Pers Rilis LBH Jakarta: Peringatan Hari Anti Penyiksaan 2019
Memperingati Hari Anti Penyiksaan 2019, LBH Jakarta menyoroti praktik penyiksaan yang masih saja dilakukan aparat negara. Cara primitif tersebut kerap dilakukan atas nama penegakan hukum. Modus yang sering digunakan, demi mempermudah pembuktian, mendapatkan pengakuan atau mendapatkan informasi. Padahal, pengakuan bukanlah alat bukti. Ironisnya, penyiksaan tidak hanya terjadi pada orang dewasa namun juga menimpa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) yang semestinya mendapatkan pendekatan restorative dalam proses hukum untuk kepentingan terbaik anak.
Survey LBH Jakarta terhadap ABH di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di wilayah Jakarta sepanjang tahun 2018 sampai dengan Mei 2019, ditemukan 20 anak yang menjadi korban penyiksaan dalam proses penyidikan di kepolisian. Temuan ini menunjukkan bahwa belum ada perubahan perilaku aparat penegak hukum dalam praktik penyiksaan. Padahal, perihal larangan praktik penyiksaan khususnya terhadap anak telah tegas diatur dalam UU HAM dan UU Perlindungan Anak. Banyaknya praktik penyiksaan yang masih terjadi juga menunjukkan masih buruknya perlindungan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak, sebagaimana diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak khususnya oleh aparat kepolisian.
Praktik pelanggaran hak asasi manusia, penyiksaan terhadap anak bukanlah temuan baru, Riset LBH Jakarta tahun 2008 yang berjudul “Memudarnya Batas Kejahatan dan Penegakan Hukum: Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana”, ditemukan fakta bahwa ABH pun mengalami tindakan penyiksaan oleh kepolisian [1]. Temuan tersebut relatif sama dengan apa yang ditemukan oleh LBH Jakarta dalam riset “Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan: Survey Penyiksaan di Tingkat Kepolisian Wilayah Jakarta Tahun 2008”, yang mencakup pada penyiksaan fisik dan non-fisik. Nahasnya dalam penelitian ini ditemukan bahwa anak diperlakukan secara tidak manusiawi dan dicampur dalam tahanan orang dewasa.
Sedangkan temuan bentuk penyiksaan pada anak berdasar survey LBH Jakarta 2018-Mei 2019 adalah, kebanyakan anak mengalami pemukulan (tangan kosong dan menggunakan alat), diludahi, hingga disetrum. Dalam kasus terbaru LBH Jakarta yang membuka posko pengaduan korban kerusuhan 21-22 Mei 2019, terdapat satu korban (RM) yang mengadu ke LBH Jakarta karena menjadi korban penyiksaan. Saat ditemui oleh keluarganya terlihat jelas bahwa RM babak belur (kepala atas bocor, pelipis bengkak benjol, mata kanan lebam, punggung ada bekas pukulan, bekas luka di tangan kanan).
Tindakan penyiksaan hingga menyebabkan penderitaan baik fisik maupun psikis selama dalam proses penyidikan oleh kepolisian merupakan bentuk pelanggaran atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Masih melembaga dan terstrukturnya tindakan penyiksaan ini diduga kuat disebabkan oleh masih lemahnya pengawasan dan pencegahan tindak-tindak penyiksaan oleh Lembaga Pengawas Penegak Hukum maupun oleh Masyarakat. Meski sudah ada sejumlah instrumen hukum, namun hingga kini pencegahan tindak penyiksaan belum efektif. Bahkan dalam banyak kasus, praktik penyiksaan yang merupakan tindak pidana dan pelanggaran hak asasi warga negara, justru berujung pada impunitas. Pelaku tidak mendapatkan hukuman dalam mekanisme hukum pidana, namun hanya dicatat. Dan, jikapun diproses, hanya sebatas sanksi etik saja. Atas tindakan penyiksaan yang masih terus terjadi bahkan juga dialami anak berhadapan dengan hukum, LBH Jakarta menuntut:
-
- Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah untuk mengatur regulasi khusus tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana dalam RKUHP dan merevisi KUHAP yang mengatur keberadaan Hakim Komisaris sebagai pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam KUHAP, untuk mencegah terus berulangnya praktik penyiksaan.
- Negara Republik Indonesia cq. Pemerintah untuk Meratifikasi Optional Protocol Convention Against Tortutre (OPCAT).
- Negara Republik Indonesia cq Pemerintah segera menerbitkan regulasi yang mengatur pemulihan hak-hak korban penyiksaan, hal tersebut dikarenakan regulasi yang ada masih mengabaikan hak-hak korban penyiksaan dan tindak pidana lainnya yang secara jelas telah diatur dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
- Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap berbagai kasus penyiksaan yang telah melembaga dan terus terjadi dalam proses peradilan khususnya di institusi kepolisian.
- Kepolisian RI sebagai pelaku dominan penyiksaan harus mereformasi diri agar mengedepankan prinsip hak asasi manusia dalam proses investigasi dan penyidikan tanpa penyiksaan dan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel terhadap pelaku penyiksaan.
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Jakarta, 26 Juni 2019
Narahubung:
Arif Maulana – Direktur (0817256167)
Nelson Nikodemus Simamora – Kepala Bidang Advokasi (081396820400)
Andi Komara – Pengacara Publik (081298220243)
[1] Penyiksaan dialami oleh mayoritas responden anak pada setiap tahapan proses hukum (saat penangkapan terjadi pada 97% responden anak yang berhadapan hukum, saat BAP, 98 % responden, saat penahanan, 74 % Penyiksaan psikis Bentuk penyiksaan seksual Saat penahanan 18% . Penyiksaan dilakukan oleh Aparat penegak hukum (82% saat penangkapan, 89% saat BAP, dan 48 % saat penahanan dilakukan oleh Aparat Kepolisian. Tujuan Penyiksaan serupa berkaitan dengan pembuktian tindak pidana (57% untuk memperoleh informasi dan 55% untuk memperoleh pengakuan. Adanya kemiripan bentuk penyiksaan yang terjadi disetiap tahapan pemeriksaan. (ditembak, dibakar, disetrum, dijepit, disundut, direndam, tidak diberi makan, dipukul tidak sampai luka atau cacat, dipukul hingga luka atau cacat, diseret, dijambak) Penyiksaan psikis (ditodong pistol, dibentak, dihina, diancam, disuruh-suruh, dibohongi, tidak boleh dikunjungi, didiamkan berjam-jam, dibotaki, diperdengarkan suara keras). Bentuk penyiksaan seksual (Dimasukkan benda di anus/vagina, diperkosa, diperkosa sesama jenis, dipaksa oral seks, dipaksa Onani, diraba bagian sensitif, difoto dalam keadaan mesum, dipaksa berciuman, ditelanjangi).Selengkapnya lihat dalam buku Memudarnya Batas Kejahatan dan Penegakan Hukum. 2012. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. https://www.dropbox.com/s/nbc1uk58wq6nffw/Buku%20Memudarnya%20Batas%20Kejahatan%20LBH%20Jkt%202012.pdf