Oleh: Muhammad Rasyid Ridha S.*
Maraknya propaganda politik yang diiringi dengan meningkatnya intensitas penyebaran hoax (berita bohong) sejak era Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pilpres 2019, mendorong aparat penegak hukum untuk menerapkan ketentuan hukum pasal tindak pidana penyebaran berita bohong yang sebelumnya relatif jarang atau bahkan tidak pernah digunakan. Ada beberapa kasus yang kemudian dijerat oleh pasal tindak pidana penyebaran berita bohong, seperti kasus Ratna Sarumpaet, kasus tujuh kontainer surat suara pemilu yang sudah dicoblos, hingga kasus terbaru seperti kasus Keraton Agung Sejagat dan kasus klaim wacana sejarah oleh komunitas Sunda Empire.
Pasal tindak pidana penyebaran berita bohong ini diatur dalam ketentuan Pasal 14 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan isi pasal sebagai berikut: (1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun, dan; (2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Ketentuan hukum yang dibuat pada era revolusi kemerdekaan Indonesia ini pada mulanya ditujukan untuk mewujudkan stabilitas keamanan dan pertahanan negara Indonesia pada saat itu yang keadaannya masih penuh dengan huru-hara dan terancam diserang oleh pasukan sekutu beserta pasukan Belanda.
Untuk itu, pemerintah membutuhkan informasi yang valid dan jelas demi mempertahankan Indonesia dari ancaman serangan musuh. Sejak awal diberlakukannya hingga saat ini, tidak ada perubahan signifikan baik dalam hal rumusan norma hukum maupun penerapan hukumnya itu sendiri dalam pasal tersebut.
Di sisi lain rumusan redaksi norma dalam pasal tersebut ternyata bermasalah, bersifat karet, dan tidak memuat definisi pasti yang ketat. Misalnya terkait apa yang disebut sebagai “berita atau pemberitahuan bohong”, maupun “keonaran di kalangan rakyat”, tidak ada definisi dan ukuran yang jelas.
Selain tidak ada definisi yang jelas terkait apa yang disebut sebagai “berita atau pemberitahuan bohong”, hingga kini tidak ada regulasi khusus tersendiri bagaimana pemerintah melakukan standarisasi terhadap apa yang dimaksud sebagai “berita benar” dengan “berita bohong”, atau pun regulasi bagaimana memvalidasi suatu informasi atau pengetahuan.
Selain itu tidak ada definisi dan ukuran yang jelas dengan apa yang dimaksud sebagai “keonaran di kalangan rakyat“. Apakah ia akan berarti sama dengan “populer”, “viral”, “gaduh”, “kekacauan”, atau pun “kerusuhan”? Tidak ada batasan “keonaran di kalangan rakyat”, menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi itu sudah bisa dibilang onar atau tidak yang menjadi penentu diterapkan atau tidaknya aturan ini.
Masalah lain juga dapat ditemukan dalam pasal tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak pasti, kabar yang berkelebihan, atau kabar yang tidak lengkap, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 15 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Adapun bunyi redaksi pasalnya adalah sebagai berikut: “Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya dua tahun”.
Ketentuan Pasal 15 ini sama bermasalahnya dengan ketentuan Pasal 14, dimana ia dirumuskan dengan rumusan norma yang sifatnya karet, tidak ketat, dan tidak pasti. Tidak ada ukuran yang jelas dengan apa yang dimaksud sebagai “kabar yang tidak pasti”, “kabar yang berlebihan”, “tidak lengkap”, hingga “mudah dapat menerbitkan keonaran”. Apa ukuran dari “tidak pasti”, “berlebihan”, “tidak lengkap”, atau “mudah dapat menerbitkan keonaran”? Kesemuanya adalah istilah sifat yang pengukurannya cenderung subjektif, tidak objektif, dan berpotensi diterapkan sewenang-wenang.
Ketiadaan standarisasi yang jelas, terukur, dan objektif terkait bagaimana memvalidasi kebenaran sebuah berita, yang kemudian membuat pemerintah berpotensi menjadi aktor tunggal yang dapat memonopoli kebenaran suatu wacana, pengetahuan, maupun berita. Dari sini, pemerintah berpotensi dapat memberangus suara-suara lain atau suara alternatif yang dianggap dapat menggoyahkan wacana yang telah dibuat dan dimonopoli kebenarannya oleh pemerintah.
Selain itu dalam ketentuan Pasal 14 maupun Pasal 15, unsur perbuatan pidana yang dirumuskan adalah “menyiarkan kabar”. Rumusan ini tidak menjerat “pembuat berita bohong atau tidak lengkap”, namun menjerat siapa pun “yang menyiarkan”. Maka jika aparat penegak hukum mencoba untuk konsisten tetap menerapkan kedua pasal tersebut, semestinya semua orang yang menyebarkan berita yang dianggap bohong atau tidak lengkap, baik itu dengan cara share, broadcast, love, retweet, blast, dll. bisa terkena pemidanaan kedua pasal ini.
Misalnya dalam kasus klaim sejarah komunitas Sunda Empire, mereka dituduh menyebarkan berita bohong karena dianggap “memanipulasi sejarah” dan “memutarbalikkan fakta”. Tuduhan ini didukung pula dengan hasil pemeriksaan terhadap ahli sejarah, akademisi, budayawan, dan saksi-saksi lainnya yang memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan klaim Sunda Empire.
