Siaran Pers Bersama Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK) Bahari
Respon Perampasan Ruang Hidup Melalui Perda Zonasi, Aliansi Masyarakat Buka Posko Pengaduan Masyarakat Pesisir.
Jakarta, 11 Juli 2019 — Aliansi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat untuk Keadilan (AMUK) Bahari membuka posko pengaduan masyarakat guna merespon disahkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di seluruh Provinsi di Indonesia. Berbagai fakta menunjukkan, Perda ini telah dan tengah merampas ruang masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap sumbe rdaya kelautan dan perikanan. Sampai dengan tahun 2019, tercatat sebanyak 21 provinsi telah mengesahkan Perda RZWP3K dan masih ada 13 provinsi yang masih membahas perda ini.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada serta untuk menyikapi berbagai praktik perampasan ruang hidup yang semakin masif setelah disahkannya Perda RZWP3K, AMUK Bahari membuka Posko Pengaduan untuk masyarakat, yang akan dibuka selama satu bulan, terhitung sejak tanggal 17 Juli – 17 Agustus 2019.
Pembukaan posko ini memiliki sejumlah tujuan, yaitu: pertama, mewadahi sekaligus mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penyusunan RZWP3K sebagaimana dimandatkan Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan; kedua, menuntut pemerintah untuk menegakan hukum serta menegakan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.
Di dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan, Putusan MK No. 3 Tahun 2010 menyebutkan bahwa masyarakat pesisir memiliki sejumlah hak asasi sebagai berikut, yaitu: 1). Hak untuk melintas dan mengakses laut, 2). Hak untuk mendapat perairan yang bersih dan sehat, 3). Hak untuk mendapat manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan serta 4). Hak mempraktikan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah di lakukan secara turun temurun.
Namun, baik Perda yang telah disahkan maupun Perda yang tengah dibahas di sejumlah provinsi terbukti menciptakan permasalahan bagi masyarakat, yakni minimnya alokasi ruang hidup untuk masyarakat pesisir. Hal ini dapat dibaca di dalam Perda Zonasi Provinsi Lampung No. 1 Tahun 2018, yang mengalokasikan pemukiman nelayan hanya seluas 11,66 Ha.
Tak beda dengan Perda Zonasi Lampung, Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Selatan No. 13 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2018 – 2038, hanya mengalokasikan ruang seluas 37 Ha untuk pemukiman yang didiami oleh 9.715 keluarga nelayan.
Sementara itu, lebih dari 25 ribu nelayan di DKI Jakarta terancam digusur. Raperda RZWP3K DKI Jakarta mengalokasikan pemukiman non-nelayan seluas 70 Ha di wilayah Penjaringan, khususnya di kawasan elit Pantai Mutiara. Pada saat yang sama, Muara Angke, yang asalnya Kawasan pemukinan nelayan akan dijadikan Kawasan pelabuhan. Lebih jauh, pemukiman nelayan di Kamal Muara dialokasikan untuk Kawasan Industri Maritim. Lebih jauh dari itu, Perda Zonasi DKI Jakarta akan menjadi alat legitimasi untuk proyek Reklamasi Teluk Jakarta.
Senada dengan itu, draft Perda RZWP3K Provinsi Banten akan melegalkan proyek tambang di laut dan Kawasan pesisir kecamatan Tirtayasa yang mencakup Desa Lontar, Pulau Tunda dan Bayah. Perampasan ruang pun dialami oleh masyarakat di Pesisir Kelurahan dan Pulau Sangiang. Draft Perda RZWP3K semakin mempertajam konflik antara masyarakat dengan perusahaan dan pengembang reklamasi.
Di tempat lain, penyusunan draft Perda RZWP3K Provinsi Kalimantan Timur menyimpan beragam masalah. Pada proses perumusan draft Perda disusun tanpa partisipasi warga dan cacat prosedur. Sejumlah analisis menunjukkan bahwa draft Perda RZWP3K Kalimantan Timur akan menjadi pintu masuk bagi industri ekstraktif seperti tambang semen. Pada saat yang sama, kawasan mangrove akan dihilangkan alokasi ruangnya. Berkurangnya kawasan mangrove akan berdampak bagi kehidupan nelayan dan perempuan nelayan, serta meningkatkan kerentanan bencana di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berangkat dari berbagai temuan di atas, dapat disimpulkan pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia melalui Perda RZWP3K terbukti tidak berpihak kepada masyarakat, merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang telah lama hidup di kawasan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Kehadiran Perda RZWP3K seharusnya menjadi menguatkan posisi masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kenyataannya, baik Perda yang telah disahkan maupun yang tengah dibahas, ternyata melemahkan masyarakat bahkan melegalkan perampasan ruang hidup dengan dibangunnya pelbagai proyek seperti reklamasi, pertambangan, dan wisata berbasis utang. Lebih jauh, Perda ini berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang beraktivitas di kawasan perairan yang bukan peruntukannya, meski zona tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebelum Perda tersebut ada.
AMUK Bahari menilai persoalan krusial bangsa ini lahir dari kesalahan cara berpikir para pemangku kebijakan yang gagal memahami identitas bangsa ini sebagai bangsa bahari. Selama ini, kebijakan yang dipilih oleh pemerintah pada praktiknya meminggirkan sekaligus merampas hak konstitusional masyarakat pesisir.
Pembukaan posko pengaduan masyarakat ini dilakukan untuk merespon perampasan ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi ruang hidup masyarakat pesisir. Pada saat yang sama, posko ini dimaksudkan agar pemerintah mau melihat perampasan ruang hidup masyarakat bahari sebagai persoalan besar bangsa ini.
Pendaftaran pengaduan dapat dilakukan dengan cara mengisi formulir secara online di link ini (www.kiara.or.id/data-form-pengaduan-amuk-bahari/). AMUK Bahari menjamin kerahasiaan data pribadi dan segera akan menghubungi pengadu setelah pengaduan dilakukan.
Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari
KIARA, JATAM, WALHI Jakarta, LBH Jakarta, YLBHI, PPNI, ICEL, IHCS, KNTI, Komunitas Nelayan Tradisional Dadap, Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke, Forum Peduli Pulau Pari, FWI, Solidaritas Perempuan Jabodetabek, Paguyuban Nelayan Bayah, Gerak Lawan , KRuHA, FPPI, FKNSDA dan LBH-Rakyat Banten