Minggu (19/01) diskusi bertema ‘Omnimbus Law, untuk Siapa?’ diselenggarakan di LBH Jakarta. Diskusi ini diisi oleh pembicara Arif Maulana (LBH Jakarta), Merah Johansyah (JATAM), Ellena Ekarahendy (SINDIKASI), Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardika), dan Fajar Adi Nugroho (BEM UI). Kelima pembicara ini dimoderatori oleh Bire dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Kelima narasumber mengkritisi Omnimbus Law dari beberapa perspektif yaitu hukum, lingkungan, pekerja, perempuan dan mahasiswa/pelajar.
Pemerintah Indonesia sedang menyusun Omnibus Law yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Ada tiga hal yang disasar pemerintah dalam Omnibus Law, yakni Undang-undang Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja, dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Dalam diskusi ini dijelaskan, Omnibus Law adalah suatu undang-undang yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa undang-undang sehingga menjadi lebih sederhana. Arif Maulana menjelaskan bahwa Omnibus Law belum memiliki payung hukum yang jelas. Mengingat Indonesia hanya memiliki Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Perundang-undangan.
“Undang-undang tersebut merupakan satu-satunya payung hukum untuk membuat suatu naskah peraturan perundang-undangan dan tidak mengatur mengenai Omnibus Law,” kata Arif.
Arif Maulana juga menolak dengan tegas dan mengkritik Omnibus Law. Menurutnya, Omnibus Law sejak dalam perancangan sudah tidak transparan serta minim partisipasi masyarakat.
“Dalam perancangan Omnibus Law seperti RUU Cipta Lapangan Kerja, ada upaya-upaya pemaksaan, represif-intimidatif di balik perancangannya. Hal itu akan membuat Indonesia semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi, negara hukum, dan republik itu sendiri,” tambahnya.
Sementara ketua Serikat Sindikasi Ellena Ekarahendy mengatakan adanya potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Menurutnya, potensi PHK ini bukan hanya terjadi bagi para pekerja muda saja, tetapi bagi mereka para pekerja lama juga akan menghadapi potensi ini.
“RUU Cipta Lapangan Kerja melalui Omnibus Law akan berdampak pada pengurangan upah minimum, berpotensi diskriminasi, dan penghilangan jaminan sosial,” ujar Ellena.
Mutiara Ika Pratiwi yang mewakili Perempuan Mahardika memberikan pandangannya tentang Omnibus Law yang menurutnya tidak ada satu katapun yang menyebut perempuan sebagai tenaga kerja yang berkontribusi terhadap produksi.
Jika dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang saat ini masih berlaku saja masih belum secara menyeluruh memenuhi hak-hak perempuan, maka dengan adanya Omnibus Law Ia semakin khawatir hal itu akan semakin mengeliminasi hak-hak perempuan.
Selain itu, Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menolak Omnibus Law dari perspektif lingkungan. Menurutnya dengan Omnibus Law akan ada penambahan pasal soal tidak adanya batas waktu untuk proyek tambang yang terintegrasi pemurnian atau hilirisasi.
“Omnibus Law juga akan mengganggu lingkungan. Salah satunya hutan. Hal itu terlihat dari banyaknya pasal dalam undang-undang terkait lingkungan yang dihilangkan dalam Omnibus Law”. Tutur Merah.
Wacana Omnibus Law yang digemakan pemerintahan Joko Widodo hari ini sedang mendapat perhatian dari banyak pihak. Mulai dari proses perencanaan hingga implementasi yang dikhawatirkan justrtu akan melahirkan ketimpangan.