Suciwati, istri dari mendiang pejuang HAM Munir Said Thalib resmi mengadukan Presiden Republik Indonesia ke Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir (6/11). Dalam pelaporannya Suciwati didampingi oleh YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, Imparsial dan Amnesty Internasional Indonesia.
Suciwati dalam kesempatan Pers Conference yang diadakan di Ombudsman RI menyampaikan kekecewaannya terhadap tindakan Pemerintah dalam menangani kasus kematian mendiang suaminya.
“Kasus Munir ini sebenarnya kan mudah ya tapi jadi berbelit-belit oleh pemerintah yang tidak mau mengungkapnya, menuntaskannya. Sehingga ini menjadi hal yang teknis sekali padahal di laporan itu sendiri sebenarnya bisa langsung melakukan penyidikan, ada tim khusus dari hasil rekomendasi TPF tersebut. Ini contoh buruk buat kita sebagai bangsa, sebuah kasus yang sebenarnya jadi fokus banyak negara tapi justru tidak ditanggapi serius”, ungkap Suciwati di Kantor Ombudsman.
Sebagaimana kronologi yang dituliskan oleh Suciwati dalam pelaporannya kepada Ombudsman, bahwa kasus kematian Munir terjadi pada tahun 2004 dalam Pesawat Garuda penerbangan Singapura-Amsterdam hingga kini masih menuai banyak pertanyaan dan belum terungkap. Menanggapi kasus kematian aktivis HAM tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu mengeluarkan Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Meninggalnya Munir.
Pada Juni 2005, TPF Munir kemudian menyerahkan ringkasan laporan akhir sebanyak 7 rangkap kepada Presiden RI, Sekretariat Negara (Setneg), Sekretariat Kabinet (Setkab), Menkopolhukam, Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dan Juru Bicara Presiden. Namun, laporan tersebut tidak pernah diumumkan kepada publik sebagaimana diwajibkan dalam Keppres. Hingga 2016, pemerintah tidak kunjung mengumumkan laporan tersebut kepada publik sehingga Suciwati bersama KontraS dan LBH Jakarta mendaftarkan permohonan sengketa Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pada April 2016.
Majelis KIP kemudian mengabulkan permohonan sengketa KIP tersebut pada Oktober 2016 dengan salah satu amar putusan yang berbunyi, “Pemerintah RI untuk mengumumkan secara resmi hasil Penyelidikan TPF Kasus Meninggalnya Munir kepada masyarakat”.
Pemerintah Presiden Jokowi melalui Kementerian Sekretariat Negara saat itu beralasan tidak memberikan dan mengumumkan laporan TPF Munir tersebut karena tidak menyimpan dan menguasai laporan tersebut. Media kemudian memberitakan bahwa laporan TPF Munir hilang.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden sebelum Joko Widodo kemudian tidak mau dipersalahkan lalu mengadakan Siaran Pers guna menjelaskan posisinya terkait sengketa dokumen tersebut dan meminta mantan Mensesneg di masa pemerintahannya, Sudi Silalahi menyerahkan salinan dokumen TPF Munir tersebut ke Istana Negara. Sudi Silalahi dikabarkan telah mengirimkan dokumen laporan TPF tersebut ke Istana Negara melalui kurir dan diterima pihak istana. Johan Budi selaku Juru Bicara Kepresidenan RI mengkonfirmasi bahwa telah menerima Salinan Dokumen Laporan TPF Munir yang dikirimkan tersebut. Pada saat itu Juru Bicara Kepresidenan mengatakan Kemensetneg akan segera melimpahkan dokumen tersebut ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Namun yang terjadi, Kemensetneg justru mengajukan keberatan atas putusan KIP tersebut ke PTUN Jakarta dan membatalkan putusan KIP tanpa adanya sidang sebagaimana diatur oleh sistem Peradilan Pidana Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Suciwati dan koalisi advokasi kasus Munir yang ikut mendampingi, namun hal tersebut hingga kini masih belum dapat terselesaikan.
Putri Kanesia dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) turut berpendapat bahwa hilangnya dokumen negara, dokumen publik yang sangat penting seperti ini, terlebih guna penanganan kasus harus segera ditindaklanjuti dan dilaporkan sebab dapat menjadi preseden buruk ke depannya bagi tata kelola dokumen-dokumen negara.
“Ini akan menjadi catatan buruk pemerintah ketika lembaga negara mempunyai kualitas yang sangat buruk dalam menyimpan dokumen penting, apalagi dokumen tersebut mempunyai dampak yang besar dalam pengungkapan kasus seperti kasus Munir”, ungkap Putri di Ombudsman, Jakarta.
Melalui pelaporan ini Suci Wati dan tim advokasi kasus Munir kembali berusaha membuat terang segala sengkarut persoalan yang menghalangi diungkapnya kebenaran atas kematian Munir. (Chikita)