Pro kontra seputar ide penggunaan metode teleconference untuk pemeriksaan saksi persidangan kasus Cebongan bergulir di tengah pembahasan RUU KUHAP di DPR RI. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memandang metode teleconference diperlukan untuk melindungi kepentingan saksi. Sementara, pihak TNI berpendapat sebaliknya, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur tentang pemeriksaan saksi dengan metode teleconference
Pada saat ini, pemanfaatan teknologi diberbagai bidang sudah menjadi hal yang wajar, termasuk dalam penegakan hukum. Salah satu bentuk pemanfaatan teknologi dalam proses penegakan hukum adalah penggunaan teleconference dalam pemeriksaan saksi. Namun hal itu masih memunculkan perdebatan dikarenakan KUHAP sendiri belum mengaturnya.
Walau tidak diatur dalam KUHAP, dalam prakteknya penggunaan teleconference pernah dilakukan. Pada 2002, Mahkamah Agung (MA) pertama kali memberikan izin kepada mantan Presiden BJ Habibie untuk memberikan kesaksian lewat teleconference dalam kasus penyimpangan dana non-budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tandjung. Pemeriksaan saksi melalui teleconference juga dilakukan dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir pada 2003. Selain itu sidang pemeriksaan kasus Hak Asasi Manusia (HAM) Timor Timur juga pernah menggunakan teleconference.
Bagaimana Pemeriksaaan Saksi dalam KUHAP ?
Jika merujuk pada pengaturan pemeriksaan saksi di persidangan, Pasal 160 KUHAP menyebutkan “saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukumnya”. Kemudian pada Pasal 185 KUHAP menyatakan “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Pada prakteknya, kerapkali ditemui kesulitan untuk menghadirkan saksi di persidangan dengan berbagai alasan. Diantaranya yaitu jarak yang jauh antara tempat kediaman saksi dengan pengadilan, keamanan saksi dan kesehatan saksi. Faktor keamanan saksi menjadi sangat penting karena saksi harus bebas dari tekanan dalam memberikan keterangan. Ancaman, atau intimidasi terhadap saksi dapat mempengaruhi independensi saksi. Selain itu jika ancaman terhadap saksi begitu besar maka saksi menjadi takut untuk bersedia dan hadir sebagai saksi di persidangan. Sedang terkait faktor kesehatan, jika keberadaan saksi itu vital namun kondisi fisik saksi tidak memungkinkan hadir di pengadilan. Kendala-kendala tersebut kemudian dapat diatasi, salah satunya dengan memanfaatkan teleconference.
Aturan Hukum Teleconference
Meskipun dalam KUHAP belum diatur mengenai penggunaan teleconference, terdapat peraturan lain yang memungkin digunakan teleconference dalam pemeriksaan pada saat persidangan, yaitu UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu dalam Pasal 9 ayat (3), dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 9
|
Terkait dengan pemanfaatan sidang teleconference di Indonesia, sejumlah pakar berpendapat, seperti Taufiqurrahman Syahuri mengatakan “Selama ini aturan penggunaan teleconference dalam sidang harus dengan izin hakim. Seharusnya ide ini bisa diterapkan dengan mudah jika tuntutan ini sangat kuat, terlebih teleconference ini sudah berkali-kali diterapkan, sehingga tidak ada alasan hakim menolak teleconference.”[1] Dan Luhut M.P. Pangaribuan berpendapat bahwa teleconference bisa dijadikan alat bukti untuk mencari kebenaran materiil sehingga tempat kesaksian tidaklah terlalu penting dalam mencari kebenaran materiil itu.[2]
Teleconference dalam RUU KUHAP
RUU KUHAP belum mengatur teleconference sebagai salah satu metode pemeriksaan persidangan. Karena itu, kami merekomendasikan RUU KUHAP untuk :
- Mengatur secara jelas dan tegas kondisi-kondisi yang dimungkinkan penggunaan teleconference,
- Siapa saja yang dapat mengajukan dan melakukannya
- Bagaimana prosedur pemeriksaan saksi yang menggunakan teleconference.
[1] LPSK: Lindungi Saksi Melalui Sidang Teleconference, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d74dbcb03628/lpsk-lindungi-saksi-melalui-sidang-teleconference, di akses 16 April 2013
[2] Menguji Kesaksian Secara Virtual, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8278/menguji-kesaksian-secara-virtual, di akses 16 April 2013