Tim Advokasi Papua, selaku kuasa hukum dari Sdr. MG mengapresiasi putusan sela yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Dalam putusan sela Perkara Nomor 1375/Pid.B/2019/PN.Jkt.Pst yang dibacakan pada tanggal 08 April 2020, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menerima Eksepsi Penasehat Hukum dari Sdr. MG dan menyatakan Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor PDM/35/R.1.16/EKU.1/09/2019 tidak dapat diterima sehingga proses penuntutan tidak dilanjutkan. Majelis hakim juga memutuskan Sdr. MG untuk segera dikeluarkan dari tahanan (MG telah ditahan sewenang-wenang selama 333 hari).
Dengan diterimanya eksepsi dari penasehat hukum dalam perkara Sdr. MG, perkara ini harus bisa dijadikan pembelajaran oleh seluruh aparat penegak hukum, terutama aparat penegak hukum yang berada di wilayah Papua dan Papua Barat, agar tidak lagi menangkap warga secara sewenang-wenang.
Sdr. MG disangka dan didakwa oleh pihak penyidik Polres Wamena dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Wamena terkait dengan tindak pidana pembunuhan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP; Pasal 338 KUHP; Pasal 351 ayat (3) KUHP; dan Pasal 333 KUHP. Maksimal ancaman pidana dari pasal-pasal tersebut adalah pidana mati. Sdr. MG dituduh melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap 17 (tujuh belas) orang pekerja PT. Istaka Karya pada tanggal 02 Desember 2018 silam.
Dalam perkara tersebut, kami menilai bahwa telah terjadi proses peradilan yang tidak adil (unfair trial) sejak di tingkat penyidikan hingga proses pelimpahan ke pihak kejaksaan terhadap Sdr. MG. Hal ini terlihat dari beberapa fakta-fakta kejanggalan yang kami ajukan dalam eksepsi seperti:
1. Ketidakjelasan usia Sdr. MG yang hanya didasarkan oleh surat keterangan domisili diluar domisili Sdr. MG;
2. Tidak adanya akses bantuan hukum yang memadai terhadap Sdr. MG baik pada saat proses penyidikan maupun pada saat proses pelimpahan berkas ke pihak kejaksaan;
3. Tidak adanya juru bahsa yang diberikan terhadap Sdr. MG dalam tingkatan penyidik dan kejaksaan;
4. Proses pemindahan persidangan dari PN Wamena ke PN Jakarta Pusat yang kami nilai cukup tidak beralasan.
Tidak diterimanya dakwaan jaksa penuntut umum atas dakwaan terhadap Sdr. MG karena penasehat hukum Sdr. MG nilai tidak terlepas dari eksepsi yang penasehat hukum Sdr. MG ajukan yakni terkait dengan ketidakjelasan usia Sdr. MG. terkait dengan ketidakjelasan usia tersebut, penasehat hukum mengajukan agar Sdr. MG dilakukan proses pemeriksaan forensik gigi. Hasil pemeriksaan tulang dan gigi Sdr. MG yang diuji oleh Tim Kedokteran Gigi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung membuktikan bahwa usia Sdr. MG pada saat dilakukan pemeriksaan forensik pada 09 Maret 2020 berkisar 16 – 18,9 tahun atau rata-rata 17,5 tahun, sehingga jika ditarik mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada Desember 2018, maka usia Sdr. MG saat itu antara 15,5 tahun.
Ketidakhati-hatian aparat penegak hukum tidak hanya terjadi dalam kasus yang dialami oleh Sdr. MG terkait dengan penentuan usia terdakwa. Sebelumnya, PN Jayapura pada 25 November 2019 juga pernah mengabulkan eksespis dari penasehat hukum dalam perkara Sdr. IH terkait dengan isiden kerusuhan di Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019. Dalam putusan perkara Nomor 569/Pid.B/2019/PN.Jap tersebut, majelis hakim mengabulkan eksespsi dari penasuhat hukum terkait usia terdakwa. Tidak hanya itu, ketidakhati-hatian aparat penegak hukum juga terlihat ketika Mahkamah Agung membatalkan vonis mati terhadap Sdr. Yusman Telaumbanua pada tahun 2018, ketika ditemukannya novum terkait dengan kebenaran usia dari Sdr. Yusman Telaumbanua. Selain itu kami juga meyakini bahwa kasus-kasus serupa seperti kasus yang menimpa Sdr. MG, Sdr. IH dan Sdr. Yusman Telaumbanua banyak dan kerap terjadi, di beberapa wilayah di Indonesia.
Dengan adanya putusan sela terkait tidak diterimanya dakwaan JPU oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara Sdr. MG menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal. Terlebih, bagi mereka yang dituntut dan divonis hukuman mati. Prinsip kehati-hatian seringkali dilanggar dalam setiap tahapan proses hukum hanya demi menunjukkan sebuah sikap ketegasan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan hukum di Indonesia. Oleh karenanya terkait dengan momentum ini dan sebagai bagian dari proses pembelajaran serta harapan untuk adanya perbaikan dalam sistem peradilan di Indonesia ini, kami Tim Advokasi Papua mendesak:
Pertama, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI melakukan pengusutan terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota-anggotanya dalam menangani kasus Sdr. MG, termasuk terkait dengan indikasi dugaan pemalsuan usia Sdr. MG;
Kedua, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Ombudsman RI untuk lebih memaksimalkan kewenangannya dalam melakukan tindakan pengawasan terhadap kinerja – kinerja aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan hingga pengadilan. Kami juga mendesak Lembaga Legislatif untuk melakukan fungsi pengawasan dengan membentuk Pansus kasus – kasus unfair trial di Indonesia;
Ketiga, Kejaksaan RI dan Mahkamah Agung RI melakukan kajian dan mengeluarkan kebijakan semisal Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai prinsip kehatian-hatian dalam penerapan hukuman mati dengan menjadikan kasus Sdr. MG sebagai salah satu bahan pembelajaran.
Hormat Kami,
Tim Advokasi Papua