Merespon banyaknya warga yang terancam tidak memiliki tempat tinggal dan menjadi tunawisma akibat mengalami krisis pendapatan ekonomi selama wabah pandemi COVID-19, LBH Jakarta mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Jabodetabek untuk menyiapkan tempat tinggal alternatif sementara bagi seluruh tunawisma yang ada di wilayahnya.
Selain beresiko terhadap keamanan dan kenyamanan diri warga tunawisma, ketiadaan tempat tinggal juga sangat beresiko bagi kondisi kesehatan para warga tersebut, dimana mereka menjadi salah satu kelompok yang rentan tertular wabah pandemi virus COVID-19. Selain itu, penyediaan tempat tinggal ini juga untuk menekan angka warga yang tertular COVID-19, karena Jabodetabek sendiri merupakan wilayah episentrum penyebaran wabah pandemi virus COVID-19 yang paling cepat dan paling tinggi se-Indonesia.
Dengan diterapkannya kebijakan penyediaan tempat tinggal alternatif bagi tunawisma maupun warga yang terancam menjadi tunawisma, maka ia dapat memaksimalkan agenda pelaksanaan Phisycal Distancing maupun PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemutusan mata rantai penyebaran virus.
Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak bagi warga (termasuk tunawisma) sendiri telah dinyatakan secara eksplisit dalam Konstitusi Republik Indonesia, khususnya pada ketentuan Pasal 28H ayat 1 UUD NRI 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selain itu ketentuan Pasal 40 Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Di DKI Jakarta misalnya, hingga kini masih ada sebagian orang yang hidup terlunta-lunta di jalanan karena tidak memiliki rumah untuk tetap tinggal. Mereka adalah para Tuna Wisma yang selama ini tinggal di pinggiran-pinggiran jalan, berbagai kolong jembatan, emperan-emperan toko dan pojokan-pojokan pasar di DKI Jakarta maupun wilayah Jabodetabek.
Berdasarkan data yang tercatat pada Pemerintah (dalam hal ini BPS dan Kemensos RI), jumlah tunawisma yang berada di wilayah Jabodetabek sendiri pada tahun 2018 – 2019 mencapai lebih dari 24.500 orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat tajam, karena bertambahnya jumlah warga yang sudah tidak punya penghasilan untuk menyewa rumah kontrakan ataupun kos-kosan akibat menurunnya dan ketiadaan penghasilan ekonomi selama wabah pandemi COVID-19.
Salah satu kasus terkait warga yang terancam menjadi tunawisma dialami oleh “D dan keluarga”, yang mana ia sempat diusir dari kontrakannya karena tidak mampu membayar uang kontrakan. Penghasilannya sebagai pengemudi ojek daring harus mengalami penurunan drastis selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Beruntung kisah mengenai “D dan keluarga” ini viral di sosial media, dan netizen banyak yang memberikan bantuan kepadanya secara swadaya. Walhasil D dan Keluarga dapat kembali menempati kontrakannya dan tidak menjadi tunawisma.
Namun ada juga kasus dimana Pemerintah Daerah (Pemprov DKI Jakarta) lewat Satpol PP justru melakukan razia tunawisma yang masih tinggal di emperan jalan, lantas tunawisma tersebut dibawa ke GOR (Gelanggang Olahraga) dan hanya didata, diberi sembako, “ditampung sementara”, menandatangani perjanjian tidak akan turun tinggal di jalan, dan diminta untuk pulang.
Selain itu, penyiapan Gelanggang Olahraga (GOR) sebagai tempat penampungan bagi tunawisma oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menimbulkan permasalahan tersendiri. Pertama, berdasarkan data fasilitas olahraga DKI Jakarta tahun 2017, saat ini DKI Jakarta hanya memiliki 5 GOR dengan daya tampung tunawisma 50 s/d 100 orang tunawisma. Hal ini tidak sebanding dengan jumlah tunawisma di DKI Jakarta yang diperkirakan berjumlah lebih dari 5.500 orang. Kedua, kebijakan ini juga tidak diterapkan diseluruh wilayah Jabodetabek sehingga masih banyak tunawisma yang tersebar di berbagai tempat. Mereka yang tetap tinggal di jalanan tentu saja menjadi kelompok yang sangat rentan tertular Covid-19.
Mengingat jumlah GOR di Jabodetabek yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah tunawisma, maka diperlukan tempat-tempat alternatif lainnya untuk menampung para tunawisma ini. Salah satu tempat yang dapat dijadikan alternatif adalah rumah ibadah berbagai agama dan keyakinan di seluruh Jabodetabek.
Aktivitas peribadatan secara berjamaah/beramai-ramai yang kemudian menimbulkan kerumunan warga sebenarnya tidak boleh dilakukan selama masa pemberlakuan PSBB. Maka dari situ, tempat-tempat ibadah tersebut sebenarnya dapat dialihfungsikan menjadi tempat penampungan/tempat tinggal sementara bagi tunawisma. Selain membantu pencegahan penyebaran Covid-19 kepada bagi warga khususnya warga yang tunawisma, hal ini juga dapat tetap mempertahankan fungsi rumah ibadah yang mana memiliki dimensi fungsi sosialnya bagi kepentingan publik.
Oleh karena itu, LBH Jakarta mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi untuk:
- Membuat dan menerbitkan kebijakan sistematis terkait penyediaan tempat tinggal alternatif dan sementara bagi warga-warga di wilayahnya yang berstatus sebagai tunawisma maupun terancam menjadi tunawisma;
- Menyediakan protokol dan standar ketat penjagaan kesehatan pencegahan penularan wabah virus Pandemi COVID-19 di areal tempat tinggal alternatif bagi warga tunawisma;
- Mengalihkan fungsi bangunan-bangunan yang terlantar milik Pemerintah, tanah/rumah terlantar yang tidak jelas penghuni, pengelola, maupun pemiliknya. Bilapun dimungkinkan, Pemerintah dapat mengupayakan alihfungsi rumah-rumah ibadah yang memang tidak digunakan dan difungsikan selama pemberlakuan PSBB untuk menjadi tempat tinggal/tempat penampungan sementara bagi tunawisma;
- Menjamin, melindungi, dan memenuhi hak-hak kebutuhan dasar (khususnya kebutuhan pokok, sanitasi, akses layanan kesehatan, dan sebagainya) yang layak bagi warga tunawisma.
Jakarta, 4 Mei 2020
LEMBAGA BANTUAN HUKUM JAKARTA