Reklamasi Teluk Jakarta tidak hanya membawa dampak negatif bagi ekosistem, tetapi juga bagi masyarakat yang kelangungan hidupnya bergantung pada kawasan tersebut. Salah satu dampak yang paling terlihat adalah semakin sulitnya nelayan di Teluk Jakarta untuk mendapatkan tangkapan ikan. Belum lagi, upaya-upaya pembungkaman yang dilakukan pengembang kepada warga yang kritis menentang proyek reklamasi di Teluk Jakarta.
Seperti kasus kriminalisasi yang menimpa Rois Akbar dan Winda Kholipah, dua orang warga Muara Angke. Rois dan Winda merupakan putra-putri dari seorang nelayan bernama Kalil. Hingga saat ini, keluarga tersebut aktif dalam menentang reklamasi di Teluk Jakarta. Rois dan Winda dikriminalisasi dengan tuduhan melakukan penganiayaan.
Awal kisah kasus ini berawal pada tahun 2017, AK, pelaku yang melaporkan Rois dan Winda ke polisi dengan tuduhan penganiyaan mendengar kabar bahwa Kalil telah menyebar isu tentang beralihnya AK menjadi pro reklamasi. Singkat cerita, AK tidak terima mendengar kabar tersebut, ia kemudian, bersama 20 orang temannya mendatangi rumah Kalil. AK dan teman-temannya membuat keributan dengan sepeda motor mereka yang menyebabkan berkumpulnya orang-orang, terutama para tetangga Kalil. Pada saat itu, hanya Kalil dan Winda (yang sedang hamil empat bulan) yang berada di rumah.
Keributan tersebut berlanjut pada intimidasi verbal yang dilakukan oleh AK pada Kalil. AK memaksa Kalil untuk mengaku sebagai penyebar isu terkait reklamasi tersebut. Melihat ayahnya dibentak oleh Kalil, Winda berteriak memanggil Rois. Setibanya di tempat kejadian, Rois kaget melihat situasi tersebut dan menggebrak atap warung, menyebabkan meningkatnya ketegangan diantara kedua belah pihak.
Keributan tersebut berpuncak pada pengeroyokan yang dilakukan oleh AK dan kawan-kawan pada Rois yang dalam upaya pembelaan dirinya menyebabkan luka ringan. Winda yang pada saat kejadian pengeroyokan tersebut berupaya melerai, terdorong hingga terjatuh. Keributan baru berhasil dilerai setelah seorang pemuka agama setempat turun tangan.
Keesokan harinya, Rois dan Winda dirujuk ke rumah sakit,dan melaporkan pemukulan tersebut ke Kapolres Jakarta Utara. Hasil visum et repertum menyatakan bahwa Rois menderita lebam-lebam sementara Winda menderita trauma fisik pada dirinya dan kandungannya. Namun, laporan tersebut sempat mengalami penundaan proses penuntasan tanpa alasan, padahal Rois dan Winda telah menyerahkan bukti visum.
Pada sore harinya, AK mendatangi rumah Kalil untuk meminta penyelesaian masalah secara damai, tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Kalil. Penolakan tersebut berbuntut pada pelaporan AK terhadap Rois dan Winda atas dugaan tindak pidana penganiayaan ringan.
Proses Pencarian Keadilan Rois dan Winda
Pada bulan Juli 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan putusan lepas yang menyatakan bahwa Rois dan Winda melakukan pemukulan sebagai bentuk pembelaan diri dari paksaan fisik dan psikis dari AK dan kawan-kawan. Namun, perjuangan Rois dan Winda tidak berhenti di situ karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pada bulan April 2019 lalu, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1010 K/Pid/2018 memutuskan menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum sehingga putusan ini memperkuat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara sebelumnya.
LBH Jakarta mengapresiasi Hakim Agung Dr. H. Andi Abu Ayyub Saleh, S.H., M.H, Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M, dan Dr. H. Wahidin, S.H., M.H karena telah memutus perkara ini dengan seadil-adilnya. Di tengah maraknya putusan pengadilan yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin, Putusan Nomor 1010/K/PID/2018 menunjukkan bahwa “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” masih dapat ditemukan. LBH Jakarta tidak kehilangan harapan akan putusan-putusan berkualitas dan memiliki nilai keberpihakan yang kuat pada masyarakat di hari-hari mendatang.
“Kasus ini merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kriminalisasi warga yang terdampak pengerusakan lingkungan. Ketika warga menolak habis-habisan upaya pengerusakan lingkungan yang terjadi di daerahnya, mereka kerap mengalami kriminalisasi dengan dalih penganiayaan, memasuki pekarangan orang lain tanpa izin, atau bahkan melanggar Undang-Undang ITE,” jelas Yenny Silvia Sirait, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Tidak menutup kemungkinan bahwa kasus sejenis akan kembali muncul mengingat Gubernur DKI Jakarta nampaknya akan meneruskan proyek reklamasi.
“Oleh karena itu, reklamasi Teluk Jakarta yang menjadi akar masalah yang sesungguhnya harus dihentikan agar tidak lagi terjadi kasus-kasus yang serupa,” tutup Yenny.