonesia menganut sistem pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie yang memiliki pengertian bahwa dasar
pembuktian dilakukan menurut keyakinan hakim (beyond reasonable doubt) dengan didasarkan pada dua alat bukti (Pasal 183 jo Pasal 184 KUHAP). Untuk itu, jika Hakim tidak yakin dan terdapat ketidaksesuaian antara alat bukti dengan fakta kejadian maka dua terdakwa tersebut semestinya dibebaskan;
3. Proses pengusutan kejahatan ini sudah seharusnya tidak berhenti pada dua terdakwa ini saja. Kami meyakini, masih terdapat aktor intelektual yang merancang kejahatan ini belum mau diungkap oleh Kepolisian. Bahkan, berbagai rangkaian perbuatan penyidik dan penuntut dalam kasus ini menunjukkan kuat dugaan persidangan ini hanya untuk menutupi motif kejahatan, pelaku penyerangan, dan peran serta aktor intelektual;
Berdasarkan hal tersebut, Tim Advokasi Novel Baswedan mendesak:
1. Ketua Mahkamah Agung untuk memberikan jaminan bahwa majelis hakim yang menyidangkan perkara ini akan bertindak objektif dan tidak ikut andil dalam peradilan sesat;
2. Komisi Kejaksaan harus memeriksa dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum;
3. Komisi Yudisial harus aktif untuk mendalami dan memeriksa apabila ada inidikasi dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
4. Propam Mabes Polri segera memeriksa Kadivkum, Irjen Rudy Herianto, yang sebelumnya menjadi penyidik kasus ini lalu kemudian menjadi kuasa hukum dua terdakwa. Terlebih terdapat dugaan penghilangan barang bukti dilakukan oleh yang bersangkutan;
5. Presiden Joko Widodo agar membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen yang kami yakini dapat membongkar kasus penyerangan terhadap Penyidik KPK, Novel Baswedan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka Presiden layak dikatakan gagal dalam menjamin keamanan warga negara mengingat Kapolri dan Kejakgung berada di bawah langsung Presiden, terlebih lagi korban merupakan penegak hukum;
Jakarta, 15 Juli 2020
Tim Advokasi Novel Baswedan