LBH Jakarta mempersoalkan kebijakan pemerintah terkait skema New Normal dengan pengerahan TNI-POLRI untuk mengamankan kebijakan tersebut. Kebijakan presiden yang memutuskan untuk menerapkan skema New Normal dalam merespon masalah Covid-19 berpotensi berujung pada langkah represif militeristik. Mengingat, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan keamanan bukan pendekatan penanganan masalah kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari upaya pengerahan ratusan ribu personil TNI dan Polri untuk ‘mengamankan’ dan ‘mendisiplinkan’ penerapan New Normal di tengah-tengah situasi wabah pandemi Covid-19 yang rencananya akan dilakukan operasi masif di 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota.[1] Salah satu Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta yang merupakan provinsi dengan pertambahan jumlah pasien Covid-19 tertinggi kedua setelah Jawa Timur.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita mengatakan, New Normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Perubahan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. New Normal sendiri sebagaimana yang dinyatakan Pemerintah Indonesia merupakan skema ‘kebijakan pemulihan kehidupan publik’ yang konon hendak diarahkan untuk mendorong normalisasi baru aktifitas warga masyarakat. Hal tersebut dilakukan guna mendorong pemulihan aktivitas bisnis dan perekonomian di dalam negeri.
LBH Jakarta memandang skema kebijakan New Normal ini bermasalah, karena tidak didasarkan pada evaluasi kebijakan penanganan wabah pandemi Covid-19 yang jelas. Selain itu, sebagaimana ditunjukkan dalam kurva epidemologi, jumlah korban tertular virus Covid-19 di seluruh Indonesia justru terus mengalami peningkatan bukan penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu mengendalikan penyebaran Covid 19. Oleh karenanya, kebijakan New Normal jelas berpotensi meningkatkan peluang penularan wabah pandemi Covid-19 yang lebih luas dan rentan menjadi kebijakan yang justru ‘mengorbankan keselamatan’ masyarakat.
Selain itu, dasar argumentasi penetapan dan konsep kebijakan New Normal ini sendiri belum jelas dan justru mengarah pada kebijakan Herd Immunity, dimana warga secara massal dibiarkan beraktifitas sebagaimana biasanya dan jika tertular virus akan menimbulkan kemungkinan efek kekebalan tubuh terhadap virus. Sekalipun pemerintah mengklaim bahwa kebijakan New Normal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan protokol keamanan dan kesehatan diri, namun hal tersebut mesti disangsikan karena faktanya data penularan wabah virus pandemi Covid-19 terus meningkat meski telah diterapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang jauh lebih ketat membatasi aktifitas warga sendiri.
Pelibatan kepolisian dalam mengawal, mengamankan, dan mendisiplikan kebijakan New Normal juga tak kalah bermasalahnya, karena domain pokok kepolisian sendiri adalah penegakan hukum pidana (Criminal Justice System), bukan untuk mengawal kebijakan baru terkait pembatasan aktivitas masyarakat dalam PSBB sebagai kebijakan kekarantinaan kesehatan yang dipilih pemerintah untuk penanganan covid 19, Selama ini yang mestinya dilakukan jajaran pemerintah yang dipimpin oleh Kementrian Kesehatan dan BNPB/Gugus Tugas. Pelibatan aparat kepolisian dalam ‘pengamanan dan pendisiplinan’ New Normal justru mengarah pada potensi represitas aparat terhadap ruang kehidupan publik masyarakat sipil yang dalam kondisi saat ini sebenarnya mesti ‘dihindari’ oleh pemerintah demi mencegah peningkatan jumlah angka penderita virus Covid-19.
Agenda Pemerintah Indonesia dengan turut melibatkan TNI untuk melakukan pengawalan, pengamanan, dan pendisiplinan kebijakan New Normal menjadi semakin salah kaprah. TNI sendiri sebagaimana mandat UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia merupakan alat pertahanan negara yang ditujukan untuk menghadapi pertempuran di medan perang, bukan untuk mendisiplinkan warga dalam kebijakan New Normal dan juga bukan aparat penegak hukum.
