Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota), gabungan individu maupun organisasi yang gigih memperjuangkan atas udara yang bersih menghadiri sidang perdana gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas buruknya kualitas udara Jakarta hari ini (1/8) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui sidang perdana dan gugatan ini, Koalisi Ibukota menuntut agar para tergugat[1] melakukan serangkaian kebijakan untuk memenuhi hak atas udara bersih bagi para penggugat dan 10 (sepuluh) juta warga Jakarta lainnya.
Buruknya kualitas udara Jakarta ini disebabkan oleh parameter pencemar yang telah melebihi Baku Mutu Udara Nasional (BMUN) sebagaimana yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 dan Baku Mutu Udara Daerah Provinsi DKI Jakarta (BMUA DKI Jakarta) sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Tingkat Kebisingan di Provinsi DKI Jakarta. Sebagai contoh singkat, angka konsentrasi PM 2,5 dari Januari hingga Juni 2019 adalah 37, 82 μg/m3 atau 2 kali lebih tinggi dari standar nasional atau 3 kali lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Mengapa hal ini begitu penting? Karena tingginya parameter pencemar yang melebihi baku mutu akan menimbulkan gangguan kesehatan. Setidak-tidaknya 58,3% warga Jakarta menderita berbagai penyakit yang diakibatkan polusi udara yang terus meningkat setiap tahun[2]. Biaya pengobatan akibat polusi udara ini setidak-tidaknya menyentuh angka Rp. 51,2 triliun. Angka ini diprediksi akan semakin meningkat seiring memburuknya kualitas udara Jakarta apabila tidak ada langkah-langkah perbaikan dari para pengambil kebijakan (baca: pemerintah).
Melalui gugatan warga negara ini, para penggugat berharap Presiden RI dapat melakukan revisi PP 41/1999. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga harus melakukan supervisi terhadap para gubernur dalam hal pengendalian pencemaran udara. Menteri Dalam Negeri juga harus mengawasi, mengevaluasi, dan membina kerja para gubernur dalam hal pencemaran udara. Menteri Kesehatan pun harus menghitung penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di 3 provinsi. Sementara Gubernur DKI Jakarta harus melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara dan/atau ketentuan dokumen lingkungan hidup. Para gubernur yang turut tergugat pun harus melakukan inventarisasi pencemaran udara, menetapkan status BMUD, serta menyusun dan mengimplementasikan Strategi dan Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran Udara.
Lembaga peradilan melalui Majelis Hakim diharapkan dapat menjalankan fungsinya untuk memerintahkan pejabat pemerintahan yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya, yang dalam kasus ini adalah kewajiban mengendalikan pencemaran udara. Hanya melalui pelaksanaan kewajiban tersebut, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dalam hal ini udara bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bagi masyarakat Jakarta dapat terlindungi dan terpenuhi.
Jakarta, 1 Agustus 2019
Hormat kami,
TIM ADVOKASI GERAKAN IBUKOTA
[1] Presiden Republik Indonesia (Tergugat I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat II), Menteri Kesehatan (Tergugat III), Menteri Dalam Negeri (Tergugat IV) dan Gubernur DKI Jakarta (Tergugat V) serta Gubernur Jawa Barat (Turut Tergugat I) dan Gubernur Banten (Turut Tergugat II).
[2] Trend jenis penyakit akibat polusi udara di Jakarta dari tahun 2010 ke 2016: i) Asma dari 1.210.581 menjadi 1.489.014 kasus; ii) Bronkopneumonia 173.487 menjadi 214.256 kasus, iii) Gangguan pernafasan kronis 153.724 menjadi 172.632 kasus, iv) Infeksi pernafasan akut dari 249.986 menjadi 373.935 kasus, v) Pneumonia dari 336.279 menjadi 373.935 kasus; serta vi) Jantung koroner dari 1.246.130 menjadi 1.386.319 kasus.