Oleh: Auditya Saputra*
Pengantar
Perjalanan panjang proses persidangan 29 karyawan Sarinah yang menjadi korban kriminalisasi pada aksi 21-22 Mei telah mencapai babak akhir. Hari Kamis, 19 September 2019, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat dalam perkara No. 844/Pid.B/2019/PN. Jak-Pus, yang terdiri dari Wadji Pramono, S.H., M.H., Taryawan Setiawan, S.H., M.H., Yuzaida S.H., M.H., resmi menjatuhkan vonis bersalah terhadap para terdakwa. Majelis hakim juga menghukum mereka dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan 3 (tiga) hari. Lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut mereka selama 8 (delapan) bulan penjara. Sebelumnya mereka dituntut dengan Pasal 212 KUHP jo. Pasal 214 KUHP jo. Pasal 56 KUHP, karena dianggap membantu kerusuhan, hanya karena memberi pertolongan berupa air minum kepada orang yang menderita akibat serangan gas air mata yang ditembakan petugas untuk melerai massa.
Dengan dijatuhkannya vonis tersebut, koleksi lembar panjang penegakan hukum “yang tidak adil” kian bertambah. Untuk kesekian kalinya, kriminalisasi terhadap orang baik terjadi. Ironisnya, kriminalisasi terhadap orang baik tersebut justru dilanggengkan di ruang persidangan dengan slogan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini memantik saya mempertanyakan: “Apa yang membuat hukum sedemikian istimewanya sehingga orang yang memberikan pertolongan kemanusiaan terhadap orang lain perlu dipidana atas nama penegakan hukum itu sendiri?”
R.I.P Humanity: Dilarang Memberi Pertolongan kepada Korban Tindak Represif Aparat
Betapa heran dan kecewanya saya mendengar kabar bahwa para terdakwa diputus bersalah oleh Majelis Hakim. Ekspektasi saya akan hukum yang berkeadilan mendadak rubuh. Skeptisisme saya melihat para wakil Tuhan (baca: Hakim) tiba-tiba mencuat kembali. Hal tersebut wajar saja, sebab selama mengikuti pasang surut proses persidangan, hakim sendiri menyebut bahwa ke-29 terdakwa sebenarnya hanyalah korban.
“Kalian ini sebenarnya korban (dari petugas yang tidak memberi instruksi untuk menutup akses sarinah). Kan jadinya justru yang di dalam (para sekuriti) yang disalahin”, ucap Hakim Ketua ketika agenda pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan.
Sayangnya, putusan akhir yang diberikan seolah mengatakan bahwa kalimat sebelumnya hanya gimik ‘bijaksana’ belaka.
Putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Perkara No. 844/Pid.B/2019/PN. Jak-Pus seolah ingin menegaskan pada kita bahwa tindakan pertolongan dalam bentuk memberi air minum kepada orang yang membutuhkan adalah suatu tindakan melawan hukum. Padahal, tindakan para karyawan Sarinah didasari atas pertimbangan kemanusiaan yang khawatir akan keselamatan para korban represifitas aparat kepolisian.
Para terdakwa sendiri mengakui bahwa tindakan mereka memberi air dilakukan semata-mata karena iba melihat para korban represi aparat yang saat itu berteriak, menangis, dan tergeletak tanpa daya meminta pertolongan akibat serangan gas air mata. Tindakan yang sama juga dilakukan para sekuriti Sarinah untuk membantu aparat kepolisian dan wartawan yang turut terkena gas air mata. Lantas, salahkah menolong korban gas air mata tersebut?
Jika kita memahami mekanisme kerja gas air mata pada tubuh seseorang, maka kita sedikit banyak dapat memahami mengapa rasa iba yang mendorong tindakan para terdakwa untuk memberi pertolongan. Penelitian yang dilakukan R.B. Douglas dalam Journal of Royal Society of Medicine, Vol. 98. No (3), 2003, menyebutkan bahwa efek samping gas air mata pada tubuh manusia dapat menimbulkan sensasi terbakar pada mata, sesak nafas, muntah-muntah, dan bahkan hingga gangguan akut pada organ pencernaan.[1]
Efek samping tersebut mampu meningkat drastis bagi orang dengan riwayat infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Bahkan, gas air mata terbukti mampu memakan korban jiwa: tercatat 33 orang meninggal dunia pada saat pembubaran demonstrasi dengan gas air mata di Mesir pada tahun 2014 silam.[2]
Menyadari betapa cara kerja gas air mata bereaksi pada tubuh, kita mampu membayangkan motif alasan para karyawan Sarinah sebelum bertindak memberi pertolongan, sebab peristiwa yang disaksikan para sekuriti bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja: siapa pun manusia bernurani pasti akan terdorong memberikan pertolongan sebisa mungkin ketika dihadapkan dengan pemandangan serupa.
