Pers Rilis : 201 / SK – RILIS / V / 2020
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengutuk kejadian pelarungan jenazah 3 (tiga) Anak Buah Kapal (ABK) asal Long Xin 629. Kami juga menyayangkan respon pemerintah melalui Menteri Luar Negeri yang menyatakan bahwa hal tersebut telah sesuai prosedur. Pemerintah seharusnya paham bahwa kejadian pelarungan tersebut bukan tanpa sebab, melainkan karena para ABK mengalami perbudakan modern di tengah laut. Pemerintah setidak-tidaknya harus melakukan investigasi secara menyeluruh dan menghukum seluruh pihak yang bersalah, membuat dan mensahkan peraturan pemerintah tentang ABK, meratifikasi konvensi internasional, hingga melakukan pengawasan juga perlindungan terhadap para ABK yang merupakan Warga Negara Indonesia di manapun mereka berada.
Pada tanggal 6 Mei 2020, stasiun berita Korea Selatan MBC News merilis berita yang memperlihatkan praktik pelarungan 3 (tiga) jenazah ABK berkewarganegaraan Indonesia di kapal penangkap ikan asal RRC. Diberitakan juga bahwa berdasarkan keterangan dari ABK lainnya yang masih hidup, para ABK yang dilarung tersebut mengalami berbagai eksploitasi dalam bekerja, Mereka bekerja selama 18 (delapan belas) jam per hari, hanya boleh meminum air laut yang sudah disaring, di upah Rp. 136.000 (seratus tiga puluh enam ribu) per bulan, paspor ditahan, perjanjian kerja laut yang tidak pernah diawasi oleh pemerintah dan berbagai dugaan pelanggaran HAM lainnya. Peristiwa tersebut bukanlah satu-satunya permasalahan yang kerap dialami oleh awak buah kapal ikan yang bekerja atau dipekerjakan di luar negeri.
Permasalahan terhadap ABK muncul sejak proses perekrutan hingga penempatan bekerja. Bermula dari proses perekrutan, para calon ABK tidak mengetahui perusahaan kapal mana yang legal maupun ilegal tempat nantinya mereka akan ditempatkan. Hal tersebut terjadi karena hingga saat ini tidak adanya pendataan tentang kapal perikanan yang memiliki izin dan yang tidak. Permasalahan lain yang muncul adalah tidak adanya standar upah yang jelas, tidak adanya mekanisme pengaduan masalah, tidak adanya standarisasi perjanjian kerja, maraknya terjadi manipulasi sertifikat pelaut hingga situasi kerja yang tidak layak. Permasalahan-permasalahan tersebut telah disuarakan sejak lama namun hingga saat ini tidak pernah ada titik terang penyelesaiannya.
Per tahun 2019, berdasarkan data dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) setidaknya telah terdapat 260 (dua ratus enam puluh) orang pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selanjutnya, berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), terdapat 363 Perusahaan Kapal Perikanan yang terdaftar namun hanya 2 (dua) perusahaan yang memiliki Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK) dari Kementerian Perhubungan. Akibat minimnya transparansi pemerintah mengenai data-data yang ada menyebabkan, para pelaut awak kapal dan pelaut perikanan tidak dapat mengetahui secara jelas mana perusahaan yang memiliki izin dan yang tidak memiliki izin SIUPPAK. Hal tersebut diperburuk lagi dengan tidak adanya pendataan mengenai jumlah pelaut awak kapal dan pelaut perikanan yang merupakan Warga Negara Indonesia.
Dari sisi hukum, hingga saat ini belum ada aturan khusus mengenai perlindungan terhadap pelaut awak kapal perikanan, padahal Undang-undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia memandatkan agar pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang ABK dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak undang-undang tersebut disahkan. Selain itu, Indonesia hingga saat ini juga belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 188 Tahun 2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan yang mengatur lebih rinci akan perlindungan terhadap ABK serta tanggung jawab pemilik kapal ikan. LBH Jakarta menilai bahwa masih adanya kekosongan hukum terhadap perlindungan ABK yang menyebabkan banyaknya eksploitasi dalam bekerja serta pelanggaran hukum dan HAM terhadap awak buah kapal.
Selain itu, LBH Jakarta mengkritisi belum adanya kordinasi pengawasan yang bersinergi antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian luar negeri terhadap pemilik kapal ikan maupun terhadap kondisi kerja awak buah kapal. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka kedepan akan semakin banyak korban-korban ABK lainnya, persis seperti kasus Benjina.
OIeh karenanya demi melindungi ABK, LBH Jakarta mendesak:
-
- Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan investigasi secara menyeluruh dan menghukum seluruh pihak yang bersalah dalam kasus ini karena diduga keras telah melakukan TPPO;
- Kementerian Ketenagakerjaan untuk segera menyusun dan mensahkan peraturan turunan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 yakni PP Penempatan dan Perlindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan dengan melibatkan masyarakat, serikat buruh dan organisasi pegiat pekerja migran Indonesia;
- Mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan;
- Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk bersinergi dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia khususnya para awak kapal perikanan yang bekerja atau dipekerjakan di luar negeri dengan memberikan sanksi yang tegas kepada pemilik kapal yang melanggar hukum.
Jakarta, 9 Mei 2020
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta