Siaran Pers
Kekerasan terhadap Perempuan, Sebuah Fakta yang Terus Diabaikan oleh Negara
Jakarta—Perempuan Indonesia masih terus mengalami kekerasan dengan berbagai cara, militeristik dan manipulatif. Kekerasan tersebut, tidak hanya dipromosikan, tetapi juga dilakukan oleh negara. Memasuki tahun ke-22 era Reformasi, kekerasan terjadi diberbagai ranah kehidupan yang berlangsung secara terus menerus dan tidak pernah putus.
Berangkat dari situasi di atas, berbagai organisasi dan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerak Perempuan akan menggelar aksi turun ke jalan pada Hari Perempuan Internasional, Minggu, 8 Maret 2020. Aksi protes tersebut akan diikuti oleh ribuan peserta se-Jabodetabek dan sekitarnya.
Secara historis, kekerasan dan pelecehan seksual digunakan sebagai senjata untuk melanggengkan kekuasaan hetero-patriarki atas perempuan dan kelompok dengan keragaman identitas gender dan seksual orientasi. Perkosaan sebagai bentuk kekerasan seksual ekstrem hampir selalu hadir dalam konflik bersenjata yang melibatkan kekuasaan. Perempuan jadi korban perkosaan saat kerusuhan 1998. Begitu juga perempuan jadi korban perkosaan dalam konflik bersenjata di Papua. Namun, pelaku perkosaan itu tidak pernah menghadapi peradilan hingga kini era Reformasi. Perkosaan, secara spesifik juga menyasar kelompok LGBT dengan landasan kebencian dan tujuan untuk “menyembuhkan”.
Di luar konflik, kekerasan dan pelecehan seksual tetap menjadi teror dan alat represi yang terjadi diranah privat maupun publik. Perempuan jadi korban kekerasan dan pelecehan seksual dalam rumah tangga (KDRT), di rumah, di jalan, di transportasi publik, di dunia kerja, di sekolah, di kampus, di tempat pendidikan informal, di dunia maya, dimana saja. Komnas Perempuan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan 2019 meningkat 14 persen yakni menembus 406.178 kasus, dari tahun sebelumnya 348.466 Ratusan ribu kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan itu dicatat hanya dari kasus yang dilaporkan.
Perempuan sulit berharap pada perlindungan negara. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual hingga kini belum disahkan. Perempuan juga masih terancam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang hanya ditunda pembahasannya. Sementara, konvensi yang melindungi perempuan seperti Konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja belum dilirik untuk diratifikasi. Perempuan Indonesia justru akan diseret mundur keurusan domestic belaka lewat RUU Ketahanan Keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi persis ditengah upaya pemerintah untuk menciptakan situasi nasional yang ramah investasi. Hal tersebut tercermin dengan kuatnya wacana pemerintah untuk mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja (RUU Cilaka) dengan ketiadaan perlindungan paying hukum bagi perempuan dan kuatnya politik domestikasi, wacana ramah investasi hanya akan membuat kerja perempuan semakin hancur.
Untuk bertahan hidup, perempuan terlempar ke dalam sektor-sektor yang minim perlindungan, dianggap tidak terampil, tidak diakui sebagai pekerja (sebagaimana situasi para Pekerja Rumah Tangga saat ini) atau hanya dianggap membantu suami (kepala keluarga). Situasi tersebut membuat hak-hak dasar perempuan pekerja seperti upah layak, adanya jaminan sosial dan jaminan kerja, cuti haid, cuti hamil/melahirkan semakin sulit untuk didapat.
Disisi lain, kelompok LGBT dan disabilitas mendapatkan diskriminasi dalam pekerjaan karena ketentuan kerja yang tidak inklusif. Kriteria pekerja yang harus laki-laki dan perempuan, sehat jasmani dan rohani, bertinggi badan tertentu, dan berpenampilan menarik menghambat kelompok LGBT dan difabel untuk mendapatkan pekerjaan.
Perempuan juga masih menghadapi sulit dan mahalnya akses kesehatan reproduksi. Pada 1 Januari 2020, pemerintah telah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat atau 100 persen. Hal itu jelas semakin menyulitkan perempuan, terutama dari kelas ekonomi rendah yang tidak tercakup dalam penerima bantuan iuran, untuk mengakses layanan kesehatan reproduksi. Selain itu, biaya pendidikan tinggi menyingkirkan akses perempuan pada pengetahuan. Belum lagi, ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan di lingkungan pendidikan yang kasusnya masih terus bertambah.