Dalam tensi kerusuhan yang sangat intens seperti pada kasus 21-22 Mei, instruksi untuk melarang seseorang memberikan pertolongan adalah suatu hal yang tidak mungkin terbayangkan. Bahkan, terlampau kejam untuk sekedar terbersit di pikiran. Menolong merupakan naluri dasar manusia sebagai makhluk yang beradab. Bukankah hukum sendiri dibuat untuk menciptakan masyarakat yang beradab? Berangkat dari proposisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan Karyawan Sarinah adalah sesuatu yang bisa diterima, baik secara nalar maupun moral.
Hal ini mengingatkan saya pada gagasan tentang moral yang dicetuskan Immanuel Kant dalam bukunya ‘Fundamental Principle of the Methaphysic of Morals’ di mana Kant menjelaskan bahwa suatu kebaikan adalah baik dengan sendirinya bilamana perbuatan itu tujuannya semata-mata kebaikan itu sendiri. Bagi Kant, tindakan moral yang hakiki (an sich) datangnya dari suatu kewajiban dan kesadaran moral seseorang dan bukan untuk tujuan lainnya.[3]
Sebaliknya, pertimbangan hakim yang menempatkan para terdakwa sebagai pihak yang bersalah karena menolong justru sangat bertolakbelakang dengan nilai gotong-royong yang hidup di masyarakat kita. Pertimbangan tersebut juga kontradiktif dengan norma yang diatur dalam hukum positif kita. Hakim telah menafikan eksistensi kewajiban hukum yang melekat pada tiap individu, sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP, yang mewajibkan setiap orang untuk memberikan pertolongan bagi orang lain yang sedang berada dalam keadaan bahaya maut. Bagi orang yang dengan sengaja melalaikan kewajiban memberi pertolongan padahal ia sendiri mengetahuinya, dapat dipidana penjara selama tiga bulan. Dengan kata lain, dengan adanya kewajiban itu terdapat dasar pembenar maupun pemaaf bagi para karyawan Sarinah yang memberikan pertolongan kepada korban represi aparat.
Di titik inilah kita menemukan inkonsistensi antara norma yang satu dan norma yang lainnya, serta pertentangan antara nilai kemanusiaan dan logika hukum. Alhasil, logika hukum sang hakim seolah-olah lebih superior dan ekslusif daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Padahal, jika kita kritisi hal ini secara lebih dalam, di antara kedua kewajiban untuk menolong atau mengabaikan, tidak ada satu pilihan pun yang menguntungkan para terdakwa: jika ia menolong, maka ia dianggap membantu kerusuhan yang berkonsekuensi pada sanksi pidana, sementara jika ia diam saja, ia dapat pula dijerat pidana karena mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan. Dekadensi ini mengkhawatirkan. Tanpa perlu analisis mendalam saja kita sudah bisa mendeteksi bahwa ada sesuatu yang salah dengan hukum hari ini.
Ketika pilihan untuk melakukan perbuatan yang mulia justru berakhir di catatan kriminal polisi, maka kita perlu mengambil sikap. Memaksa masyarakat menerima putusan ini sebagai suatu wujud ‘keadilan yang digali berdasarkan kebijaksanaan hakim’ sungguh merupakan wacana yang tidak berperasaan dan hanya akan melanggengkan kesewang-wenangan.
Persidangan yang Melanggar Tertib Acara
LBH Jakarta mencatat ada prosesi yang menyalahi KUHAP dan tertib acara sidang. Pertama, sejak awal kuasa hukum tidak diberikan berkas persidangan oleh Jaksa Yerich Mochda meski sudah diminta berkali-kali. Kedua, informasi atas ruang sidang tidak pernah diberitahukan dalam Sistem Informasi Perkara Pengadilan. Ketiga, persidangan diselenggarakan dengan penjagaan personel kepolisian yang amat berlebihan dan kerap melarang kerabat dan keluarga terdakwa untuk memasuki ruang sidang, padahal sidang sejatinya terbuka untuk umum. Keempat, keterangan Ahli Pidana yang diajukan oleh Kuasa Hukum 29 Karyawan Sarinah tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam putusan. Kelima, para terdakwa sempat ditakut-takuti oleh penyidik bahwa jika kasusnya didampingi kuasa hukum dari LBH Jakarta tuntutannya justru akan diperberat.
