Pada sidang lanjutan gugatan Surat Presiden Omnibus Law di PTUN Jakarta, Selasa (23/6), Presiden Republik Indonesia selaku Tergugat meminta penundaan pembacaan eksepsi. Dalam sidang perkara No. 97 G/ 2020/PTUN JKT yang dilakukan secara e-court tersebut, Presiden diwakili oleh kuasa hukumnya menyampaikan alasan penundaan karena pihaknya belum siap atas dokumen tersebut.
Eksepsi merupakan dokumen bantahan Tergugat atas gugatan yang dilayangkan terhadapnya. Sebagaimana diketahui, pada 30 April 2020 lalu, Tim Advokasi Untuk Demokrasi yang terdiri dari berbagai perwakilan masyarakat sipil menggugat Presiden RI atas penerbitan Surat Presiden (Surpres) Republik Indonesia Nomor R-06/Pres/02/2020 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan tersebut meminta hakim menyatakan bahwa Surpres tersebut melanggar hukum sehingga Presiden RI harus menarik kembali draf RUU Cipta Kerja.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi meyakini bahwa Surpres tersebut diterbitkan oleh Presiden RI dengan melanggar ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dalam UU No. 12 Tahun 2011, Surpres tersebut memuat sebuah tindakan adminsitratif pemerintah untuk mengalihkan kewenangan pembahasan RUU Cipta Kerja kepada DPR RI. Problemnya, prosedur penerbitannya cacat hukum lantaran penyusunan RUU Cipta Kerja dilakukan secara tertutup, tidak partisipatif dan diskriminatif. Dalam substansinya RUU Cipta Kerja ini juga hendak mengubah ketentuan di sektor pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan, properti dan infrastruktur. Dengan begitu, RUU Cipta Kerja tidak hanya akan berdampak buruk pada nasib buruh di Indonesia, namun juga akan membahayakan sendi-sendi ekonomi kerakyatan, jaminan hak atas tanah petani, masyarakat adat, buruh tani/kebun, nelayan, perempuan, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan pada umumnya.
Dalam gugatan tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI); Merah Johansyah; dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bertindak sebagai penggugat. Berdasarkan pengumuman Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Sutiyono, S.H. telah menetapkan ulang jadwal pembacaan Eksepsi Tergugat pada 7 Juli 2020.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi sangat menyayangkan penundaan tersebut, sebab hal itu menunjukan ketidakseriusan dan ketidakmampuan Presiden RI untuk mendalilkan keabsahan Surpres Omnibus Law di muka pengadilan. Padahal Majelis Hakim telah memberikan waktu yang cukup panjang untuk memberikan kesempatan terhadap Presiden RI mengajukan eksepsi yaitu sejak pembacaan gugatan pada Selasa (9/6) lalu.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi meyakini upaya penundaan tersebut merupakan manuver politik Presiden RI untuk mengulur waktu pemeriksaan persidangan, agar tak menghalangi proses pembahasan di DPR. Sebagaimana disampaikan di berbagai pemberitaan media, Pemerintah dan DPR RI saat ini sedang mengejar penyelesaian pembahasan RUU Cipta Kerja hingga Juli 2020.
Berdasarkan penjelasan di atasa, Tim Advokasi Untuk Demokrasi meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tetap menjaga independensi dan bersikap imparsial dalam memeriksa perkara gugatan ini sebagaimana diwajibkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal ini penting sekali ditekankan mengingat Tergugat dalam perkara ini adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Sikap pemerintah dan DPR yang begitu beramabisi dalam penyusunan dan pembahasan RUU Cipta Kerja selama ini pun menunjukan bahwa perkara ini sarat kepentingan politik terselubung para pemodal dan entitas bisnis.
Mengingat pentingnya perkara ini bagi kepentingan publik dan mewujudkan keadilan bagi masyarakat, Tim Advokasi Untuk Demokrasi juga meminta dukungan kepada seluruh lapisan masyarakat dan media untuk mengawal bersama pemeriksaan perkara ini di PTUN Jakarta.
Selasa, 23 Juni 2020
TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI