Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menggelar sidang untuk kasus yang menjerat enam aktivis Papua dengan agenda pembacaan dakwaan jaksa penuntut umum pada Senin (16/12). Keenam aktivis Papua tersebut, yaitu Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Dano Tabuni, Isay Wenda, Ambrosius Mulait dan Arina Elopere. Mereka didakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Pasal 106 KUHP tentang Makar. Mereka dituduh ingin melepaskan sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan diri, sebagaimana Pasal 110 ayat 1 KUHP tentang Permufakatan Jahat untuk Melakukan Makar. Mereka diancam dengan hukuman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Sebelumnya, Keenam aktivis Papua tersebut ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka pada 30-31 Agustus 2019 dengan tuduhan makar atas kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum atau unjuk rasa pada tanggal 28 Agustus 2019. Unjuk rasa tersebut sejatinya mengusung tema “Menolak Rasisme dan Diskriminasi terhadap Orang Papua”, yang dilatarbelakangi karena terjadinya pelecehan dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur.
Tim Advokasi Papua, selaku kuasa hukum keenam aktivis Papua, sempat melayangkan gugatan praperadilan atas penangkapan dan penetapan tersangka terhadap keenam aktivis tersebut di PN Jakarta Selatan pada 22 Oktober 2019. Tim Advokasi Papua menilai pihak kepolisian diduga telah melakukan serangkaian prosedur penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penetapan tersangka yang tidak sah. Namun, hakim tunggal praperadilan menyatakan gugatan Tim Advokasi Papua tidak dapat diterima. Hakim mempertimbangkan bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparat merupakan ranah hukum perdata.
Sidang pada (16/12) ini pun ditunda karena jaksa tidak menyerahkan berkas perkara kepada Tim Advokasi Papua yang merupakan kuasa hukum dari keenam aktivis tersebut. Salah satu kuasa hukum Tim Advokasi Papua, Oky Wiratama menyatakan bahwa pihaknya sudah berkirim surat sebanyak dua kali untuk meminta salinan berkas perkara kepada penuntut umum. Surat tersebut tertanggal 20 November dan 9 Desember 2019, namun hingga persidangan pertama dimulai, penuntut umum tak kunjung memberikan berkas perkara.
“Hal ini tentu telah menyalahi Pasal 72 KUHAP dan Pasal 143 ayat (4) KUHAP,” tambah Oky.
“Jangan sampai hak terdakwa terabaikan. Ancaman untuk terdakwa sangat serius, 20 tahun sampai seumur hidup. Jangan main-main dengan persidangan ini, oleh karenanya kami meminta kepada Majelis Hakim agar segera memerintahkan penuntut umum untuk memberikan berkas perkara kepada kami,” tegas Maruli Tua Rajagukguk, yang juga merupakan salah satu kuasa hukum Tim Advokasi Papua.
Akhirnya, Ketua Majelis Hakim, Agustinus Setya Wahyu Triwiranto, memerintahkan penuntut umum untuk segera memberikan berkas perkara dan berkordinasi kepada kuasa hukum, dan oleh karenanya sidang ditunda. Sidang rencananya akan kembali digelar pada Kamis, 19 Desember 2019 tetap dengan agenda pembacaan dakwaan.
Untuk kita ketahui bersama, kata makar yang disangkakan sendiri berasal dari kata “anslaag” dalam Bahasa Belanda, yang didefinisikan sebagai serangan. Ukuran paling mendasarnya adalah penggunaan kekuatan. Oleh karena itu, penyampaian ekspresi atau pendapat di muka umum dengan memunculkan simbol-simbol yang sudah menjadi kultur bagi masyarakat Papua, serta pernyataan keinginan untuk menentukan nasib sendiri tidaklah dapat dikatakan atau disamakan dengan bentuk tindak pidana makar. Sehingga penjeratan pasal makar atas kegiatan unjuk rasa atau penyampaian pendapat di muka umum tidak tepat dan justru melanggar Hak Asasi Manusia untuk berkumpul maupun mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur dalam 28E UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005. (Dirga)