Pers Rilis Tim Advokasi Untuk Demokrasi
Kamis, 30 April 2020. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Merah Johansyah Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) daftarkan gugatan terhadap Keputusan Presiden untuk Pembahasan RUU Omnibus Law bersama DPR melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Gugatan ini dilayangkan sebagai upaya hukum atas sikap bebal, tidak peka dan ketidakpedulian yang ditunjukkan Presiden Jokowi dan DPR RI terhadap suara dan kepentingan masyarakat. Meski dikecam dan dituntut warga dari berbagai elemen untuk mencabut dan menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan fokus pada keselamatan publik dari ancaman pandemi Covid 19, Presiden dan DPR tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan untuk pengesahan RUU bermasalah ini.
Setidaknya terdapat lima alasan kenapa gugatan ini dilayangkan:
Pertama, Meski RUU Cilaka cacat prosedur dan substansi, RUU ini tetap dipaksakan oleh Presiden untuk dibahas dan disahkan bersama DPR. RUU ini disusun dengan mengabaikan prosedur yang telah jelas diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Mulai dari Perencanaan hingga penyusunan Presiden tidak menjalankan prinsip transparansi, partisipasi, dan justru mendiskriminasi rakyat dengan hanya melibatkan kelompok pengusaha. Secara substansial RUU Cilaka sangat bermasalah, menabrak berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kode Inisiatif mencatat 27 dari 54 Putusan MK yang berkaitan dengan UU yang diubah oleh RUU Cilaka tidak ditaati oleh Pemerintah dalam menyusun substansi RUU Cilaka yakni dengan a. Tidak menindaklanjuti Tafsir Konstitusional dari Putusan MK, b. Hanya menindaklanjuti sebagian Tafsir Putusan MK, dan c. Menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan oleh MK.
Kedua, RUU Cilaka dibuat hanya untuk kepentingan investasi dengan menumbalkan rakyat dan lingkungan hidup. Jika sampai RUU ini disahkan dan diberlakukan dampak meluas dan sistematis terhadap kerusakan lingkungan hidup dan perampasan hak-hak rakyat diberbagai sektor mulai dari buruh, petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, pers maupun kelompok rentan lainnya akan segera terjadi. Dalam RUU aquo, Lingkungan dan masyarakat hanya dipandang sebagai objek untuk dieksploitasi. Pemerintah melupakan warga negara sebagai subjek hukum pemilik kedaulatan yang harus dilindungi hak-hak konstitusionalnya.
Ketiga, RUU Omnibus adalah contoh nyata korupsi politik, praktik buruk penyusunan UU yang menjadi pola yang berulang dalam proses penyusunan kebijakan yang lain. Bentuk pembuatan UU yang dipaksakan dan hanya untuk melanggengkan kepentingan oligarki.
Keempat, RUU Omnibus Law jelas melanggar prinsip negara hukum, demokrasi dan hak asasi manusia. Bentuk pelanggaran hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang nyata yang dilakukan oleh Presiden dalam pembuatan kebijakan dalam pentukan peraturan perundang-undangan. Berbagai Pasal dalam RUU cilaka disusun secara sistematis untuk membatalkan berbagai peraturan sebelumnya yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat dengan deregulasi aturan berupa penurunan standar bagi pengusaha dengan cara melawan hukum.
Kelima, Gugatan ini adalah bentuk partisipasi aktif warga untuk kepentingan perlindungan HAM dan kelestarian lingkungan hidup sebagaimana dijamin dalam pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 92 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jakarta, 03 Mei 2020
Hormat Kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi