Peristiwa Penyiksaan oleh anggota kepolisian Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat yang menyebabkan kematian George Floyd harus menjadi pembelajaran bagi seluruh institusi kepolisian di seluruh dunia, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (“POLRI”) .
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (“LBH Jakarta”) pada 2019 mencatat berbagai dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh anggota POLRI sebagai berikut :
- Penyiksaan pada aksi May Day 2019 di Bandung, Jawa Barat. Pada peristiwa ini anggota kepolisian melakukan tindakan represif terhadap massa aksi dan 2 (dua) orang jurnalis menjadi korban kekerasan oleh anggota kepolisian;
- Aksi 21-22 Mei 2019 di depan gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum (“Bawaslu”). Aparat kepolisian melakukan kekerasan terhadap massa aksi berikut dengan aksi salah tangkap dan penyiksaan terhadap 29 (dua puluh Sembilan) orang petugas satuan pengamanan pusat perbelanjaan Sarinah dan 9 (sembilan) orang meninggal diantaranya akibat tembakan peluru tajam;
- Peristiwa aksi #Reformasi Dikorupsi pada tanggal 24 hingga 30 September 2019. Sebanyak 390 (tiga ratus sembilan puluh) peserta aksi mengalami penyiksaan oleh anggota kepolisian;
LBH Jakarta juga mencatat, 3 tahun terakhir terjadi 34 Kasus penyiksaan yang diadukan ke LBH Jakarta dengan pelaku kepolisian. Catatan Laporan HAM YLBHI 2019 mengungkap 78 kasus pelanggaran dalam aksi demonstrasi sepanjang 2019 di Indonesia dengan 51 Korban Tewas dan 44 orang diantaranya tewas misterius karena tidak ada informasi resmi yang dikeluarkan. Selain itu, terdapat 144 (seratus empat puluh empat) kasus pelanggaran hak fair trial, 56 (lima puluh enam) kasus diantaranya adalah Penyiksaan. Salah satu kasus yang mencuat adalah ditembak matinya Mahasiswa Universitas Halu Huleo oleh Kepolisian di Kendari, Sulawesi Tenggara. Parahnya, 6 orang pelaku hanya diberikan sanksi etik dan hanya 1 orang yang diproses secara pidana. Itupun tidak ada atasan yang diproses karena tidak ada pengungkapan berdasarkan rantai komando.
Berbagai peristiwa di atas semestinya tidak terjadi, mengingat Indonesia sudah memiliki aturan hukum yang melarang praktik penyiksaan yaitu Pasal 28 huruf g ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Namun demikian pada implementasinya, mekanisme pengusutan pelaku penyiksaan oleh anggota kepolisian masih berbelit-belit dan lamban. Berdasarkan praktik-praktik yang telah LBH Jakarta lakukan, pengaduan secara etik ke Propam tidak semua pengaduan ditindaklanjuti oleh Propam, dan prosesnya sangatlah lambat, pun mekanisme pelaporan balik secara pidana oleh anggota yang diduga melakukan penyiksaan hingga kini tidak ada ujungnya. Kepolisian cenderung menolak laporan warga dan bersikukuh bahwa proses hukum atas dugaan penyiksaan haruslah melalui mekanisme etik di Propam.
Berdasarkan hal tersebut, LBH Jakarta menilai perlu agar pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah meratifikasi Protokol Opsional pada Konvensi menentang Penyiksaan (“Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment/ OPCAT”), agar dapat menghentikan praktik-praktik penyiksaan, khususnya praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
Oleh karenanya, LBH Jakarta mendesak untuk :
- Polri mengusut tuntas secara pidana kasus-kasus penyiksaan yang terjadi. Terutama yang dilakukan oleh anggota POLRI.
- Divisi Profesi dan Pengamanan (“Div Propam”) Polri harus menindak tegas dan memecat anggota kepolisian yang melakukan penyiksaan.
- Polri mematuhi prinsip due process of law, serta menghindari penggunaan tindakan kekerasan dalam proses penegakan hukum;
- Pemerintah meratifikasi OPCAT untuk menghentikan praktik-praktik penyiksaan;