Pasal 27 ayat 2 UUD 1945;
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
68 tahun Negara Republik Indonesia Merdeka, namun Kaum buruh/pekerja belum merdeka dari Politik Upah Murah. Politik Upah Murah menjadi perbincangan yang hangat dikalangan buruh, pengusaha dan pemerintah sekaligus menjadi “monster” bagi kaum buruh/pekerja.
Di Tahun 2012, perlawanan kaum buruh/pekerja terhadap Politik Upah Murah tergolong cukup besar dan massif. Dimana seluruh daerah di Indonesia, kaum buruh/pekerja melakukan aksi dan perlawanan secara besar-besaran untuk menuntut adanya perbaikan upah dan kondisi kerja yang layak. Alhasil, Pemerintah melakukan perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 17 Tahun 2005 dengan Peraturan Menteri Tanaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, yang awalnya komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebanyak 46 Komponen menjadi 60 Komponen serta rata-rata kenaikan upah minimum untuk tahun 2013 sebesar Rp 500.00 hingga Rp 800.000,-.
Atas kenaikan upah minimum tersebut, para pengusaha mengancam Pemerintah akan menutup usahanya dan memindahkan bisnisnya keluar dari Indonesia. Seketika itu juga Pemerintah “menghamba” kepada Pengusaha dengan memberikan keleluasaan dan mempermudah proses penangguhan upah minimum yang penuh dengan manipulatif dan ditambah Kebijakan Pemerintah menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang diikuti dengan kenaikan harga barang-barang dipasaran, ongkos transportasi, yang mengakibatkan menurunya daya beli para buruh/pekerja.
Berdasarkan penelitian AKATIGA (2009), bahwa rata rata pengeluaran riil buruh per kabupaten selalu lebih tinggi bagi buruh dengan atau tanpa tanggungan dibandingkan dengan upah riil dan upah minimum kabupaten/Kotamadya (UMK) dan rata-rata upah total hanya mampu membayar 74,3% rata rata pengeluaran riil buruh dan UMK hanya mampu membayar 62,4% rata-rata pengeluaran buruh per bulannya.
Dari hasil penelitian AKATIGA diatas menunjukkan tingkat upah minimum tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak buruh dan masih jauh dari pengeluaran riil buruh. Akibatnya buruh harus melakukan penghematan kebutuhan pokok dan hidup dalam lingkaran hutang. Maka dampak dari Politik Upah Murah melestarikan dan memperpanjang rantai kemiskinan bagi para kaum buruh/pekerja.
Oleh karena itu, kami dari Serikat Buruh KSPI, KASBI, SPN, GSBI, FBLP, Federasi OPSI, Federasi Aspek, SBTPI , LBH Jakarta dan TURC menyatakan sikap sebagai berikut;
- Menyerukan dan mengajak seluruh kaum buruh/pekerja untuk melakukan perlawanan dan menolak Politik Upah Murah di Tahun 2014 dengan melakukan aksi-aksi yang strategis, untuk membebaskan kaum buruh dari lingkaran kemiskinan.
- Meminta dan mendesak kepada Presiden, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Gubernur dan Bupati dalam penetapan upah minimum dengan menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu kehidupan yang layak bukan investasi dengan menjadikan kaum buruh sebagai objek untuk dieksploitasi Atau diperbudak.
- Mengecam pernyataan Menteri Perindustrian M.S Hidayat, bahwa kenaikan upah tahun depan berdasarkan tingkat inflasi, khususya di industri padat karya, yang melestarikan dan memperpanjang “rantai” Politik Upah Murah.
Jakarta, 18 Agustus 2013
Hormat kami
KSPI, KASBI, SPN, GSBI, FBLP, FEDERASI OPSI, FEDERASI ASPEK, SBTPI, LBH JAKARTA, TURC.
Kontak;
KSPI; ( Rusdi; 081617178821), Kasbi; (Nining; 081317331801), GSBI; (Rudi; 081213172878); SBTPI; (Ilham Syah; 081219235552), FBLP (Jumisih; 08561612485); LBH Jakarta; (Febi Yonesta; 087870636308; Maruli (081369350396), TURC: (Surya Tjandra: 08128804072):