Siaran Pers Bersama
Pandemi COVID-19 di Indonesia memunculkan kekhawatiran di masyarakat mengenai ketidakmampuan fasilitas kesehatan menampung dan melayani pasien. Hasil studi yang dilakukan oleh Amrta Institute, Lokataru Foundation, YLBHI, LBH Jakarta, Rujak Center for Urban Studies dan Urban Poor Consortium mengungkapkan bahwa 88,4 % responden khawatir layanan kesehatan tidak mampu menampung warga yang sakit.
Kekhawatiran lain yang disampaikan responden adalah kehilangan pekerjaan, tidak bisa membayar listrik, telepon dan air, tidak bisa membayar cicilan, terjadi kerusuhan dan khawatir pada kesehatan anggota keluarga yang lain, kesehatan diri sendiri serta terjadinya KDRT.
Tingginya kekhawatiran warga terhadap kemampuan layanan kesehatan bersumber dari beberapa hal diantaranya; (1) keterbatasan jumlah tes, (2) pasokan Alat Perlindungan Diri bagi tenaga medis yang kurang memadai dan (3) masih terbukanya jalur transportasi dan mobilitas manusia.
Pengujian yang dilakukan Indonesia dibandingkan dengan 10 negara terbanyak korban COVID-19 menunjukkan bahwa persentase pengujian di Indonesia adalah sangat kecil. Persentase dimaksud adalah perbandingan tes yang dilakukan dengan populasi.
Sejumlah negara seperti Italia, Jerman dan Spanyol sudah melakukan tes terhadap 3 % dari seluruh populasi, Amerika Serikat dan Russia sudah melakukan tes terhadap sekitar 2 % penduduknya. Sedangkan tes di Indonesia belum mencapai 0,1 %.
Hasil yang sama muncul saat Indonesia dibandingkan dengan seluruh negara di Asia Tenggara. Singapura dan Brunei menjadi negara terbanyak melakukan tes (sekitar 3 % dari populasi), sedangkan Indonesia baru menguji 0,0318 % penduduknya. Jumlah ini jauh dibawah Vietnam yang sudah menguji 0.2681 % penduduknya. Berkat pengujian intensif dan kebijakan social distancing yang ketat pada 26 April 2020, Vietnam kini sudah mulai membuka sebagian kegiatan ekonominya.
Data Kementerian Kesehatan per 29 April 2020 menunjukkan terdapat 252.238 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Dengan kemampuan melakukan tes sebanyak kurang lebih 3.000 per hari, maka dibutuhkan waktu 84 hari (3 bulan) untuk melakukan pengujian hanya pada ODP dan PDP yang tercatat sampai tanggal 29 April 2020.
Menguji ODP dan PDP sangat penting dilakukan karena berbagai penelitian menunjukkan besarnya angka penderita positif COVID-19 yang tidak menunjukkan gejala atau bergejala ringan.
Ketua Expert Advisory Group Irlandia Dr. Cillian DeGascun mengatakan, sebanyak 30-50 % penderita positif COVID-19 hanya menunjukkan gejala ringan dan bahkan tidak bergejala. Penelitian oleh Arons et al (2020) menemukan 56 % perawat di sebuah fasilitas perawatan ternyata positif saat di tes, padahal dalam keseharian tidak menunjukkan gejala.
Dr Karl Stefansson mengatakan di Islandia jumlah penderita yang tidak bergejala adalah 50 %. Ini mirip dengan kondisi penumpang dan crew Diamond Pricess yang positif dan tidak bergejala sebanyak 50,3 %.
Sangat berbahaya apabila ternyata persentase ODP dan PDP yang positif tinggi. Sementara mereka tetap berkegiatan normal bahkan pulang kembali ke daerah asalnya dan bertemu banyak orang, termasuk orang yang rentan dan berusia lanjut. Tanpa disadari orang tersebut dapat menjadi sumber penularan.
Jumlah tes yang memadai sangat dibutuhkan untuk menghasilkan estimasi yang tepat dan menghasilkan respon kebijakan pemerintah yang juga tepat. Jumlah tes yang rendah dikhawatirkan menghasilkan estimasi yang lebih rendah dari apa yang sebenarnya terjadi dan ujungnya menghasilkan respon kebijakan yang tidak tepat.
Selain masalah kesehatan, studi ini juga meneliti dampak ekonomi dan sosial. Sebanyak 38 % responden belum dapat bekerja dari rumah karena alasan pekerjaan. Responden berusaha melakukan pengurangan risiko secara mandiri yaitu dengan tidak menghadiri pertemuan, bekerja dari rumah, tidak makan di luar rumah, termasuk mengurangi frekuensi membeli makanan melalui jasa layanan antar.
Sebanyak 33 % responden yang tempat tinggalnya menyewa sudah merasa kesulitan membayar sewa. Sebanyak 46 % mengatakan perusahaan tempatnya bekerja dapat bertahan 5-6 bulan ke depan, 37 % menjawab bisa bertahan 1-4 bulan ke depan dan sebanyak 17 % sudah mengalami PHK.
Studi ini juga menggali masukan untuk pemerintah dan masukan terbanyak adalah agar pemerintah tegas, cepat dalam mengambil kebijakan yang diperlukan. Tersedianya bantuan kebutuhan pokok juga banyak disampaikan, demikian juga dengan larangan mudik yang ketat. Responden khawatir mudik menjadi penyebab penyebaran virus ke pelosok-pelosok desa padahal infrastruktur dan sumber daya yang ada di desa tidak memadai untuk merespon virus COVID-19 yang berbahaya.
Ketegasan yang diharapkan responden sangat terkait dengan perlunya kebijakan yang solid baik antar sektor maupun antar tingkatan pemerintahan. Beban daerah saat ini sangat berat karena harus menjaga agar penyebaran di desa/kampung tidak terjadi secara massif.
Apalagi bagi daerah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar juga perlu memiliki kesiapan tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.
Belajar dari negara-negara yang sukses mengelola COVID-19 pada tingkat yang tidak membahayakan kondisi kesehatan, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa dibutuhkan kesatuan strategi yang terdiri dari 1) tata Kelola baik di tingkat pemerintah pusat, daerah dan masyarakat, 2) pemanfaatan teknologi informasi dan 3) perilaku masyarakat.
Agar dapat segera mengatasi bencana nasional COVID-19, pemerintah diharapkan tegas dan fokus pada core masalah yaitu kesehatan. Jaminan layanan kesehatan yang baik sangat diharapkan masyarakat agar risiko ketidakpastian yang timbul dapat ditekan. Kecepatan pengambilan keputusan sangat diperlukan, karena daya tahan masyarakat sudah terus menurun.
Catatan tentang studi: Survei dilakukan dengan menyebar kuesioner online, memperoleh respon sebanyak 1.110 buah dari 34 provinsi di Indonesia, respon diolah menggunakan SPSS IBM 24. Masukan berupa teks dianalisis menggunakan word cloud. Studi literatur dilakukan untuk membantu memberikan konteks pada hasil penelitian. Responden 58,2 % laki-laki, 40,8 perempuan. 98,1 % usia produktif (23-60 tahun). Kuesioner online dibuka pada 13-18 April 2020.