Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Jakarta menolak permohonan Tim Advokasi untuk Demokrasi agar proses pemeriksaan perkara gugatan Surat Presiden atas Omnibus Law dilakukan secara konvensional. Hal ini disampaikan oleh Majelis Hakim dalam sidang pemeriksaan tahap akhir perkara Nomor: 97/G/2020/PTUN-Jkt pada Selasa, 2 Juni 2020 di PTUN Jakarta.
Majelis Hakim menginginkan persidangan tetap dilakukan secara e-court. Penolakan ini karena majelis beranggapan bahwa sejak awal administrasi perkara telah dilakukan dengan e-court. Olehnya pada proses pemeriksaan perkara a quo juga harus tetap dilakukan secara e-court.
Sebelumnya, sebagai Penggugat, Tim Advokasi untuk Demokrasi telah mengirimkan surat permohonan kepada Ketua PTUN Jakarta Cq Majelis Hakim Perkara Nomor Register: 97/G/2020/PTUN-Jkt, tertanggal 27 Mei 2020. Tim Advokasi mengajukan permohonan agar pemeriksaan perkara gugatan Surat Presiden atas pembahasan Omnibus Law dapat dilakukan secara konvensional.
Merespon keputusan ini, perwakilan kuasa hukum Tim Advokasi, M. Charlie Albajili, S.H menyatakan sikap tidak puas. Menurut Pengacara Publik LBH Jakarta ini, hakim tidak memberikan alasan mendasar atas penolakan tersebut.
“Sebenarnya kita tidak puas dengan pandangan hakim, karena hakim tidak menyebutkan dasar hukum mana yang menjadi acuhan bahwa pendaftaran itu wajib e-court. Dan penolakannya juga sangat normatif”, jawab Charlie.
Menurut Charlie, dalam Peraturan Perundang-Undangan tidak ada kewajiban untuk menggunakan e-court. Makanya sebagai penggugat, Tim Advokasi meminta kepada hakim agar persidangan dapat dilakukan secara konvensional, terbuka untuk umum dan secara langsung. Charlie juga berharap, justru dengan pemeriksaan secara terbuka dan konvensional, publik bisa dipastikan hak nya untuk terlibat dalam pemantauan. Publik bisa berpartisipasi mengawal dalam semua proses pemeriksaan, dari pembacaan gugatan sampai putusan.
Selain itu, Charlie Albajili juga menegaskan bahwa sebagai representasi dari kekuasaan yudikatif yang kedudukannya setara dengan kekuasaan eksekutif, permohonan Tim Advokasi ini sebagai upaya mengingatkan pengadilan agar tidak mengulangi kesalahan eksekutif.
“Ini juga menjadi upaya. Karena pemerintah tidak transparan dalam membahasa RUU Omnibus Law. Pembahasan selalu dilakukan secara tertutup dan meminggirkan partisipasi masyarakat. Kita tidak mau mengulangi proses yang tidak transparan seperti ini juga terjadi di proses pemeriksaan di pengadilan”, tegas Charlie.
Terkait perkembangan sidang hari ini, Charlie menjelaskan bahwa pengadilan akan meminta DPR RI untuk terlibat menjadi intervensi dalam gugatan. Olehnya pihak pengadilan akan memberikan undangan kepada DPR RI melalui Sekretaris Jenderal.
Sidang selanjutnya akan diadakan pada tanggal 9 Juni 2020 dengan agenda pembacaan gugatan. Proses sidang dilakukan melalui e-court. Meskipun demikian, Tim Advokasi memastikan akan melaporkan setiap proses pemeriksaannya ke publik secara terbuka. (Thomas Tukan)