Hingga akhirnya aparat penegak hukum lebih memilih untuk mentersangkakan hanya tiga orang petinggi Sunda Empire –yang dengan secara implisit hendak menyatakan bahwa sejarah versi Sunda Empire adalah berita bohong-. Padahal informasi dan klaim-klaim Sunda Empire banyak disebarkan tidak hanya oleh tiga orang petingginya saja, namun oleh orang per orangan di sosial media, bahkan hingga media pers nasional (baik media cetak maupun elektronik).
Proses penegakan hukum dalam kasus ini problematik, karena entah bagaimana akhirnya aparat penegak hukum “memilih” versi yang dianggap benar. Apa yang dijadikan acuan atau standar polisi dalam “memilih” versi yang dianggap benar? Di sisi lain, kasus yang berawal dari “klaim sejarah” ini masuk pada domain “ilmu sejarah” yang merupakan salah satu ilmu sosial yang potensi ketidakpastiannya lebih besar ketimbang “ilmu hukum”. Dalam kajian sejarah, cukup banyak peristiwa yang memiliki versi sejarah yang saling berbeda satu sama lain, dan itu adalah hal yang lumrah.
Maka dalam konteks kasus Sunda Empire, maka pendekatan yang lebih jelas dan tepat justru bukan pendekatan represif-pemidanaan, melainkan pendekatan debat akademik di kampus. Di situlah baik para pegiat Sunda Empire maupun kelompok akademisi bisa saling berdebat dan berargumentasi mengenai klaim sejarahnya masing-masing berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Proses penegakan hukum yang problematik ini juga bakal menghadapi situasi yang sama bila dihadapkan dengan narasi atau pengetahuan tertentu yang berhubung dengan adat-istiadat atau kebudayaan tertentu, yang mana pengetahuan tersebut kerap tidak bisa dibuktikan secara jelas karena diturunkan lewat tradisi lisan. Apakah pemerintah akan berani menerapkan pasal tindak pidana tersebut dengan resiko serangan balik dari masyarakat itu sendiri? Ini yang membuat pendekatan represif-pemidanaan lewat jalur hukum tidak tepat dalam membangun kesadaran kritis pengetahuan warga maupun menangkal informasi atau pengetahuan yang tidak benar atau tidak rasional.
Namun bayangkan, bilamana situasinya adalah terbalik: pemerintah sebagai aktor yang menyebarkan berita bohong atau berita tidak lengkap? Misalnya dalam hal data terkait informasi statistik, informasi fakta hukum tertentu, atau kondisi sosial tertentu. Alih-alih pemerintah itu sendiri “yang dipidana”, pemerintah acapkali tidak mau disalahkan atas kesalahan berita atau informasi tersebut, dan langsung menepis tudingan-tudingan yang ditujukan kepadanya, meski pun informasi atau berita yang disampaikan kontras berbanding terbalik dengan hasil riset maupun survey yang ada.
Dalam diskursus filsafat pengetahuan Foucauldian, upaya monopoli kebenaran atas pengetahuan tertentu lewat cara represif pemidanaan seperti yang dilakukan pemerintah ini merupakan bagian operasi kuasa wacana oleh rezim. Umumnya, sebagian besar dari kita beranggapan bahwa pengetahuan memberikan kita kekuasaan atau kekuatan (power) untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat kita lakukan tanpa pengetahuan tersebut. Namun dalam perspektif Foucauldian, pengetahuan memiliki sisi lain dimana dia adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain. Pengetahuan sebagai kekuasaan tidak lagi memberikan pencerahan dan pembebasan. Ia menjadi alat untuk melakukan pengawasan, pengaturan, dan pendisiplinan.
Praktik-praktik represif kekuasaan dalam memonopoli wacana pengetahuan ini sama seperti yang terjadi di zaman abad kegelapan, dimana banyak ilmuwan, saintis, hingga filsuf yang dipenjarakan dan dibunuh karena menyuarakan pendapat dan pengetahuan yang berbeda. Galileo Galilei adalah salah satu contoh bagaimana seorang ilmuwan yang memiliki pendapat berbeda mengenai alam semesta, terpaksa dikurung oleh rezim kekuasaan politik yang berselingkuh dengan kekuasaan agama karena wacana pengetahuannya berbeda dengan rezim saat itu.
Bila pemerintah serius ingin memerangi hoax atau kabar bohong, tindakan yang tepat bukanlah dengan melakukan tindakan represif dengan menerapkan ketentuan Pasal 14 atau pun Pasal 15 Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Pendekatan represif sama sekali tidak membangun daya kritisisme warga terhadap suatu wacana pengetahuan, justru menciptakan iklim horor dan ketakutan di masyarakat.
Maka yang lebih tepat dilakukan pemerintah adalah dengan menggunakan pendekatan pendidikan dan kebudayaan, dengan menggalakkan materi-materi pengetahuan kritis, yang mencakup bagaimana memvalidasi suatu informasi pengetahuan, logika berpikir, dan sebagainya. Selain itu, bila dipandang perlu, Pemerintah juga dapat membuat semacam panduan bagaimana memvalidasi suatu informasi pengetahuan yang bisa menjadi pegangan bersama.
Selain itu, pemerintah perlu merevisi ketentuan Pasal 14 atau pun Pasal 15 Undang-undang No. 1 Tahun 1946 menjadi lebih ketat dan mengganti sanksi pidana dengan alternatif pemidanaan lainnya, agar ketentuan tersebut tidak diterapkan secara sewenang-wenang, berorientasi pada restoratif justice, dan memenuhi rasa keadilan bagi warga negara. []
—Penulis adalah Pengacara Publik LBH Jakarta. Menaruh fokus pada isu-isu demokratisasi, kebebasan sipil dan politik, hingga isu ketenagakerjaan
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.