Dalam konteks substansi sidang, keadaannya tak jauh berbeda. Tidak ada satu fakta pun yang terungkap selama persidangan yang membuktikan bahwa tuduhan Jaksa Penuntut Umum yang menyebut bahwa air yang diberikan para terdakwa berhasil membuat para pendemo fit dan segar kembali untuk melakukan kerusuhan.
Penafsiran pasal dalam undang-undang memang dapat dilakukan dengan pendekatan ekstensif, namun relevansi serta signifikansi antara perbuatan dan akibatnya tetap harus benar-benar dibuktikan di persidangan. Tanpa pembuktian itu, penggunaan penafsiran ekstensif sama saja dengan hipotesis ‘karet’ yang justru dapat mengkriminalisasi seseorang. Jaksa pun tidak bisa menunjukan signifikansi air minum tersebut terhadap para pelaku kerusuhan. Dakwaan Jaksa yang menyebut bahwa air minum dapat membuat para terdakwa kembali fit adalah asumsi prematur yang kausalitasnya (sebab-akibat) dipaksakan.
Dalam konteks delik perbantuan (Pasal 56 KUHP), dibutuhkan satu syarat penting bahwa: antara perbuatan, niat jahat, dan tujuan, harus berada dalam satu kerangka pikiran, baik pada pelaku utama dan pada pelaku pembantu. Oleh karena syarat tersebut, maka hukum tidak bisa serta merta menjerat orang yang melakukan perbantuan, sebab hal tersebut terbatas pada bentuk-bentuk bantuan yang beririsan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku utamanya. Perbantuan hanya dapat menjadi delik ketika tindakan perbantuan itu dengan sengaja bertujuan agar tujuan kejahatan tuntas terlaksana. Jika logika sesat Jaksa dibenarkan, maka personel medis yang tugasnya memberi pertolongan kepada massa aksi bisa sewaktu-waktu dijerat dengan delik perbantuan.
Ahli Pidana, Dr. Achmad Sofian, S.H., M.A., menerangkan bahwa untuk benar-benar mencapai kebenaran materiil terkait ‘fit atau tidaknya seseorang akibat air minum yang diberikan’, maka hal tersebut harus benar-benar dibuktikan. Agar kekuatan pembuktiannya kuat, dampak biologis yang dimaksud harus teruji secara klinis. Atau, setidak-tidaknya fit atau tidaknya seseorang dapat dijelaskan berdasarkan kesaksian langsung dari pelaku kerusuhan yang benar-benar meminumnya. Kesaksian itu menjadi kunci penting untuk menjawab dakwaan jaksa dan untuk membuka fakta materiil yang sebenarnya. Namun, lagi-lagi sangat disayangkan karena fakta persidangan tidak pernah sampai pada lapisan substansi ini karena waktu sidang justru lebih banyak tersita untuk hal-hal teknis (mengumpulkan para terdakwa ke ruang sidang, atau menentukan berapa orang dan siapa yang akan lebih dahulu ditanya oleh jaksa).
Patut menjadi catatan mengapa persoalan pembuktian di atas tidak pernah digali oleh hakim. Padahal, saksi polisi atas nama Donal Hutapea yang dihadirkan Jaksa mengatakan ada seratus lima puluh orang yang ditangkap di dalam area Sarinah yang terdiri dari pendemo dan sekuriti. Dari jumlah sebanyak itu, polisi sama sekali tidak mampu mengidentifikasi siapa-siapa saja yang diberi air minum oleh para sekuriti, padahal kesaksian dari orang yang menerima pertolongan tersebut bisa menjadi kunci untuk membuktikan benar-tidaknya efek air minum yang dikatakan dapat membuat tubuh perusuh kembali fit.
Jika pun benar terbukti bahwa air tersebut membuat peminumnya fit kembali, maka pembuktiannya tidak lantas selesai disitu. Jaksa harus juga membuktikan rangkaian unsur lainnya, “Apakah orang yang minum tersebut benar-benar bergerak kembali kerumunan massa untuk kembali melakukan kerusuhan sebagaimana didakwakan?”
