Oleh: Andi Komara
Pengacara Publik LBH Jakarta
Akses terhadap keadilan saat ini menjadi isu hangat dikalangan organisasi masyarakat sipil tak terkecuali organisasi bantuan hukum. Bagaimana tidak; program SDG’s memasukan akses terhadap keadilan sebagai poin yang harus dicapai suatu negara pada 2030 nanti SDG’s selesai. Indonesia pun tak luput ikut serta, melalui Bappenas sejak 2009 Indonesia sudah menyusun Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (SNAK). Berbagai lembaga donor berbondong-bondong memberikan hibah untuk organisasi masyarakat sipil di sektor keadilan ini.
Mendorong penegakan hukum, memperluas akses bantuan hukum dan masih banyak lagi program diselenggarakan demi mewujudkan akses terhadap keadilan. Tak luput juga program soal paralegal hadir sebagai salah satu jalan memperluas akses terhadap keadilan. Sempat mencuat kehebohan dikalangan advokat saat terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal (Permenkumham). Dalam Permenkumham tersebut diatur bahwa paralegal berhak mewakili orang di dalam sidang pengadilan.
Hal tersebut dianggap sebagian advokat mengganggu periuk nasi mereka, selain bagi mereka juga mengembalikan zaman pokrol bambu saat masa kolonial dahulu. Tak ayal beberapa advokat mengajukan uji materi atas Permenkumham tersebut ke MA dan hasilnya dikabulkan. MA membatalkan pasal-pasal di Permenkumkam seperti paralegal berhak mendampingi di persidangan. Walau cukup aneh bagi sebagian pegiat bantuan hukum MA membatalkan pasal tersebut terlepas dari substansi putusan.
Aneh karena para pemohon uji materi menguji Permenkumham tersebut dengan UU Advokat padahal Permenkumham tersebut lahir sebagai turunan UU Bantuan Hukum. Tapi mari kita tinggalkan sejenak kehebohan soal paralegal yang telah berlalu tersebut. Mari kita bicarakan substansi paralegal itu sendiri. Paralegal secara sederhana merupakan orang yang bukan memiliki latar belakang hukum yang telah dilatih untuk memberikan bantuan hukum bagi masyarakat.
Dengan perbandingan jumlah advokat serta organisasi bantuan hukum (OBH) yang lebih sedikit dibanding seluruh warga negara Indonesia. Jelas paralegal menjadi ujung tombak dalam memberikan layanan bantuan hukum pada masyarakat. Masih menjadi hal yang realistis memperbanyak jumlah paralegal dibanding menambah jumlah advokat dan OBH. Menjadikan seseorang menjadi paralegal tidak serumit menjadikan seseorang advokat dan mendirikan OBH.
Hal ini pula yang saat ini terlihat, banyak lembaga donor yang memberikan program pada organsasi masyarakat sipil dan OBH untuk pelatihan paralegal hingga pengembangan kapasitas bagi paralegal. Tiap lembaga donor memiliki kekhususan masing-masing sehingga berimbas pula pada hadirnya berbagai macam pelatihan paralegal. Paralegal disabilitas, paralegal isu minoritas kelompok rentan dan masih banyak lagi adalah varian dari paralegal. Bahkan pemerintah pun melalui Kementerian Desa memiliki program Paralegal Desa.
Tak bisa dipungkiri juga, dengan heterogennya masyarakat kita juga memunculkan kebutuhan-kebutuhan khusus sesuai keunikan masyarakat. Maka paralegal pun perlu dibekali kemampuan khusus untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Namun, demi inklusifitas pada hakekatnya paralegal juga harus bisa terbuka terhadap berbagai macam isu. Jangan sampai justru hal tersebut menjadikan paralegal terkotak-kotak sesuai dengan isu masing-masing.
Sebagai orang yang berasal dari masyarakat dan berada di tengah masyarakat, bisa paralegal menjadi tokoh sentral dan memiliki beban ganda. Sebagai ujung tombak dalam beberapa hal paralegal sering dimintai pertolongan dalam hal diluar bantuan hukum. Mengawasi pemilu hingga membantu kegiatan pemuda dan ibu-ibu. Lembaga donor juga sadar akan peran sentral paralegal ini sehingga banyak pula program-program yang memberdayakan paralegal diluar isu bantuan hukum.
Berbagai program pelatihan paralegal ini seyogyanya jangan hanya dilihat sebagai hal yang programatik saja. Dengan pemanfaatan yang tepat, akan muncul banyak paralegal yang baik dikemudian hari dan bisa mewujudkan salah satu akses terhadap keadilan bagi masyarakat. OBH sebagai supervisor dari paralegal memiliki peran vital dalam hal ini. OBH harus cermat mulai dari perekrutan calon paralegal, pelatihan paralegal hingga pengawasan kerja-kerja paralegal.
Bila tidak disikapi dengan bijak, keberadaan paralegal justru bisa menjadi boomerang dikemudian hari. Dengan makin banyak paralegal bila tidak diiringi penanaman nilai dan integritas bukan tidak mungkin banyak paralegal yang menyimpang. Penelitian ILRC berjudul “Paralegal Bukan Parabegal” cukup menjadi gambaran adanya paralegal yang melakukan penyimpangan. Akibat penyimpangan tersebut justru menjadikan paralegal seperti parabegal (pencuri) bagi masyarakat yang harusnya ia bantu.
“I had a job as paralegal. I drove a Cab ” Larry David
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.