Selain itu, perempuan merupakan kelompok paling terdampak kekerasan perampasan tanah, penggusuran, dan eksploitasi sumber daya alam yang akan semakin marak dengan pengesahan Omnibus Law RUU Cilaka. Kerusakan lingkungan yang mengakibatkan sumber air mengering, kerusakan kesuburan tanah, polusi, dan pencemaran menciptakan ruang hidup yang berbahaya bagi perempuan. Rusaknya lingkungan akibat kegiatan industri, pembangunan, dan eksploitasi sumber daya alam membunuh perempuan secara perlahan tapi pasti. Omnibus Law Cilaka bisa mempercepat krisis lingkungan dan bencana ekologis akibat investasi besar-besaran tanpa pembatasan.
Atas kondisi itu, Gerak Perempuan menuntut Pemerintahan Jokowi untuk segera:
1. Mengakui dan menuntaskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan mulai dari penghancuran gerakan perempuan 1965, perkosaan Mei 98 hingga kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dipasca-reformasi;
2. Membangun sistem perlindungan yang komprehensif untuk mencegah dan menekan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, seperti memaksimalkan implementasi UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengakui adanya konsep Relasi Kuasa sebagai penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, menggunakan perspektif korban dalam membuat produk kebijakan dan menjamin partisipasi perempuan serta masyarakat dalam upaya penghapusan kekerasan tersebut.
3. Mencabut dan membatalkan segala produk & rencana kebijakan, perundangan-undangan dari tingkat nasional, dan daerah yang mendiskriminasi, mengkriminalisasi dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan kelompok LGBT.Sejak tahun 2009, Komnas Perempuan mencatat 421 Perda Diskriminatif yang 80%nya menyasar perempuan.
4. Mendorong regulasi yang melindungi perempuan dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, Konvensi ILO 183 tentang Perlindungan Maternitas, dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja RumahTangga dan peraturan lain yang melindungi perempuan serta kelompok rentan.
5.Mencabut Rancangan UU yang akan menempatkan perempuan lebih dalam pada jerat eksploitasi dan represi seperti Omnibus Law Cipta Kerja, RUU Ketahanan Keluarga dan RKUHP.
6.Menjalankan sistem bernegara yang mengedepankan pemenuhan hak asasi manusia sebagai landasan pembangunan masyarakat Indonesia yang lebih berkemanusiaan, adil, dan beradab.
Kami yang bersikap:
GERAK Perempuan: Arus Pelangi, LingkarStudi Feminis – Tangerang, Perempuan Agora, Konfederasi KASBI, Purple Code Collective, Perempuan Mahardhika, Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta (JFDG), Hollaback! Jakarta, perEMPUan, PKBI, SGRC, GenderTalk-UIN Jakarta, BEM STHI Jentera, Girl Up, SINDIKASI, Jaringan Nasional Advokasi–Pekerja Rumah Tangga, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)–Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, PUSKAGENSEKSUI, Perempuan AMAN, Amnesty international, Solidaritas Perempuan, LBH APIK Jakarta, Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)/Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), FAMMIndonesia, KOPRI Jabar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, BEM IKJ, Space UNJ, Gerakan Perempuan–UNJ, LMND-DN, LPM Aspirasi-UPN Jakarta, Migrant CARE, Indonesia Feminis, KondedotCo, SEMAR UI, Mawar Merona, Sanggar SWARA, Social work sketch-SWS, API Kartini, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), On Women Indonesia, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI, Koalisi Perempuan Indonesia KPI-DKI, Asia Justice and Rights(AJAR), Kalyana mitra, Aliansi Satu Visi, Pamflet Generasi, BEM FH UI, AKAR, BEM TRISAKTI, HIMAPOL IISIP, Lentera Sintas,Never okay, Kita Sama, Setara.id, Gartek Serang, KSPN, SPN, Pamflet, Waktu Perempuan, Swara Saudari Purwakarta, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), AJI, Perempuan AMAN, Gereja Komunitas Anugerah, Greenpeace