Pada asasnya untuk dapat menyimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan perbantuan kerusuhan, maka rangkaian perbuatan yang dituntut kepadanya harus selesai dilakukan. Sebab, sekalipun air minum tersebut diberikan, ada dua probabilitas yang terjadi, mereka yang meminum air kemudian membubarkan diri, atau kembali melakukan kerusuhan. Sayangnya, persidangan tidak pernah menggali fakta materiil sampai lapisan sedalam itu.
Entah karena tidak terpikirkan atau memang enggan untuk memikirkan sampai ke situ. Boro-boro mengidentifikasi saksi kunci, agenda persidangan saja terpaksa harus berkali-kali tertunda, dari penundaan jam sidang sampai hari sidang hanya karena keteledoran jaksa dan personelnya yang belum menyiapkan berkas, atau karena keteledoran jaksa dalam memastikan para terdakwa terbawa oleh mobil tahanan. Hal-hal kecil seperti ini berdampak besar dan merugikan keluarga terdakwa secara waktu dan tenaga. Betapa insiden-insiden tersebut mencerminkan bagaimana kasus ini begitu ‘disepelekan’ oleh jaksa maupun Majelis Hakim.
Penggabungan Perkara dan Dampak Latennya bagi Hak Terdakwa
Permasalahan lainnya timbul akibat penggabungan perkara yang dilakukan Jaksa. Ke-29 Karyawan Sarinah digabung dalam satu surat dakwaan yang sama. Hal ini berdampak signifikan pada proses pemeriksaan di pengadilan, khususnya pada agenda pemeriksaan keterangan terdakwa, yang terpaksa harus dilakukan secara sekaligus.
Meski metode ini dipilih oleh hakim untuk memudahkan dan mempersingkat pemeriksaan, akan tetapi, tanpa disadari hal ini berdampak pada pemangkasan hak-hak hukum para terdakwa. Penggabungan tersebut berkonsekuensi pada pengurangan waktu terdakwa dalam memberikan keterangan ke muka sidang. Akibatnya, fakta tidak terungkap secara utuh. Hakim pun tampak tidak berupaya sedikit pun untuk menggali fakta secara lebih dalam, padahal dalam konteks pembuktian pidana, hukum mewajibkan hakim mencari kebenaran materiil.
Pertanyaan jaksa pun hanya dilakukan secara sampling ke beberapa orang terdakwa, dan itupun dilakukan dengan pertanyaan yang hanya sepotong-sepotong. Bagi terdakwa yang tidak dapat porsi pertanyaan dari jaksa, hakim menganggap jawabannya telah terwakilkan. Hal ini merupakan kekeliruan metode, sebab pada masing-masing terdakwa melekat fakta materiil versinya masing-masing. Fakta individu tersebut perlu dibuktikan masing-masing. Tindakan jaksa yang mengkompilasi informasi tak utuh itu sebagai satu rangkaian peristiwa yang dituntut berlaku pada semua terdakwa sama saja dengan pemaksaan kronologis.
Selain itu, selama prosesi persidangan hakim hanya berkutat pada pertanyaan formalistik kepada para terdakwa, yakni, “Apakah keterangan anda sesuai dengan BAP atau tidak? Apakah ada paksaan selama BAP?”
Di persidangan, karyawan Sarinah korban kriminalisasi ini pun telah lantang menjawab bahwa mereka berada di bawah tekanan fisik dan mental ketika BAP dilakukan. Kondisi para terdakwa pun masih mengalami trauma pasca mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian (dipaksa mengaku menerima uang, dan bahkan jelas-jelas menyebutkan bahwa penyidik telah mengonsepkan kronologi kepada mereka sebelum BAP dilakukan).
Hal tersebut patut dikritisi lebih lanjut sebab dalam konteks kasus kriminalisasi terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah, model pertanyaan demikian justru menjadi jebakan bagi para terdakwa. Sebab, di balik pertanyaan yang terkesan formal tersebut, ada intensi untuk mengarahkan pengakuaan secara tidak langsung.