Selain itu, pelibatan TNI dalam situasi wabah pandemi COVID-19 maupun skema kebijakan New Normal juga tidak memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, karena kedua-duanya merupakan bukan situasi yang dapat dijadikan pembenaran pelibatan TNI dengan dalih pelibatan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf b dan Pasal 20 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah membatasi secara jelas domain dan asas pelibatan TNI dalam OMSP yang mana tidak mencakup dalam hal penanggulangan wabah penyakit maupun intervensi ‘pendisiplinan kehidupan publik’ warga sipil Indonesia. Dalam Pasal 17 UU TNI, Presiden memang dimungkinkan untuk mengerahkan kekuatan TNI tetapi jelas harus memenuhi syarat dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata bukan menghadapi pandemi covid 19 yang merupakan masalah wabah penyakit dan itupun harus atas persetujuan DPR.
Selain itu, Jika merujuk pada ketentuan Pasal 25 dan 26 dalam UU Penganggulanngan Bencana disebutkan dalam keadaan darurat bencana Kepala BNPB/BPBD dapat melakukan pengerahan sumberdaya untuk tanggap darurat termasuk pelibatan institusi TNI dan Polri namun terbatas untuk kebutuhan menyelamatkan dan mengevakuasi korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, dan memulihkan fungsi prasarana dan sarana vital yang rusak akibat bencana. Dengan demikian, pelibatan sebagaimana rencana pemerintah untuk ‘pendisiplinan’ warga dalam konsep new normal jelas tidak tepat.
Ketidakjelasan taktik Pemerintah Indonesia dalam menghadapi wabah pandemi COVID-19 beserta dampak turunannya ini tentu tidak bisa dilepaskan dari langkah sembrono Pemerintah Indonesia yang sejak awal menganggap sepele dan tidak serius dalam menangani wabah pandemi COVID-19. Akibatnya nasib kesehatan dan keselamatan publik, perekonomian warga, hingga ketentraman sipil masyarakat Indonesia yang kini justru dipertaruhkan.
Merujuk pada hal-hal diatas, LBH Jakarta mendesak agar:
- Pemerintah cq. Presiden RI menunda dan membatalkan penerapan kebijakan New Normal yang berpotensi meningkatkan eskalasi jumlah penularan wabah pandemi virus Covid-19 dan membayakan keselamatan rakyat Indonesia;
- Pemerintah membatalkan pelibatan Polri maupun TNI dalam pengamanan kebijakan New Normal menghadapi wabah pandemi Covid-19 yang berpotensi represif dan membatasi kebebasan sipil warga Indonesia tanpa dasar hukum yang sah;
- Pemerintah untuk mengutamakan keselamatan rakyat dengan mengedepankan pendekatan kesehatan, pendidikan publik, dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan pandemi Covid 19 melalui optimalisasi pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan maupun UU Penanggulangan Bencana;
- Pemerintah Indonesia segera melengkapi paket kebijakan aturan pelaksana kekarantinaan kesehatan sebagaimana mandat UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang mencakup aturan pelaksana Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah sebagai alternatif kebijakan kekarantianaan kesehatan selain PSBB untuk mencegah semakin meluasnya dampak Covid 19;
- Pemerintah Indonesia segera melakukan evaluasi kebijakan penanganan wabah pandemi Covid-19 secara transparan dan akuntabel serta merumuskan kebijakan yang sistematis, efektif dan berdasarkan hukum untuk menanggulangi wabah Covid 19 dengan berbasiskan data dan kajian ilmiah dengan melibatkan par ahli kesehatan dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya.
- DPR RI untuk berhenti bahas RUU Omnibus Law dan RUU bermasalah lainnya, harus laksanakan fungsi pengawasan dan koreksi terhadap kinerja Pemerintah khususnya dalam Penanggulangan Covid 19, ‘wakil rakyat’ tidak boleh hanya menjadi “stempel” kebijakan pemerintah.
Jakarta, 28 Mei 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA
[1] https://tirto.id/alasan-jokowi-akan-terapkan-new-normal-di-4-provinsi-25-kabkota-fC6E, diakses 28 Mei 2020