KUASA HUKUM : PUTUSAN HAKIM KELIRU & HAKIM GAGAL MENGHADIRKAN CINTA DAN DAMAI BAGI MASYARAKAT PAPUA.
Jakarta, 24 April 2020. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 9 (Sembilan) bulan penjara terhadap ke-enam aktivis Papua kecuali Issay wenda yang divonis selama 8 (delapan) bulan.
Purwanto selaku ketua majelis hakim membacakan amar putusan yang pada pokoknya menyatakan Para Terdakwa terbukti bersalah turut serta melakukan makar sebagaimana dalam pasal 106 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (2) KUHP.
Hakim dalam pertimbangannya bahwa telah menemukan fakta persidangan yakni sebagai berikut :
- Bahwa benar adanya peristiwa SARA di Surabaya yang berdampak pada ledakan aksi massa;
- Aksi yang Para Terdakwa lakukan memang bagian dari kebebasan berekspresi sebagai ciri demokrasi, namun harus dalam koridor hukum yang tidak bertentangan dengan ideologi negara;
- Aksi pada tanggal 28 Agustus 2019 adalah aksi damai tapi dilakukan dengan cara-cara lain yakni mengibarkan bendera Bintang Kejora, lagu Papua Bukan Merah Putih, yang mana hal ini bentuk pengingkaran terhadap suatu negara
- Bahwa bendera bintang kejora adalah simbol negara bagian, sementara Indonesia tidak menganut sistem negara bagian
Selain itu Hakim dalam pertimbangannya mengatakan bahwa “Makar menurut majelis hakim bermuatan politis dan berpotensi disalahgunakan oleh negara terhadap rakyatnya”. Menurut majelis hakim, kasus makar masih banyak menuang pro dan kontra, dan kasus ini membuka cakrawala berpikir majelis.
Makar menurut majelis hakim sudah cukup dengan adanya niat dan permulaan pelaksanaan tidak harus adanya “serangan”. Pertimbangan ini menurut Tim Advokasi Papua keliru dan bertentangan dengan berbagai pendapat ahli dalam persidangan yakni :
- Ahli hukum Pidana, Anugrah Rizki Akbari, SH. Msc yang mengatakan bahwa “sepanjang perbuatan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang baik, damai dan tidak mengarah pada terlaksananya “serangan” (aanslag) seperti yang dimaksud dalam pasal 106 KUHP, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan pasal 106 KUHP.
- Dr. Tristam Pascal Moeliono S.H.,MH.,L.LM yang mengatakan : “terdapat kesalahan penerjemahan kata aanslag dalam Bahasa belanda yang berarti serangan dan pada KUHP Indonesia menjadi “makar”. Makar adalah pengertian umum sementara aanslag jelas dilakukan dengan maksud membuat tidak mampu pemerintahan menjalankan tugasnya, mengganti pemerintahan yang sah secara inkonstitusional, dan memisahkan diri atau menempatkan sebagian wilayah negara ke bahwa kekuasaan asing dengan cara melawan hukum.
- Ahli Kebudayaan Papua yakni Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc, Sc selaku peneliti LIPI mengatakan “terlalu sempit melihat kata makar hanya dari bendera, simbol, dan sebagainya. Itu adalah simbol identitas Papua
- Dr. Herlambang P. Wiratraman S.H., MA, selaku akademisi mengatakan : “kriminalisasi terhadap ekspresi politik dan protes atas peristiwa rasisme bertentangan dengan prinsip pembatasan HAM dalam pasal 19 ICCPR.”
Menurut Tim Advokasi Papua, Majelis Hakim berupaya mencari berbagai cara untuk melegitimasi aksi yang dilakukan oleh para Aktivis Papua sebagai tindak pidana makar.
Pasalnya beberapa fakta persidangan tidak dimasukkan oleh majelis hakim yakni bahwa aksi yang dilakukan oleh aktivis Papua sudah ada pemberitahuan aksi dan sesuai dengan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pada saat aksi dikawal dan difasilitasi oleh Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya seharusnya jika aksi yang dilakukan bertentangan dengan Undang-Undang, seharusnya, polisi membubarkan aksi tersebut, selanjutnya para terdakwa sudah meminta agar massa aksi tidak mengibarkan bendera bintang kejora karena aksi yang dilakukan mengutuk rasisme dan para aktivis Papua sudah meminta agar kepolisian melakukan tindakan tegas pabila aksi yang dilakukan melanggar UU bahkan, difasilitasi berupa bus oleh pihak kepolisian untuk mengantarkan massa aksi pulang.
Atas tidak dimasukkannya fakta persidangan diatas, menurut kuasa hukum para aktivis Papua, majelis hakim membuat putusan yang keliru dan gagal menghadirkan cinta dan damai bagi masyarakat Papua, sehingga majelis hakim berupaya untuk menghukum bersalah para terdakwa.
Lebih lanjut kuasa hukum menyampaikan bahwa vonis 9 bulan penjara terhadap aktivis Papua yang hanya melakukan aksi damai merespon Rasisme sesuai Undang-Undang tidak berkeadilan, sementara pelaku rasisme sendiri di Surabaya yang merendahkan orang Papua hanya divonis 5 (lima) dan 7 (tujuh) bulan penjara. sehingga terjadi disparitas dalam pemidanaan, tegas kuasa hukum aktivis Papua.
Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Para Terdakwa selama 17 (tujuh belas) bulan dan Issay Wenda selama 10 (sepuluh) bulan, namun Majelis Hakim memberikan vonis di bawah tuntutan Jaksa yakni 8 bulan dan 9 bulan dikurangi masa tahanan sejak 1 September 2019.
Atas putusan tersebut, kuasa hukum aktivis Papua menyampaikan bahwa pihaknya akan berpikir dulu selama 7 (tujuh) hari untuk mengkomunikasikannya dengan Para Terdakwa dan keluarganya apakah akan mengajukan banding atau tidak.
Jakarta, 25 April 2020
Tim Advokasi Papua