Pada hari ini, 20 Agustus 2013 diadakan konferensi pers di LBH Jakarta terkait kerusuhan yang terjadi di Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) beberapa waktu lalu. Adapun Lembaga-Lembaga Pemasyarakatan tersebut di antaranya di LP Tanjung Gusta, LP Labuhan Ruku, LP Tulung Agung, dan Batam. Terhadap masalah ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberi tanggapan, dimana solusi yang diusulkan “hanyalah” membuat satuan tugas keamanan dan ketertiban untuk mengatasi ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan. Padahal permasalahan sebenarnya tidak sesederhana itu.
Eny Rofiatul Pengacara Publik LBH Jakarta memaparkan bahwa masalah overkapasitas lapas sesungguhnya telah diketahui khalayak, namun permasalahan tidak berhenti sampai di sana. Overkapasitas ini merupakan akibat dari menumpuknya jumlah tahanan dan narapidana, yang berhubungan langsung dengan fungsi kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan kasus pidana. Lapas merupakan muara akhir sistem pidana Indonesia, atau merupakan hilir dari proses peradilan pidana. Maka dari itu, permasalahan ini bukan “hanya” masalah keamanan lapas, tapi merupakan masalah sistem peradilan pidana dari hulu ke hilir
Fenomena kapasitas penjara yang tidak pernah mencukupi ini sesungguhnya tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara lain. Hal ini sesungguhnya telah menandakan bahwa pidana penjara saat ini bukanlah solusi. Ditambahkan oleh Restaria F. Hutabarat Wakil Direktur LBH Jakarta sebagai contoh pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika, seharusnya rehabilitasi. Tidak ada data statistik yang menunjukkan bahwa pemidanaan menurunkan angka kejahatan. Terhadap kejahatan-kejahatan “ringan” tidak selalu harus vonis penjara, ada penyelesaian yang lebih efektif seperti dengan ganti rugi disertai pernyataan bersalah dan tentunya persetujuan korban.
Akibatnya kondisi lapas saat ini tidak dapat memenuhi fasilitas dasar bagi para napi yang kemudian memunculkan konflik antarnapi maupun konflik antara napi dengan petugas. Sudah saatnya rezim hukum pidana melakukan reformasi sistem peradilan pidana dan mengadaptasi restorative justice. Keadilan substantif harus diutamakan, bukan keadilan prosedural dimana seringkali Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di kepolisian dijadikan alat bukti di pengadilan untuk memidanakan tersangka.
Salah satu faktor pendukung kekerasan dan kerusuhan dalam lapas adalah institusionalisasi kekerasan, yang berlangsung terhadap para tersangka sejak masuk di hulu kepolisian hingga masuk ke hilir penjara. Adapun berdasarkan penelitian, orang yang menjadi tersangka sangat rentan mengalami rekayasa kasus. Jika hal ini tidak ditanggulangi, akan terus menimbulkan eskalasi kekerasan terhadap aparat dalam jangka panjang.
Ditambahkan Maruli Tua Rajagukguk Pengacara Publik LBH Jakarta jika melihat sejarah, sejak tahun 1982 sudah pernah terjadi kericuhan lapas. Sehingga sebenarnya kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini “hanya” merupakan dampak penumpukan beban yang tampak dari beban sistem peradilan pidana yang tidak dibenahi dengan baik. Oleh karena itu, untuk menyentuh akar masalah diperlukan solusi menyeluruh seperti DPR yang harus segera membahas RUU KUHAP dalam perspektif restorative justice. Di sisi lain, polisi harus secara signifikan menurunkan tindakan penyiksaan dan rekayasa kasus. Begitu pula Mahkamah Agung harus turut bertanggung jawab melalui pemberdayaan hakim pengawas yang seharusnya mengawasi apakah masyarakat telah siap dikembalikan ke dalam masyarakat – yang selama ini tidak pernah menjalankan fungsinya dengan benar. (HIS/PSDHM)