Praktik ini berpotensi mengkriminalisasi korban yang tak bersalah, sebab faktanya para terdakwa selama ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses bantuan hukum dan dalam akses terhadap berkas perkaranya. Dalam situasi para terdakwa tidak mengetahui bagaimana isi BAP tersebut karena tidak pernah diserahkan, maka pertanyaan hakim di atas sama saja maknanya dengan, “Apakah Saudara mengakui perbuatan saudara?”
Standar Ganda Peradilan: Memberi Air Dihukum Lebih Berat daripada Melakukan Kerusuhan
Dua minggu sebelum Majelis Hakim Perkara No. 844/Pid.B/2019/PN.Jak-Pus memutus bersalah ke-29 karyawan Sarinah, jaksa yang sama menuntut salah satu terdakwa pelaku aksi kerusuhan dengan Pasal 218 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama 4 bulan. Berdasarkan tuntutan tersebut, Hakim pada hari yang sama kemudian memvonis terdakwa dengan pidana penjara selama 3 bulan 22 hari. Namun, standar yang berbeda berlaku bagi para karyawan Sarinah. Mereka yang notabene tidak terlibat melakukan kerusuhan dan hanya memberikan air justru dituntut 8 bulan penjara oleh jaksa, dengan menggunakan Pasal 212 KUHP jo. Pasal 214 jo. Pasal 56 KUHP.
Meski memang pemberian vonis haruslah kasuistis¾dalam arti tidak bisa digeneralisir-, namun kejanggalan terkait perbedaan beban hukuman seperti ini patutlah dikritisi oleh masyarakat. Jika kita mengkritisi penggunaan pasal dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum, masyarakat tanpa segan-segan akan mengambil kesimpulan bahwa tindakan memberi air kepada pendemo lebih salah di mata hukum daripada melakukan kerusuhan itu sendiri. Paradoks ini lahir karena logika penegak hukum keliru menilai situasi. Seolah-olah setiap kali perbuatan yang tercatat dalam perundang-undangan harus selalu diproses, alih-alih mengatasnamakan adagium hukum harus tetap ditegakan walau langit runtuh (fiat Justitia ruat caelum). Padahal, menegakkan hukum bukan hanya menegakkan aturan dengan menghukum, namun menegakkan keadilan dan kemanusian. Ketika rasa keadilan masyarakat tersisihkan karena pelaksanaan peraturan, maka hakim perlu mengutamakan rasa keadilan.
Vonis yang diberikan juga menunjukan ketidakpeduliaan Majelis Hakim terhadap fakta di persidangan, sebab bagaimana mungkin pelaku kerusuhan dituntut dengan pasal ‘melawan perintah petugas’, sementara para karyawan Sarinah yang memberi air minum dituntut ‘melakukan perbantuan untuk melakukan kekerasan kepada petugas’.
Kejanggalan ini patut diduga karena Majelis Hakim tidak teliti atau bahkan terkesan menyepelekan kasus ini. Dalam pikiran mereka, dengan memberi putusan yang mengakomodir tuntutan jaksa dan sesuai waktu tahanan para terdakwa, maka terdakwa dapat segera pulang ke keluarganya, dan para pihak sama-sama senang. Sayangnya, logika tersebut adalah sesat. Persoalan ini tidak sesederhana menjatuhkan hukuman sesuai masa tahanan agar supaya mereka bisa cepat pulang. Persoalannya jauh lebih serius. Sebab, dengan vonis bersalah tersebut maka melekatlah status mantan narapidana pada para terdakwa. Vonis itu seolah jadi momok tambahan yang mengatakan bahwa penderitaan yang dialami para terdakwa selama ditahan empat bulan terakhir belum cukup ‘memberi pelajaran’ kepada mereka.
Menyoal Kebenaran Materiil yang Diabaikan Majelis Hakim
Majelis Hakim tidak mengontemplasikan kasus ini secara mendalam untuk mencari kebenaran materiil. Hal ini terindikasi dari wacana Majelis Hakim yang setelah mendengar keterangan terdakwa justru mewanti-wanti agar hal ini menjadi pelajaran hidup saja bagi mereka. Dan bukan hanya itu, ketika penasihat hukum meminta waktu agar pleidoi diajukan secara tertulis agar dicermati oleh Majelis Hakim sebelum memberi putusan, hakim justru menolak dengan menawarkan kepada para terdakwa untuk langsung menjatuhkan putusan. Adapun Pertimbangannya adalah agar proses tidak berpanjang-panjang lagi.
Akan tetapi, putusan yang dijatuhkannya itu justru lebih tampak seperti memilih ambil jalan aman, menghukum dengan cara mengakomodir setengah tuntutan jaksa, dan setengah lagi tuntutan keluarga terdakwa agar mereka bisa segera pulang. Tapi, yang luput dalam hal ini adalah satu problem yang sangat penting, menghukum orang yang tak bersalah. Ironisnya, sang hakim justru tampak tersenyum dan berbangga hati ketika para keluarga terdakwa bersuka ria mendengar vonis, yang seolah mengabarkan bahwa anggota keluarganya akan segera pulang¾meski status ‘mantan narapidana’ juga turut pulang bersama mereka.
Ketika fakta-fakta di persidangan tidak terungkap secara utuh, hakim seharusnya tidak boleh main-main dalam memvonis seseorang bersalah. Hakim wajib menggali semua alat bukti dan membangun keyakinannya sebelum dirinya dapat memutuskan sebab pada asasnya hakim terikat pada asas ‘tidak ada pidana tanpa kesalahan’ (geen straf zonder schuld). Adapun kesalahan dapat diketahui dari adanya kesengajaan akan perbuatan dan kehendak atas terjadinya akibat yang dituju. Harus ada mens rea untuk mengatakan bahwa suatu perbuatan adalah tindak pidana. Mens rea adalah niat jahat. Pertolongan yang dilakukan karena rasa kemanusiaan bukanlah mens rea.
Semua ini membawa saya pada renungan: Apakah wujud keadilan hukum yang dipahami oleh Majelis Hakim memang benar-benar setidak-berperasaan itu? Atau, apakah memang hukum tidak mengenal variabel empati dalam pertimbangannya?
Kini tinta hitam telah tertanam dalam riwayat hidup para terdakwa. Noda itu bisa saja menjadi mimpi buruk yang akan membayang-bayangi kehidupan mereka dan keluarganya dalam melanjutkan lembar hidupnya. Berbagai kesulitan hidup di masa depan mau tak mau harus mereka hadapi hanya karena pertimbangan prematur sang juru adil¾mulai dari potensi di-PHK, kehilangan kesempatan atas hak pekerjaan yang layak karena status pidana yang melekat, dan semua dampak tersebut bukan hanya ditanggung oleh terdakwa, tapi juga anggota keluarganya. Stigma negatif dan stereotip ‘bekas penjahat’ terpaksa akan selalu muncul dari mata orang lain yang memandang sinis mereka.
Jika hal-hal kecil seperti memberi pertolongan justru dipersalahkan oleh hukum, maka tak salah jika pembangkangan sipil (civil disobedience) semakin meluas. Saya khawatir, dengan adanya preseden ini, orang-orang justru akan ramai-ramai kapok menolong.
Bagaimanapun juga, bagi saya, ke-29 karyawan Sarinah ini adalah working class heroes yang sebenarnya. Sebab, di tengah pusaran krisis kemanusiaan yang menjangkiti kita hari ini, mereka berani tampil sebagai manusia yang menolong sesama manusia. Bagi saya, mereka tidak bersalah, sebab kebaikan tidak pernah salah, di mata Tuhan ataupun manusianya. Yang terpenting, tindakan para terdakwa nyatanya jauh lebih mulia daripada ‘Yang Mulia’ yang sekonyong-konyong bermain-main atas nasib dan masa depan orang yang tak bersalah. []
*Penulis adalah Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Jakarta 2019-2020
[1] Lihat, R.B. Douglas, “Effects of exposure to CS”, dimuat dalam Journal of The Royal Society of Medicine 2003 Aug; 96(8): 423–424. Link URL: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC539590/
[2] Lihat, “Egypt police convicted over detainee tear-gas deaths”, link URL: https://www.bbc.com/news/world-middle-east-26626367
[3] Immanuel Kant, Fundamental Principles of the Metaphysics of Morals, (New York: Dover Publication, 2005), hal. 15- 16. Menurut Kant, prinsip hidup masuk dalam categorial imperative yang hidup dalam rasio seseorang sebagai law in itself, selengkapnya: “…an action done from duty derives its moral worth, not from the purpose which is to be attained by it, but from the maxim by which it is determined, and therefore does not depend on the realization of the object of action, but merely on the principle of volition by which the action has taken place, without regard to any object of desire;(…) It cannot lie ever but the in the principle of the will..”
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.