Koalisi Masyarakat Sipil (LBH Jakarta, Greenpeace, Walhi DKI Jakarta, dan Rujak Center for Urban Studies) menyampaikan belasungkawa kepada para korban bencana banjir yang terjadi di Jabodetabek pada 1-3 Januari 2020 tempo hari dan menghimbau agar pemerintah lintas provinsi dan pemerintah pusat lebih serius mengatasi banjir di Ibukota negara beserta daerah sekelilingnya yang dilalui 13 sungai ini. Koalisi menyarankan kepada pemerintah agar menuntaskan pemulihan pasca bencana, mitigasi hingga musim penghujan selesai, dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah agar hal serupa tidak terulang di masa depan.
Sebagaimana diketahui bersama, banjir Jabodetabek terjadi di 182 titik, mengakibatkan 53 orang meninggal dunia karena tenggelam, tersetrum, maupun tertimpa tanah longsor dan 1 orang hilang. Sebanyak 397.171 orang mengungsi. Dengan jumlah paling banyak berada di Kota Bekasi sebanyak 366.274 orang. Sedangkan Kabupaten Bogor mengalami tanah longsor yang merenggut nyawa manusia.
Meskipun Pemprov DKI Jakarta sudah melakukan pengerukan sungai dan danau untuk mengantisipasi musim penghujan kali ini, namun hal tersebut tidak cukup. Diperlukan koordinasi lintas provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten) untuk mengatasi banjir. Hal mana yang belum dilakukan oleh tiga pemerintah daerah tersebut.
Mengenai normalisasi sungai yang telah diimplementasi dalam rupa betonisasi dan tannggulisasi Sungai Ciliwung, bukanlah satu-satunya opsi dalam menangani banjir Jakarta karena normalisasi justru mempercepat agar aliran air ke Teluk Jakarta, serta menambah beban pada muara kanal-kanal Jakarta seperti Banjir Kanal Barat. Yang diperlukan Daerah Aliran Sungai kita adalah restorasi sungai yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Lagipula, wilayah yang sudah “dinormalisasi” seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri juga turut terendam banjir. Yang harus dilakukan adalah bagaimana agar air dapat diserap semaksimal mungkin oleh tanah atau disimpan semaksimal mungkin dalam berbagai metode yang dikenal dalam konsep Zero Run Off, sebagaimana hal mana dibenarkan oleh Bappenas.[1] Diperlukan koordinasi lintas provinsi dan lintas kementerian, karena banjir terkait masalah dari hulu ke hilir. Untuk daerah hulu misalnya di Puncak, terjadi banyak alih fungsi lahan yang justru dimiliki oleh banyak pejabat dan konglomerat.[2] Untuk Jakarta sendiri pengembalian ruang terbuka hijau (RTH) yang sudah dialihfungsikan menjadi bangunan komersial di masa lalu belum juga dilakukan. Sementara menurut data Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan, hampir 90% permukaan Jakarta telah tertutup beton. Karenanya hampir mustahil jika air permukaan dan limpasan dari 90% tersebut hanya bertumpu pada drainase kota dan badan air Jakarta yang hanya 3% dari total luas daratan Jakarta.
Hal penting yang harus dicamkan juga adalah banjir muncul karena air meluap dari sungai yang disebabkan oleh curah hujan ekstrim akibat perubahan iklim. Wilayah Jabodetabek mengalami curah hujan tertinggi sepanjang sejarah selama 154 tahun terakhir yaitu 377 mm/hari. Tingkat curah hujan semakin meninggi dari masa ke masa dan intervalnya semakin pendek. Rekor tingginya curah hujan ini merupakan wake up call kepada seluruh pihak bahwa Indonesia mengalami krisis iklim. Pemerintah Pusat harus mengambil peran, salah satunya dengan membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Iklim sembari memperluas kesadaran kepada masyarakat bahwa ancaman krisis iklim nyata. Masyarakat dan para pengambil kebijakan hendaknya tidak terseret pada kepentingan politik sesaat yang tidak bermanfaat. Banjir memang tidak memandang status sosial dan ekonomi, namun pada akhirnya orang miskin dan kelompok rentanlah yang paling rawan menjadi korban.
Jakarta, 6 Januari 2020
Hormat kami,
LBH Jakarta, Greenpeace, Walhi DKI Jakarta, dan Rujak Center for Urban Studies
Catatan:
Koalisi membuka pengaduan bagi siapapun yang dirugikan atas bencana banjir Jabodetabek untuk mengadu ke LBH Jakarta dengan membawa bukti-bukti terkait ke Jalan Diponegoro No. 74, Menteng, Senin-Kamis jam 9-15 WIB.