LBH Jakarta menghimbau kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta untuk memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk mencabut atau setidak-tidaknya merevisi Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nomor 501 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020/2021 karena bertentangan dengan Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 2019 tentang PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan (Permendikbud 44/2019) dan peraturan yang lebih tinggi lainnya. Selain itu juga menjadwal ulang proses proses penerimaan dengan aturan yang baru nantinya tersebut sebagai akibat dari aturan yang berlaku saat ini.
Pertama, tentang usia. PPDB DKI Jakarta yang dilakukan pada 25-30 Juni 2020, khususnya untuk SMP dan SMA memang menggunakan jalur zonasi dan jalur lainnya sebagaimana dimandatkan dalam Permendikbud 44/2019 namun terdapat ketentuan yang menyebutkan “Dalam hal jumlah Calon Peserta Didik Baru yang mendaftar dalam jalur tersebut melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan: – usia tertua ke usia termuda; – urutan pilihan sekolah; dan – waktu mendaftar”. Hal inilah yang memicu kekacauan karena pada akhirnya banyak yang tidak diterima di sekolah yang dekat dengan rumah dan kemungkinan besar akan diterima di sekolah yang jauh jaraknya dari rumah. Padahal prinsip dari Permendikbud 44/2019 adalah mendekatkan domisili peserta didik dengan sekolah (lihat Pasal 16). Faktor usia peserta didik yang lebih tua baru menjadi faktor yang dipertimbangkan ketika terdapat kesamaan jarak tinggal calon peserta didik dengan sekolah. Akibatnya nanti peserta didik akan bersekolah di tempat yang jauh dari rumah dan hal tersebut akan berdampak pada waktu yang dihabiskan di jalan dan ongkos sehari-hari yang memberatkan.
Kedua, tentang kuota. Pemprov DKI Jakarta mengatur kuota minimum jalur zonasi sebesar 40 persen yang lebih rendah dari Permendikbud 44/2019 yang mengatur 50 persen. Penurunan kuota ini tidak sesuai dengan semangat penerapan sistem zonasi.
Ketiga, mengenai prioritas tahapan. Dalam Permendikbud 44/2019, diatur bahwa untuk jalur zonasi, afirmasi dan perpindahan tugas orang tua terdapat kuota tertentu yang harus dipenuhi. Adapun untuk jalur prestasi, prinsipnya pemerintah daerah dapat membuka jika masih terdapat sisa kuota. Mengacu pada ketentuan tersebut, penentuan prioritas tahapan PPDB DKI 2020 menjadi aneh ketika pelaksanaan jalur prestasi non akademik (15 Juni) dilakukan mendahului jalur zonasi (25-25 Juni). Hal ini sekali lagi tidak sesuai dengan semangat sistem zonasi yang seharusnya diutamakan.
Jika dilihat rumusan normanya, ketentuan dalam Permendikbud 44/2019 bukan ketentuan yang dapat disimpangi oleh Pemerintah daerah sebab mengatur ketentuan dasar/minimal. Dalam hal ini, Pemprov DKI selain melanggar ketentuan dasar, sejatinya juga tidak konsisten dengan tujuan pelaksanan sistem zonasi.
Keempat, Pemprov DKI Jakarta tidak memberikan ruang partisipasi dan informasi yang layak kepada orang tua murid dan peserta didik sebelum pelaksanaan kebijakan ini, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk kesekian kalinya Pemprov DKI Jakarta tetap mempertahankan kebijakan serupa meskipun orang tua murid telah menyampaikan tuntutan perubahan sistem jauh sebelum pelaksanaan PPDB. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menyebutkan masyarakat harus dijamin haknya untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Ke depan, partisipasi dan penyampaian informasi yang layak wajib dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta demi kelancaran pelaksanaan dan kepentingan terbaik peserta didik.
Kelima, Pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan sistem zonasi agar tujuan pelaksanaannya tercapai dan tidak menjadi polemik tahunan
Sistem zonasi jika diterapkan secara konsisten dapat berdampak baik untuk menciptakan keadilan akses pendidikan. Selain mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga peserta didik, sistem ini dapat menghapuskan paradigma “unggulan” yang selama bertahun-tahun menciptakan kesenjangan layanan pendidikan.
Atas dasar itu, lebih jauh, LBH Jakarta berpandangan bahwa Menteri bersama Gubernur sebagai penanggung jawab kebijakan di level nasional dan provinsi harus mengevaluasi pengaturan dan pelaksanaan sistem zonasi yang telah diterapkan sejak 2017 mengingat setiap tahunnya selalu menjadi polemik. Pemerintah harus konsisten menerapkan aturan zonasi dan tidak mencampur adukan faktor-faktor lain seperti nilai maupun tingkat ekonomi yang tidak sejalan dengan tujuan zonasi. Sudah ada jalur lain untuk mengakomodir faktor-faktor tersebut;
Problem yang selalu muncul dalam pelaksanaan zonasi sejak 2017 adalah persebaran sekolah yang tidak merata dan infrastruktur yang tidak memadai. Oleh karena itu, Pemerintah juga harus memastikan pemerataan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana sekolah dan tenaga pengajar. Tanpa disertai upaya ini, tujuan sistem zonasi menciptakan pemerataan pendidikan mustahil tercapai. Peserta didik dan orang tua murid juga akan merasa sistem tidak adil. Upaya untuk menjamin ketersediaan sarana dan prasarana yang layak, mudah diakses, terjangkau dan tidak diskriminatif sejatinya adalah tanggung jawab pemerintah berdasarkan Pasal 30 UUD 1945 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Jakarta, 28 Juni 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA